“Pak, Pak Galang mabuk?” tanya Novia saat dia melihat penampilan atasannya yang sedikit berantakan.
Galang menggeleng pelan. “Gak. Saya gak mabuk.”
Galang mencoba berdiri. Tapi, baru juga dia berdiri, badannya oleng.
“Pak Galang!” pekik Novia yang langsung menangkap tubuh Galang, agar tidak jatuh.
“Lepas! Lepasin saya!” tolak Galang sambil sedikit mendorong tubuh Novia agar menjauh darinya.
“Pak Galang duduk dulu. Saya buatkan minuman hangat, Pak.”
Novia membantu Galang duduk lagi. Dia membiarkan Galang kembali diposisinya semula, dan segera meninggalkannya ke dapur.
Novia berjalan ke arah skalar lampu. Dia menyalakan lampu, agar dia juga tidak kesulitan berlari kalau lampu sangat redup.
“Matikan lampunya! Sakit tau!” sembur Galang sambil menutupi matanya dengan lengan kokohnya.
“Oh maaf, maafin saya, Pak.” Novia segera mematikan lagi lampu ruang tengah.
Novia segera berjalan cepat menuju ke dapur lagi. Dia menyalakan lampu dapur dan segera mencari rempah-rempah yang bisa dia rebus untuk Galang. Setelah menemukan rempah itu dan mencucinya bersih, Novia langsung merebus rempah itu, berharap akan membantu Galang agar tidak pengar lagi.
Novia duduk di kursi dapur sambil menunggu air rebusannya matang. Novia melihat ke arah Galang yang masih diam, tidak bergerak di sofa.
“Pak Galang dari mana ya, kok pulang sampe mabuk gini,” ucap Novia pelan.
“Keliatannya lagi banyak banget yang dia pikirin. Ternyata jadi orang kaya itu juga tetep mikir ya, gak seneng terus.”
Novia menoleh saat dia mendengar desisan dari arah kompor. Dia segera mendekati kompor dan siap menuangkan air rempah itu ke gelas.
Novia membawa gelas berisi air rempah dan madu itu ke Galang. Dia hanya berharap gelas itu tidak dilempar ke arahnya.
“Pak Galang, diminum dulu, Pak. Mumpung masih anget,” ucap Novia sambil menyajikan minuman itu di atas meja.
Galang melihat Novia dan gelas di atas meja. “Apa itu?” tanya Galang dengan suara serak.
“Air rebusan rempah sama madu, Pak. Minum dulu, biar pusingnya ilang sama badannya anget,” jawab Novia menjelaskan minuman buatannya.
Galang melihat ke arah Novia lagi. “Ini bukan buat bunuh saya kan?”
“Astaga, Pak. Saya sama sekali gak ada pikiran kayak gitu,” tampik Novia yang kaget dengan tuduhan Galang.
Galang mengumpulkan tenaganya. Dia kemudian mengambil gelas itu dan menghirup aroma minuman itu.
Galang menyeruput sedikit minuman di tangannya. Perut dan lehernya yang tadi terasa tidak enak, kini terasa hangat. Galang meminum lagi lalu meletakkan gelas itu di meja.
“Ngapain kamu masih di sini. Pergi sana!” usir Galang.
“Ba-baik, Pak. Kalo gitu saya ke kamar duluan,” jawab Novia yang segera pergi meninggalkan Galang.
Novia kembali melihat Galang dari lantai dua. Pria itu masih saja duduk di sofa, bahkan mungkin lebih mirip dengan orang yang sedang tidur. Tidak ingin mencari masalah, Novia segera masuk ke dalam kamar Niko.
Keesokan paginya, Novia yang seperti biasanya membawa Niko turun untuk menghirup udara segar, kaget melihat Galang yang keluar kamar sudah dengan pakaian rapi. Hari masih pagi, tapi pria tampan itu sama sekali tidak terlihat seperti habis mabuk.
“Heh, kamu ngapain bengong pagi-pagi,” tegur Bik Darmi yang sedang menyiram bunga di depan Novia
Novia menoleh sebentar ke arah Bik Darmi. “Bik, Pak Galang sehat kan itu?” pertanyaan bodoh keluar dari mulut Novia.
“Sehat lah. Emang kenapa gitu?” tanya Bik Darmi bingung.
“Semalam saya liat Pak Galang mabuk, Bik. Bahkan saya sampe bantu bikinin minuman anget. Tapi kok sekarang kayak orang gak mabuk. Udah berangkat ke kantor aja malahan.”
“Oh, yang buatin minuman itu semalam kamu ya. Pantes kok ada gelas.”
“Pak Galang biasanya emang gitu. Meski mabuk, kalo malamnya bisa tidur nyenyak, pasti paginya dah sehat lagi. Eh, Mas Niko kepanasan tuh.”
Novia langsung melihat ke arah Niko yang ada di gendongannya. Dia segera bergeser, mencari tempat yang sedikit teduh dulu agar Niko tidak kepanasan.
Hari ini Novia memilih untuk banyak menghindar dari Wati. Dia juga banyak menghabiskan waktu siang hari di lantai bawah. Dia ingin membuktikan kalau dia mengasuh Niko secara normal, tidak seperti yang dituduhkan Wati kemarin.
***
“Duh, perutku kok laper ya. Cari makanan ah di bawah,” ucap Novia yang merasa lapar malam ini.
Novia berjalan perlahan di ruang tengah yang pencahayaannya sedikit gelap itu. Dia menyalakan lampu dapur, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Ada mie kuah gak ya? Kok aku pengen makan mie,” ucap Novia.
Sedetik kemudian dia segera membuka lemari dapur untuk mencari yang dia inginkan. Untungnya ada beberapa bungkus mi instan dan tentu saja Novia menjadi senang.
Dengan kelihaiannya, Novia segera meracik resep andalannya untuk membuat mi. Dia menambahkan telur dan sayuran, agar makanan itu lebih sehat.
“Lagi bikin apa kamu?” tanya Galang yang mencium aroma sedap di dapur.
“Eh ya ampun.” Novia menjatuhkan sendok di tangannya karena kaget.
Dia mengambil sendok itu lalu berbalik arah menghadap Galang. “Bikin mi rebus, Pak. Saya laper,” jawab Novia ragu dan siap untuk dimarahi.
Galang diam sejenak. “Bikinkan saya dua. Kasih telur 2.” Galang langsung berbalik dan menuju ke kamarnya.
“Bikinkan? Pak Galang doyan makan mi rebus juga ternyata.” Novia tersenyum dan kemudian segera menyiapkan pesanan bosnya.
Setelah meracik mi pesanan Galang, Novia segera menyajikan mi panas itu di meja makan. Dia kemudian mengetuk kamar Galang, memberi tahu kalau makanan sudah siap.
“Kok cuma satu.” Galang melihat ke Novia. “Kamu gak makan?” tanya Galang.
“Saya makan di dapur aja, Pak,” jawab Novia.
“Makan itu di meja. Makan sini.” Galang menarik kursi untuk dia duduki.
Novia segera mengambil mangkuk mi miliknya. Dia memilih kursi yang sedikit jauh dari Galang.
Suasana di meja makan itu sangat suram. Hanya ada suara alat makan yang beradu dan sesekali suara seruputan Galang.
“Kamu udah betah tinggal di sini?” tanya Galang memecah kesunyian.
“Su-sudah, Pak,” jawab Novia masih sambil menunduk.
“Kalo ibu kamu keluar dari rumah sakit gimana?”
Novia mengangkat wajahnya. “Di rumah biasanya ada yang nemenin ibu Pak kalo saya tinggal kerja.”
“Bagus. Suruh orang itu tungguin ibu kamu terus, karena kamu gak bisa tinggalin Niko.”
Novia menundukkan kepalanya. Ada rasa sedih di hatinya karena dia sebentar lagi pasti akan berpisah dengan sang ibu. Novia pasti akan jarang bertemu dengan ibunya.
“Besok ibumu operasi. Temani dia.” Galang memberikan kabar.
Novia kembali melihat ke arah Galang. “Besok, Pak. I-iya Pak, saya mau.”
“Tapi Mas Niko?” tanya Novia yang mengkhawatirkan anak asuhnya.
“Masih ada Wati. Temani aja ibumu dulu.”
Senyum mengembang di bibir Novia. “Makasih, Pak. Makasih banyak.”
Galang melihat ke arah Novia. Bukannya menjawab, dia malah terpaku pada pengasuh keponakannya itu.
“Sejak kapan dia berubah,” ucap Galang pelan sambil terus melihat ke arah Novia.