Bab 3. Genta Yang Tergoda

1652 Kata
Mana ada orang gila yang mengaku gila. Sama seperti Rhea yang menggeleng saat ditanya apakah dia mabuk. Entah kebetulan dari mana, dia malah bertemu dengan pria sinting ini. Namanya Genta Sangkala Bumi. Dokter bedah yang katanya punya tangan malaikat penyelamat, tapi juga luar biasa menyebalkan dan arogan. Itu kenapa ketika dikenalkan oleh mamanya di pernikahan adiknya kapan hari, Rhea sama sekali tidak menggubrisnya. Percuma ganteng, kalau mulutnya kayak cabe. Genta dekat dengan mama Rhea, tapi dibujuk seperti apa pun sampai sekarang tetap menolak tawaran untuk bekerja di rumah sakitnya. Mendorong pria itu menyingkir, Rhea kembali sempoyongan nyaris jatuh. Untung tangannya masih sempat berpegangan dinding. Matanya kembali mengerjap celingukan mencari ponselnya. Sekarang hanya Juna yang bisa diminta tolong membawanya pergi dari tempat terkutuk ini. Kemanapun asal bukan pulang ke rumah. Bisa habis riwayatnya kalau pulang dalam keadaan mabuk begini. Niatnya menunduk memungut ponsel, tapi malah tersungkur karena alkohol sialan yang membuatnya hilang keseimbangan. “Cih, tidak mabuk katamu?!” Genta mendecih sinis melihat anak gadis tantenya bersimpuh di lantai meraih ponselnya. Ponsel sudah di tangan. Rhea berusaha bangun, tapi kakinya seperti tak bertulang. Bukannya menolong, Genta malah berdiri menonton dengan tawa gelinya. Jangan bilang dia tega, karena dia tahu sejudes apa gadis ini. “Haish, sialan!” umpat Rhea meringis ketika sudah nyaris bisa bangun, tapi malah terkilir hak sepatunya yang patah. Apa yang kemudian dia lakukan makin membuat Genta tertawa. Rhea melepas sepatunya, lalu melempar dengan muka kesal. Untung tidak ada yang lewat. Kalau tidak paha mulus dan kaki jenjangnya itu pasti jadi santapan mata-mata lapar para pria kurang ajar di sini. Sejauh ini dia tetap tidak tergerak menolong. Lebih menyenangkan melihat Rhea yang mabuk terus uring-uringan tidak jelas. Gadis itu kembali mencoba berdiri. Genta membiarkan tangan kirinya ditarik untuk pegangan. Sempoyongan Rhea pergi tertatih tanpa alas kaki. Baru beberapa langkah dia berhenti lagi, lalu menyandarkan ke dinding. Menunduk dengan ponsel di tangan, tapi sesaat kemudian Rhea berteriak marah membanting ponselnya yang mati kehabisan baterai. “b******k semua!” “Sinting!” gumam Genta menggeleng melihat kelakuan Rhea. Dia sendiri juga minum banyak barusan. Mulai sedikit kliyengan, makanya pilih pamit pulang dulu sebelum tepar di dalam. Tidak tahunya malah nemu biang masalah di sini. Mau tidak mau dia memungut sepatu dan ponsel Rhea. Bisa kena gebuk tantenya, kalau dia membiarkan anak gadisnya teler di sarang hantu tanpa menolong. “Keluar dulu! Nanti aku telepon mamamu, biar kesini jemput!” ajaknya meraih lengan Rhea untuk memapahnya jalan, tapi malah ditepis kasar. “Nggak usah! Aku bisa pulang sendiri!” tolaknya ketus. Rhea menyambar sepatu dan ponselnya dari tangan Genta, lalu berjalan terhuyung dengan satu tangan pegangan dinding. Genta menatap gedek. Sudah mabuk masih saja judesnya amit-amit. Dia mau lihat, sejauh mana Rhea tetap seangkuh itu tidak mau ditolong. Dan iya, baru beberapa meter dia malah ambruk setelah pintu yang dijadikan tumpuan tangannya dibuka dari dalam. “Haish! Merepotkan saja!” geram Genta buru-buru menyusul. Orang-orang di dalam ruangan situ sempat kaget tiba-tiba ada yang tersungkur masuk. Rhea meringis kesakitan karena kakinya tertekuk. Pria di sampingnya baru saja hendak menolongnya bangun, saat Genta datang dan memintanya menjauh. “Biar aku saja!” ucapnya meraih sepatu dan ponsel Rhea, lalu dalam sekali hentak membopong si biang rusuh itu bangun. Tanpa menunggu