Bab 4. Salah Kamar

1723 Kata
Mabuk benar-benar membuat otak Rhea jadi kacau. Terlepas dia sebenarnya tulus mencintai atau sekedar tidak tega ke Lucky, tapi dikhianati teman sendiri itu luar biasa sakitnya. Bisa dibilang Sofie teman terdekat Rhea selama kuliah di London. Menganggapnya bestie, hingga semua hal dia selalu diobrolkan. Maka tidak heran Sofie tahu banyak soal lika liku hidup dan keluarga Rhea, begitupun sebaliknya. Jangan tanya sekecewa apa dia, begitu tahu sahabat rasa saudaranya itulah yang jadi pasangan selingkuh Lucky. Dikhianati pacar baginya tak masalah, tapi ditikung teman sendiri itu adalah level lain dari rasa sakit. Itu juga yang kemudian membuatnya sinting, nekat demi balas dendam mencium Genta di hadapan keduanya. Terlebih mulut sialan Sofie yang masih terus menghina Rhea. Dia yang merebut pacar teman dan mengkhianati persahabatan mereka. Namun, dia juga yang tidak tahu malu malah menyalahkan Rhea. Sama sekali tidak merasa apa yang dilakukannya itu salah. Satu hal lagi yang menggelikan. Lucky dilepeh Rhea di hadapan ketiga teman mereka, tapi sesuambar dan berlagak arogan seolah pria pecundang itu yang mencampakkan Rhea karena sudah bosan. Sekarang giliran mereka mendapati Rhea dipeluk pria yang gantengnya tidak ketulungan, langsung panas menuduh yang tidak-tidak. Genta itu berperawakan jangkung. Berkulit putih bersih, tampan dengan garis wajah keras dan mata tajamnya. Belum lagi penampilannya yang jelas-jelas bukan dari kalangan biasa. Melihat dalam sekejap mata Rhea mendapatkan pengganti sesempurna ini, jelas saja Sofie merasa kejang-kejang iri. Begitu juga Lucky yang pasti merasa terbanting. Namun, melihat Rhea yang kemudian mencium panas pria itu membuat keduanya cengo. Dia yang selama ini membuat batasan tegas dalam bergaul dan pacaran, bagaimana bisa tiba-tiba seliar itu. Genta yang tadinya sempat hampir jantungan kena kokop, sekarang malah menyeringai menikmatinya. Membiarkan gadis judes yang sedang mabuk ini melanjutkan kelakuan sintingnya. Toh, mau diapakan pun tetap dia yang untung. Kalau tidak sedang mabuk, mana mungkin dia bisa menggendong anak gadis tantenya yang biarpun judes tapi cantik ini. Apalagi dapat bonus ciuman, meski Genta tahu Rhea masih amatiran. Maka dari itu dia pun kemudian membalasnya. Mencium dan melumat lembut bibir tipis yang biasa ketus, juga merengkuh erat pinggang Rhea. Gelagapan, Rhea yang tidak menyangka ciumannya dibalas Genta sampai meremas rambut pria itu. Untung saja Genta lantas menyudahi tontonan panas mereka dengan kecupan manis. “Cih, dasar munafik! Ternyata selama ini kamu hanya sok suci! Jaga sikap, jaga pergaulan, dan membuat batasan. Nyatanya kelakuanmu lebih parah, sampai cipokan di depan umum. Dasar tidak punya malu!” cemooh Sofie berapi-api, tapi justru Rhea menanggapinya dengan masa bodoh. “Lebih parah?! Separah apa maksudmu? Jadi gundik perebut suami orang seperti emakmu? Atau, salome sepertimu? Aku bahkan baru kali ini ciuman dengan pacarku. Kenapa kamu jadi yang meradang? Jangan bilang sekarang kamu juga minat dengan pacar baruku? Kan hobimu memungut bekasku!” Rhea tertawa melihat Sofei mendelik marah. “Salome, apa?” tanya Genta yang masih memeluk Rhea. “Satu lobang rame-rame! Dia bisa sekali pacaran dengan tiga pria sekaligus. Sudah kayak diobral. Murahan!” Rhea membalas hinaan Sofie. “Kurang ajar!” teriak Sofei sudah mau menerjang maju menggampar mulut Rhea yang mengorek aibnya. Tapi, dicekal dan diseret pergi oleh Lucky yang mau cari aman tidak ingin berurusan dengan keluarga Rhea. “Sampah!” geram Rhea menatap punggung dua orang di sana. Matanya kembali nyaris terpejam. Kalau tubuhnya tidak ditopang oleh Genta, pasti sudah luruh ke lantai. “Sekarang kamu mau kemana? Aku antar pulang atau aku telpon mamamu minta jemput kesini?” tanya Genta yang mulai bingung. “Nggak mau pulang! Minggir! Aku