Sheila limbung meninggalkan ruang keluarga, langkahnya terseret-seret sambil terisak, tubuhnya goyah seperti akan jatuh kapan saja. Begitu pintu menutup di belakang Sheila, hening sesaat tercipta. Lalu— Ambar tertawa. Tawa sumbang. Tawa yang penuh kemenangan, penuh racun. “Lihat, Bram?” katanya sambil memelintir senyumnya. “Kau tidak bisa apa-apa. Bahkan kebenaran yang kecil saja membuat duniamu runtuh.” Bramasta mengepalkan kedua tangannya sampai buku jarinya memutih. “Ambar…” suaranya rendah, dalam, menahan ledakan. Namun Ambar terus mendorong. “Kau pikir kau bisa datang ke rumahku, membawa perempuan simpananmu, dan memaksakan versi ceritamu? Sheila itu anakku. Anakku! Dan dia selalu memilih aku.” Bramasta melangkah maju, rahangnya mengeras, emosi menyalak dari mata coklat gelapn

