“Sheila…?” Bramasta bangkit, ingin mengejar. Namun gadis itu menggeleng pelan—sangat pelan—seolah dunia bisa runtuh jika ia mengucapkan satu kata yang salah. “Aku… nggak bisa…” bisiknya, nyaris tak terdengar. Bramasta menahan napas. “Sheila, sayang. Kamu harus bicara sama Papi. Apa pun itu… kamu aman.” Namun Sheila memeluk dirinya sendiri, mundur sedikit, seakan menyimpan sesuatu yang begitu mengerikan di dalam d**a kecilnya. “Kalo Papi tahu…” napasnya terputus-putus. “Papi bakal tinggalin Sheila. Beneran…” Tidak ada kalimat yang lebih menghancurkan hati Bramasta daripada itu. “Denger Papi…” Bram bersuara gemetar. “Tidak ada satu pun alasan yang bisa bikin Papi tinggalin kamu. Kamu anak Papi. Selamanya.” Sheila menutup mata… tapi air matanya jatuh lebih deras. Bramasta merasakan

