Kirana memegang bibirnya yang bengkak bekas ciuman Bramasta. Dunianya masih terasa tidak bergerak sama sekali. “Maafkan aku, Kirana. Aku tidak bisa menahan perasaanku,” ucap Bramasta. Mata Kirana berkaca-kaca. Dia sangat marah, tapi bukan pada Bramasta, melainkan pada dirinya sendiri yang tak bisa menahan godaan. Kirana tak menjawab permintaan maaf Bramasta. Dia berbalik hendak meninggalkan pria itu, namun Bramasta mendekapnya dari belakang, sangat erat. “Jangan pergi lagi.” Itu bukan perintah, melainkan sebuah permohonan. Kirana masih bergeming. “Semua berkas-berkas itu masih ada. Ayo menikah denganku.” “Pak Bram…” “Aku tahu apa yang kamu takutkan. Karena hidup kita memang bukan milik kita. Ada orang-orang yang harus kita jaga. Tapi kita berhak bahagia.” Tangan Kirana menyentuh p

