Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai rumah sakit yang tebal. Hangat, tapi menyakitkan. Bau antiseptik bercampur samar dengan aroma mawar di vas kaca—seolah ada yang berusaha menutupi getir yang menggantung di udara. Kirana berdiri di ujung ranjang, menatap wajah ibunya yang kini terbaring lebih tenang. Mesin di sisi ranjang menunjukkan tanda stabil, tapi suasana kamar terasa dingin. Dingin bukan karena AC, melainkan karena tatapan itu—tatapan penuh benci dan penolakan dari seorang ibu pada anaknya sendiri. “Kenapa aku bisa di sini?” suara ibunya pelan, serak, tapi tajam. Kania mencoba tersenyum di sisi lain ranjang. “Bu, dokter bilang Ibu kena serangan jantung ringan. Tapi sekarang sudah aman. Rumah sakit ini bagus, jadi—” “Bagus?” potong ibunya cepat. Matanya menyapu kamar luas de