dia berbalik dan pergi dari sana menuju ke arah lift. Berharap mereka tidak sampai tersungkur, karena dia sendiri juga tidak sedang baik-baik saja. “Mokondo sialan! Teman b*****t! Mati saja kalian sana!” maki Rhea yang masih emosi. Bukan perkara tidak terima kehilangan pacar, tapi sakit hati ditikung teman yang sudah dianggap saudara. Genta terkekeh lirih. Baru ngeh kenapa Rhea bisa sampai nyasar ke tempat ini dan mabuk tanpa ada teman di sampingnya. “Juna ….” rengeknya memeluk leher Genta. Mendusel mencari posisi nyaman, tanpa paham Genta yang menggeram terusik oleh kelakuan kurang ajarnya. Juna, Arjuna! Genta tahu siapa yang sedang Rhea panggil. Teman dari orok yang sampai sekarang tetap nemplok seperti kembar siam dengan gadis ini. Berdiri di depan lift, Genta sedikit kerepotan menekan tombol turun di sana. Darahnya berdesir panas oleh hembusan lembut nafas Rhea yang menerpa lehernya. Susah payah dia menelan ludah, ketika bibir gadis di pelukannya itu menyentuh kulitnya. Rasanya makin meremang. Jantung Genta berdegup menggila saat hidung Rhea mengendus di sana. “Wangi ….” gumamnya makin erat memeluk Genta. “Diam! Jangan berisik atau aku tinggal kamu di sini!”Genta menggeram serak. Tangannya yang menyangga paha Rhea mencengkram kuat. “Jangaaaannn! Mereka sialan, Jun! Sofie tega banget selingkuh sama Lucky. Kalau suka kenapa nggak ngomong! Pasti aku kasih kok, si mokondo itu ke dia! Sampah tuh orang!” Rhea kembali menggerutu. Menyumpahi dua orang yang selama di London jadi teman terdekatnya. Tapi, ternyata diam-diam menusuk dari belakang. Pintu lift terbuka lebar. Di dalam ada tiga orang yang juga mau turun. Genta sengaja berdiri di paling depan, karena tidak mau paha dan kaki Rhea jadi bahan tontonan mereka. Lift bergerak turun. Otak Genta mulai kacau oleh kelakuan Rhea yang masih mengendus lehernya. Bagaimana dia bertahan untuk tetap waras, kalau terus digoda sentuhan panasnya. “Hauuss ….” gumam Rhea lirih. “Iya, nanti aku carikan minum!” sahut Genta masih berusaha sabar. Jemari gadis ini dengan kurang ajarnya malah mengelus tengkuknya. Nafas Genta terasa tercekat. Giginya mengerat hanya supaya tidak kelapasan mengumpat. Rhea yang haus, tapi dia yang menelan ludah kepanasan. Lift hampir sampai di lantai satu. Sialnya entah apa yang salah tiba-tiba lift terguncang, lalu berderit keras sebelum berhenti. Tangan Genta mendekap tubuh Rhea saat dia terhuyung nyaris terjengkang. Untung masih selamat. “Sialan!” umpat Genta bergegas keluar begitu pintu terbuka. Takut nanti tiba-tiba lift membawa mereka terjun bebas. Namun, saat mau membetulkan posisi Rhea karena gaunnya yang makin tersingkap naik, dia baru sadar satu tangannya mencengkram buah kenyal di d**a Rhea. “Minum!” rengekan gadis itu seketika menyadarkan Genta dari pikiran ngawurnya. “Rhe ….” panggilnya menunduk menatap wajah cantik di pelukannya. Tangan Rhea masih memeluk lehernya erat. Tapi, matanya sudah meredup nyaris tak sanggup melek lagi. “Hmm ….” gumam Rhea menatap sayu. Genta menghela nafas kasar. Rasanya luar biasa gerah. Dia masih menimbang, mau mengantar sendiri Rhea pulang atau menelpon tantenya. “Aku antar pulang, ya? Telepon mamamu nanti masih harus menunggu dia datang. Kelamaan!” ucapnya, tapi Rhea malah menggeleng dan melorot turun. “Heiii ….” Genta kelabakan menarik pinggang gadis itu merapat, takut tersungkur lagi. “Aku mau telpon Juna! Tidak mau pulang! Nanti kena omel mama!” gerutunya berusaha mengambil ponsel dari tangan tangan Genta. “Ponselmu mati. Gimana mau menelpon?! Ck, merepotkan saja!” sungut Genta bingung harus bagaimana membereskan biang masalah cantik satu ini. Cantik?! Dia menggeram menatap Rhea yang malah mendongak menatapnya dengan mata menyipit. Bibirnya mencebik mendengar Genta yang terus mengomel. “Aku bisa pulang sendiri! Tidak perlu merepotkan kamu!” sungutnya tidak suka, lalu mendorong Genta kesal. Namun, mana mungkin Genta membiarkannya pergi. Tangannya masih merengkuh erat pinggang ramping Rhea yang sedang merajuk. Berdiri saja sempoyongan, masih sempat-sempatnya marah. Genta menatap sekeliling lobi. Mereka masih berdiri tak jauh dari pintu masuk. Rhea tidak mau pulang, lalu dia harus mengantarnya kemana? Menghubungi Juna? Tapi, Genta juga tidak kenal, apalagi punya nomornya. “Ikut aku!” ajaknya merangkul Rhea keluar dari sana. Malu setengah mat menjadi bahan tontonan, karena Rhea yang jalannya sempoyongan dengan kaki nyeker. Mana mulutnya masih saja menggerutu lagi. Genta baru saja mau membopongnya lagi, ketika mendengar panggilan dari belakang mereka. “Rhea ….” Menoleh, Genta menatap dua orang yang mendekat dengan muka penasaran mereka itu. Pikir Genta pasti mereka teman Rhea yang datang bersama gadis ini ke sini. Tapi, jadi ragu karena senyum sinis yang mereka perlihatkan begitu mendapati Rhea sempoyongan di pelukannya. “Wah, hebat! Baru juga dilepeh Lucky, langsung dapat ganti. Dapat mungut darimana? Jangan-jangan saking frustasi, jadi asal nyomot pria di sini?! Miris banget nasibmu, Bestie!” olok Sofie tertawa mengejek. “Sof …” tegur Lucky melihat Genta yang menyeringai ke mereka. Ok, sekarang Genta tahu siapa dua curut norak ini. Lucky? Nama yang tadi Rhea sebut-sebut sebagai mokondo sialan. Berarti perempuan ini adalah teman yang sudah menikungnya. “Sampah! Ambil tuh mokondo sialan buatmu! Aku sudah dapat gantinya. Ganteng, kan?! Dokter lagi. Bukan benalu nggak modal kayak selingkuhanmu itu!” oceh Rhea sampai Genta menoleh dan tertawa pelan. Tangannya meremas pelan pinggang Rhea saking gemasnya. Alih-alih sewot karena Rhea menyeretnya dalam drama receh perselingkuhan mereka, Genta malah tampak menikmati saat Rhea memeluk lehernya manja. Wajah cantiknya yang memerah karena diracuni alkohol mendongak dengan tatapan memuja. Sialnya itu membuat jantung Genta makin berdegup kencang. Rengkuhannya mengerat. Menarik merapat tubuh Rhea sampai menempel ke tubuhnya yang seperti tersulut panas. Sepanjang dari lantai atas dia sudah setengah mati menahan diri, supaya tidak tergoda dengan sentuhan nakalnya. Sekarang Rhea malah mengajaknya bermain api dengan menyulut hasratnya. “Murahan!” geram Lucky tidak terima melihat Rhea mesra dengan pria lain. “Itu lebih pas kamu ucapkan ke tukang tikung teman di sampingmu itu! Cocok sama benalu pecundang sepertimu!” balas Genta. “Jangan terkecoh karena dia anak konglomerat! Aku sarankan untuk menjauh, sebelum kamu menyesal dijadikan cecunguk yang tak ada harga dirinya! Dia kasar dan arogan! Kamu bakal diinjak, kalau tidak menuruti apa maunya!” ucap Sofei mulai mencoba menjatuhkan Rhea, tanpa dia tahu Genta punya hubungan dekat dengan mama Rhea. “Bau busuk! Ternyata dari mulut sampah si anak pelakor! Cocok sih! Kan si mokondo juga anak pemerkosa. Bapaknya masih dipenjara!” balas Rhea tertawa puas melihat Lucky dan Sofei mendelik marah. “Tutup mulutmu!” geram mantan Rhea itu. “Aku?! Tutup mulut?!” Rhea menatap Lucky dengan jari menunjuk ke mukanya sendiri. “Oh!” angguknya paham. Tanpa diduga dia kembali mendongak melingkarkan tangannya di leher Genta, lalu menarik turun tengkuk pria tampan di hadapannya. Genta masih mencoba mencerna apa yang Rhea mau darinya, ketika gadis kurang ajar itu mencium bibirnya. Melumat panas di depan Lucky dan Sofei yang melongo melihat kelakuan liar Rhea.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN