“Aku antar!” ucap Bramasta cepat, suaranya dalam tapi penuh panik tertahan. Tanpa menunggu jawaban Kirana, ia sudah mengganti pakaian, mengambil jaket dan kunci mobil. Kirana bergegas mengambil tasnya, matanya berair tapi langkahnya mantap. Perjalanan menuju rumah sakit terasa lebih panjang dari biasanya. Di dalam mobil hanya ada suara detak jam dan napas yang tercekat. Kirana menggenggam ponselnya erat-erat, berdoa dalam hati agar ibunya baik-baik saja. Sesekali Bramasta melirik, melihat air mata yang menetes diam-diam di pipi Kirana. Ia tidak berkata apa pun, hanya menepuk lembut punggung tangan Kirana, seolah ingin berkata: aku di sini. Begitu tiba di rumah sakit, Kania sudah menunggu di depan ruang IGD dengan wajah pucat dan mata sembab. “Mbak…” suaranya serak. Ia langsung memeluk

