“Apa kamu bisa bersabar menungguku?” tanya Bramasta pelan. Suara itu serak, penuh kelelahan yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Kirana tidak menjawab. Ia hanya menatapnya beberapa detik sebelum perlahan menarik lengan Bramasta, membawanya masuk ke dalam bathtub yang air hangatnya masih mengepulkan uap tipis. Dengan gerakan lembut, ia membantu menyabuni dan menggosok punggung Bramasta, setiap sentuhannya penuh ketulusan yang nyaris menyakitkan. Hal-hal kecil seperti ini yang membuat Bramasta tak bisa benar-benar melepaskan Kirana. Dia tahu, Kirana datang padanya karena uang, tapi perempuan itu bukan mata duitan. Ia bekerja keras, berusaha hidup dengan cara yang tetap bermartabat, dan kalau Bramasta mau jujur—dialah yang seharusnya merasa bersalah. Bramasta-lah yang menyeret Kirana sejau

