Chapter 19 - Kayu

1043 Kata
Sejam kemudian, Anton dan Vina sampai ke sebuah kampung yang dinding rumahnya kebanyakan masih terbuat dari papan kayu. Hanya bagian setengah meter dari dinding di atas tanah yang diplester dengan rapi untuk mencegah serangga atau binatang tak diinginkan masuk ke dalam rumah mereka. “Ujung situ, Pak,” kata Vina sambil menunjuk ke arah salah satu belokan yang ada di tengah kampung. Anton yakin kalau ini bukan kali pertama Vina ke sini. Anton lalu memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah yang tak berbeda dengan rumah lainnya. Setelah itu, dia dan Vina turun dari mobil dan berjalan menuju ke arah rumah. Seorang laki-laki yang mengenakan sarung dan kemeja putih dengan kopiah di kepalanya sudah berdiri di depan pintu menunggu kedatangan Anton dan Vina. “Selamat Malam, Pak. Mohon maaf kalau malam-malam mengganggu dan bertamu ke rumah Bapak,” kata Anton sambil menyalami laki-laki yang dia taksir usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dari dirinya itu. Berbeda dengan Anton yang bersalaman formal dan memanggilnya Pak, ketika Vina datang, dia bersalaman dan mencium punggung tangan laki-laki itu, “Sugeng Ndalu, Gus.” “Monggo. Monggo. Masuk ke dalam. Saya sudah nungguin kalian dari tadi,” kata si laki-laki yang dipanggil Gus oleh Vina itu. Anton hanya mengrenyitkan dahinya, “Masa iya dia tahu kalau kami mau datang?” batinnya dalam hati. Anton sendiri sebenarnya sedikit pesimis dengan orang pintar yang sedang mereka kunjungi ini. Dia merasa kalau praktek-praktek ‘orang pintar’ ini adalah sesuatu yang sangat abu-abu. Sebuah transaksi bisnis yang bermodalkan kepercayaan semata. Dan tentu saja wajar jika Anton berpikiran seperti itu. Dia selama ini tak percaya hantu dan baru beberapa hari lalu sesuatu mengubah keraguannya. “Silakan duduk,” kata Akbar. Anton duduk dan memperhatikan sekelilingnya. Rumah ini masih khas pedesaan dengan satu ruangan besar dan empat tiang kayu balok untuk soko guru utamanya. Kursi tamu berada di tengah-tengah ruangan tepatnya di tengah keempat tiang soko itu. Biasanya, si empunya rumah akan duduk berlawanan dengan arah pintu masuk dan membelakangi sebuah penyekat tradisional yang terbuat dari kayu di belakangnya. Dua buah kamar terlihat di bagian kiri dan kanan rumah dan sedikit tersembunyi oleh dinding pembatas kayu itu. Akbar diam saja ketika melihat Anton memeriksa kondisi sekeliling rumahnya, “Maklum Pak, rumah orang kampung ya gini ini,” kata Akbar tak lama kemudian. “Bagus kok Pak,” jawab Anton. Ali hanya tersenyum simpul lalu mengalihkan perhatiannya ke arah si gadis cantik yang duduk di sebelah Anton, “Mbak pernah ke sini kan? Tapi saya rasa, bukan Mbak yang punya masalah kali ini,” kata Akbar. “Iya Gus. Ini Mas Anton, atasan saya, yang punya masalah. Saya nganter aja ke sini,” jawab Vina. Akbar tersenyum sambil kembali menoleh ke arah Anton, “Jadi? Gimana sekarang? Percaya?” tanyanya tiba-tiba. Vina yang mendengarkan pertanyaan Gus Akbar kebingungan, tapi Anton yang ditanya langsung kaget bukan kepalang. Dia tahu benar maksud pertanyaan to the point dari si orang pintar di depannya ini. Tapi Anton tak mau terjebak. Dia tetap berusaha untuk meyakinkan dirinya kalau mungkin saja semua yang dilihatnya beberapa malam lalu hanyalah khayalan saja. Melihat Anton yang terdiam tak menjawab, Akbar hanya tertawa kecil, “Nduk, bikinan minuman. Ada