mau cari Juna!” Rhea kembali berulah dengan mendorong Genta. “Jun …. Junaaaaa!” teriaknya membuat Genta pusing sekaligus malu. “Awas saja kalau besok kamu mencak-mencak menyalahkanku!” dengus Genta, sebelum kemudian membopong lagi Rhea dan dibawa keluar ke area parkir. “Hauusss ….” rengek Rhea yang memeluk leher Genta. “Di mobil ada air. Sabar sebentar!” ucapnya melangkah menuju ke mobilnya. Untungnya tadi dia keluar bawa mobil, karena hujan deras seharian. Kalau seperti biasa Genta tentu lebih senang kemana-mana naik motor besar. Di sana dia ketemu lagi dengan dua manusia sialan tadi. Tanpa menoleh Genta melewati mereka, lalu berhenti di samping mobilnya. Mata Sofie dan Lucky menatap tanpa kedip mobil sport warna biru di sana. Genta mendudukkan Rhea dengan hati-hati, lalu memasang sabuk pengaman. Baru setelahnya dia ke pintu satunya dan masuk ke mobil. Seingatnya masih ada air putih, tapi ternyata tidak ketemu. Terpaksa dia pergi dulu dari situ. Rumahnya tidak begitu jauh. Nanti saja sampai sana baru minum. Melaju membelah jalanan jantung kota, Genta tidak berani menyetir kencang, karena kondisinya juga sedang tidak OK. Sesekali matanya melirik ke samping. Menatap geli Rhea yang tertidur menyandar sampai kepalanya beberapa kali terjatuh ke samping. Saat berhenti di lampu merah, Genta melepas sabuk pengaman yang membelit gadis itu, lalu membawanya berebah di pahanya. itu jauh nyaman, daripada kepalanya yang pontang-panting. “Cantik,” sanjungnya mengelus pipi Rhea yang menggeliat. Jemari Genta merambat mengusap permukaan bibirnya. Seketika bayangan ciuman mereka tadi melintas berseliweran di kepalanya. Ciuman amatir, tapi sialnya malah membuatnya blingsatan. Genta hanya membayangkan, akan semalu apa Rhea besok saat bangun dan ingat semua kelakuannya. “Sialan! b******k kalian!” gumam Rhea masih misuh-misuh dalam tidurnya. “Dasar bodoh! Untung masih judes, jadi tidak diinjak mereka seperti nasib adikmu!” Genta kembali melajukan mobilnya. Tangannya baru mau ditarik, tapi malah diraih oleh Rhea dan dicengkram kuat. Jadi sepanjang perjalanan Genta menyetir dengan satu tangan. Otaknya berkelana mengingat lagi setiap sentuhan Rhea yang membuatnya berdesir panas. Bisa-bisanya dia terjebak dengan anak gadis tantenya dalam situasi konyol, tapi penuh gairah begini. Mobil masuk ke halaman rumah bertingkat dua yang tak begitu besar. Hanya saja halamannya tampak asri dan luas. Dia mendudukkan dulu Rhea, sebelum turun dan mengangkatnya ke dalam rumah. Lengang, karena dia hanya tinggal sendirian di situ. Rhea dibaringkan di kamar sebelah, sedang Genta masuk ke kamarnya dan mandi. Yang dia tidak tahu, setelah dirinya masuk ke kamar justru Rhea terbangun karena merasa haus. Celingukan bingung karena berada di tempat asing, dia melangkah keluar dengan tubuh sempoyongan. Di atas meja samar seperti ada botol minuman, jadi tanpa pikir panjang dia pun mengambil dan meminumnya. Bajunya sampai basah belepotan warna merah. Kepala Rhea makin kliyengan. Minum malah membuatnya makin merasa haus dan gerah. Beberapa kali dia nyaris tersungkur, sampai harus merambat mencari pegangan untuk sampai ke kamar. Sekarang berada dimana baginya tak penting, Rhea hanya butuh mandi dan tidur di tempat dingin. Tubuhnya terasa lengket, panas, dan tidak nyaman. Pintu yang dicarinya pun ketemu. Tapi, baru masuk malah terdengar suara Genta terpekik kaget. Rupanya Rhea salah masuk kamar. Masih dengan rambut setengah basah dan handuk melilit pinggang, Genta mendekat mendapati apa yang gadis bodoh itu tenteng di tangan. “Kamu sudah mabuk, Rhe. Kenapa malah minum wine lagi?!” tegurnya mengambil botol wine di tangan Rhea. Dia menggeram melihat isinya sudah hampir habis. Baju Rhea juga belepotan basah. “Haus ….” seru Rhea kesal. Dengan mata menyipit dia menyandar dinding. “Ini bukan air! Sebentar!” Genta segera keluar mengambil minum. Tadi lupa untuk menyiapkan air minum di kamar sebelah. Rhea terhuyung, lalu jatuh terduduk di lantai. Susah payah dia merangkak, hingga kemudian sampai ke ujung tempat tidur dan naik ke sana. Matanya nyaris tidak bisa lagi melek, ngantuk bukan main. Gerah, dia pun berusaha membuka gaunnya. Apa daya tidak bisa karena resleting ada di punggung. Genta yang datang membawa segelas air minum sempat mematung melihatnya duduk di ranjangnya. “Haish, baju sialan! Panas!” umpatnya kesal menarik gaunnya. Mendecak keras. Genta benar-benar dibuat pusing sekarang. Bagaimana juga nanti dia harus membantunya ganti baju. “Minum dulu!” Dia menyodorkan air putih itu ke Rhea. Seperti orang sudah benar-benar kehausan, Rhea meneguk rakus air di gelas hingga merembes membasahi dadanya. Genta menatap nanar. Tidak habis pikir, bagaimana bisa niatnya ketemu teman di sana malah nemu biang masalah begini! Sedikit saja dia kepleset tergoda kelakuan kurang ajarnya, Genta benar-benar akan habis di tangan tantenya. Sejak di lantai atas nightclub dia sudah mati-matian menahan diri. Dicium pun dia berusaha tidak terpancing. Sialnya sekarang gadis dengan kesadaran tinggal seuprit ini, justru cari mati naik ke ranjangnya! “Kamu mau kemana?” Genta menyambar lengan Rhea yang bangun dari tempat tidur. “Gerah! Aku mau mandi! Lepas!” sahutnya sewot berusaha menepis cekalan Genta. “Haish!” geram Genta benar-benar dibuat frustasi. Kepalanya sendiri juga kliyengan. Belum lagi cenat-cenut mupeng, setelah dipancing terus dari tadi. Sekarang Rhea malah lanjut bikin ulah. “Ok, mandi! Sebentar aku ambilkan kaosku dulu buat kamu ganti!” Terpaksa dia mengabulkan keinginan Rhea, karena bajunya yang belepotan basah dan kotor pasti membuatnya tidak nyaman. Melangkah ke lemari baju, Genta mengambil kaos oblongnya dan juga handuk bersih diletakkan di kamar mandi. Setidaknya itu masih nyaman Rhea pakai tidur. “Sini!” Dia merangkul pinggang Rhea dan mengantar sampai depan pintu. Menghela nafas panjang, dia berdiri di belakang punggung gadis itu untuk membantunya menarik resleting. “Lepas bajunya! Panas!” rengek Rhea manja. Tangan Genta menyibak rambut panjang Rhea. lalu meraih resleting di bawah tengkuk. Nafasnya tersengal menatap leher jenjang dengan kulit putih mulus di depannya. Harusnya tinggal menarik resleting itu turun, bukan? Tapi, jemarinya malah keranjingan hinggap di leher dan mengelus lembut. Satu tangannya yang masih memeluk perut Rhea menariknya merapat. Jantungnya berdegup menggila saat bokongg gadis itu menggesek di sana. “Rhe ….” “Hm ….” gumam Rhea menoleh. Karena sempoyongan dia menyandar ke dadaa Genta. Membuat pria di belakangnya itu meringis merasakan denyut di bawah sana. Hidungnya nyaris mencium leher Rhea. Wangi sisa parfum masih tercium makin meracuni otaknya. “Lepas bajunya!” gumam Rhea mencengkram tangan Genta yang melingkar di perutnya. “Beraninya kamu masuk kamarku dan menggodaku begini!” geram Genta mengendus leher Rhea. Di tengah dera hasratnya yang sudah terlanjur tersulut, Genta masih menimang apakah akan melanjutkan kegilaannya dengan resiko hancur di tangan tantenya. Pelukan di perut Rhea makin erat. Bibirnya mulai mengecup kulit putih leher gadis itu. Hal gila yang nekat dia lakukan, hingga membuatnya justru benar-benar terbakar. “Arghhhh ….” desah Rhea menggelinjang geli disentuh di lehernya. Salah! Desahan lembut itu jadi awal petaka yang membuat Genta kemudian mendorong Rhea memepet dinding. Dia mengendus, mengecup, dan menjilat leher yang membuatnya hilang kontrol itu. Rhea sempat meronta, tapi Genta menarik naik kedua tangannya dan menekan ke dinding. Ciumannya di leher beralih dengan menyambar bibir Rhea. “Mau mandi bareng?” bisiknya setelah mengecup lembut bibir memerah yang barusan dia lumat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN