Pagi setelah pernikahan mereka, sinar matahari menyelinap melalui jendela apartemen Bramasta. Kirana terbangun dengan perasaan campur aduk, ada kedamaian karena berada di pelukan Bramasta, tapi juga kecemasan akan konsekuensi keputusan mereka. Bramasta sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur, menatap Kirana dengan lembut. “Terima kasih sudah berada di sisiku," ujarnya, tangannya membelai rambut Kirana. "Hari ini kita akan menemui Sheila dan Ambar." Kirana meneguk ludah. "Apakah ini saat yang tepat, Pak Bram?" Bukannya Kirana takut menghadapi Ambar, semenjak dia setuju menikah dengan Bramasta artinya dia akan tetap berada di sisi Bramasta menghadapi segala konsekuensi yang mereka ambil. "Tidak pernah ada saat yang tepat untuk kebenaran," jawab Bramasta tegas. "Tapi kita harus menunj