tamu ni lho,” katanya dengan suara sedikit keras ke arah belakang. Suasana ruang tamu rumah Akbar menjadi sedikit canggung. Vina melirik sekilas ke arah Anton lalu merapatkan duduknya dan mengusap punggung laki-laki itu. Seolah sedang menenangkan keraguan yang dialami oleh Anton saat ini. Akbar melihat tingkah Vina dan reaksi Anton ketika Vina melakukannya. Dia langsung sadar akan hubungan mereka yang mungkin tak hanya sekedar atasan dan bawahan. Tak lama kemudian, seorang gadis keluar dari belakang dengan sebuah nampan di tangannya. Ada enam buah gelas di sana, tiga gelas berisikan teh manis dan tiga gelas lainnya berisikan kopi hitam kental. Selain keenam gelas minuman itu, ada dua toples makanan ringan yang Anton sama sekali tak tertarik untuk mencicipinya. Setelah minuman mereka dihidangkan, Akbar bertanya kepada Anton, “Sampeyan suka minum apa?” Anton melirik ke arah teh dan kopi di depannya, “Teh ini tak terlalu manis kan?” tanya Anton. Akbar tertawa ketika mendengarnya, “Gini saja, saya kasih tawaran ke sampeyan, kalau sampeyan pengen membuktikan apakah dunia goib itu beneran ada atau tidak, minumlah kopi ini. Tapi kalau sampeyan milih percaya kalau dunia itu tak ada, silahkan diminum teh ini,” kata Akbar sambil menyodorkan dua buah gelas itu ke depan Anton. Akbar tak melakukan apa-apa saat menyorongkan teh hangat ke dekat Anton, tapi ketika dia memberikan segelas kopi, Akbar mengetukkan cincin yang dia kenakan ke gelas kaca berisi kopi itu pelan. Ketukan itu menimbulkan suara dentingan yang pelan tapi jernih. Anton melihat dua buah gelas yang ada di depannya saat ini selama beberapa saat lalu mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah si Akbar yang sedari tadi masih tersenyum sambil menatap tajam ke arah Anton. Dia melirik sebentar ke arah Vina di sebelahnya dan Vina balas menatapnya dengan tatapan kuatir. Anton sendiri bingung, kuatir untuk apa? Anton menarik napas panjang lalu membulatkan tekadnya. Dia meminum kopi yang tadi disodorkan oleh si tuan rumah Akbar beberapa saat lalu. Anton memejamkan matanya untuk sesaat lalu membukanya. Dia sudah bersiap-siap untuk menyaksikan sesuatu yang spektakuler, menakutkan atau membuat jantungnya melayang tapi semua itu tak terjadi. Tak ada yang berubah. Anton tetap melihat apa yang dia lihat tadi. Selama bebrapa detik, Anton memutar kepalanya dan mencari ke sana ke mari. Tapi dia tak menemukannya. “Sampeyan nyari apa?” tanya Akbar sambil tertawa kecil. Anton tersenyum kecut, “Saya pikir tadi…” Vina hanya diam dan mendengarkan. Sekalipun dia sedikit gagal paham di awal-awal tadi, tapi melihat perkembangan dari percakapan mereka berdua, Vina kurang lebih bisa menebak apa yang sedang terjadi. “Hahahahaha,” Akbar tertawa keras tapi sesaat kemudian dia tiba-tiba berhenti tertawa dan bertepuk tangan dua kali. Saat mendengar suara tepuk tangan yang terlihat normal itu, tiba-tiba saja, sekeliling Anton berubah. Dia tak lagi melihat rumah kayu sederhana yang berlantaikan plester tanpa lapisan ubin atau keramik. Dia melihat sebuah istana megah yang didominasi warna emas dan merah. Anton melihat ke arah dirinya sendiri dan menemukan kalau dia tengah duduk di suatu ruangan balairung yang memiliki empat tiang soko guru sama seperti rumah Akbar, tapi saat melihat ke arah Akbar yang duduk di depannya, Anton terkesima.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN