Nancy melangkah masuk ke dalam kafe dengan langkah anggun dan percaya diri. Udara di dalam ruangan terasa hangat, dipenuhi aroma kopi, rempah, dan percakapan lembut para pengunjung. Ia mengenakan blouse putih gading dengan celana panjang berpotongan rapi, membuat para pria di dalam kafe tak bisa menahan diri untuk melirik. Tapi Nancy tak peduli. Matanya hanya mencari satu sosok — lelaki dengan gelas wine di tangannya yang duduk di sudut ruangan, membelakangi jendela besar. Langkah Nancy melambat ketika ia menemukan yang dicarinya. Arkan. Lelaki yang kini menjadi alatnya. Lelaki yang, meski terlihat santai, sebenarnya tengah menyimpan bara dendam dan keinginan kuat. Ia berjalan ke meja itu tanpa banyak bicara, menarik kursi di hadapan Arkan dan duduk dengan penuh wibawa. Tatapannya tajam