Chapter 14 - Ki Guntur

1076 Kata
“Nyerang itu urusanmu, aku cuma bantu nahan. Ngerti?” tanya Mbah Rebo yang disambut anggukan kepala berkali-kali oleh si paranormal yang menjawab dengan kata-kata penuh percaya diri, “Asalkan sampeyan yang nahan Mbah, saya yakin 100% kalau ndak akan ada yang bisa masuk.” Malam itu, Joyo melihat sendiri seperti apa sejatinya pertempuran di dunia mistis yang selama ini tak pernah dia lihat terjadi. Hingga larut malam, rumah Joyo masih dipenuhi oleh para pendukung dan tim suksesnya yang memang akan begadang semalam suntuk. Tentu saja Joyo akan menyediakan segala konsumsi, rokok hingga minuman maksiat kepada mereka semua. Setengah jam menjelang tengah malam, si paranormal yang menjuluki dirinya Ki Guntur Langit itu datang dan memintanya masuk ke dalam rumah. Sesampainya di dalam rumah, Ki Guntur terus mengajak Joyo menuju ke sebuah kamar kosong yang memang diminta oleh Ki Guntur sebagai tempat istirahat. “Kamu duduk bersila di tengah tanda lingkaran itu. Di area sepanjang ini sudah aku kasih pagar supaya kamu aman selama pertarungan sebentar lagi,” jelas Ki Guntur sambil menunjuk ke tengah-tengah ruangan ini. Joyo menuruti perintah Ki Guntur dan duduk bersila di tengah ruangan. Ki Guntur mendekat ke arahnya lalu bersila saling berhadap-hadapan dengan Joyo. Ki Guntur lalu menangkupkan tangannya di depan d**a sambil merapal mantranya. Sesaat kemudian, tangan kanan Ki Guntur terulur ke arah wajah Joyo dan dia mengusapnya dari atas ke bawah. Dengan reflek Joyo tentu saja menutup matanya karena usapan tangan Ki Guntur. “Tunggu! Jangan buka matamu dulu!” kata Ki Guntur memperingatkan. Joyo menganggukkan kepalanya. Ki Guntur terus berkomat-kamit merapalkan mantranya lalu dengan gerakan cepat dia menggunakan kedua buah jari jempolnya untuk mengusap kedua mata Joyo yang masih tertutup. “Aku barusan membuka mata batinmu. Setelah ini kau bisa membuka kedua matamu, tapi ingat, jangan kaget atau ketakutan saat melihat sekelilingmu!” pesan Ki Guntur. “Siap, Ki,” jawab Joyo. “Buka matamu,” kata Ki Guntur. Joyo pun membuka kedua matanya perlahan-lahan. Tak ada yang aneh dan berubah sama sekali. Ini masih tetap ruangannya yang tadi dan cuma berisi Ki Guntur dan dirinya dengan lampu penerangan yang memang tak begitu terang. “Ndak ada yang…” Kata-kata Joyo yang barusan separuh diucapkan itu tiba-tiba berhenti ketika dia merasakan sensasi hangat menjalar dari arah punggungnya menuju ke kepalanya lalu kedua matanya. Mata Joyo terasa seperti panas terbakar, tetapi untungnya sensasi panas itu hanya berlangsung sebentar saja. Sesaat kemudian, Joyo melihatnya. Di dalam ruangan yang ukurannya tak seberapa besar itu, puluhan mahluk dengan berbagai bentuk terlihat berdesakan. Joyo mengenali beberapa sosok di antaranya yang memang sudah umum dikenal oleh masyarakat seperti genderuwo, pocong, kuntilanak dan lainnya. Tapi ada banyak sosok lain yang Joyo tak tahu mereka itu apa. Lutut Joyo bergetar tanpa sadar karena ketakutan. Apalagi ketika mahluk-mahluk itu yang tadinya tak menyadari kehadiran Joyo kini menoleh ke arahnya hampir bersamaan. Joyo ingin berteriak lantang dan berlari kencang. Joyo bahkan bisa melihat dengan jelas taring runcing berwarna kuning milik salah satu mahluk yang kepalanya mirip seekor kucing dengan tubuh seperti manusia penuh bulu. “Aa.. A.. A...” lidah Joyo terasa kelu. “Sudah ndak usah takut. Mereka itu pasukanku!” sebuah suara mengagetkan Joyo dan ketika dia menoleh ke arah suara itu berasal, Joyo terkesima. Joyo tak menemukan sosok Ki Guntur di sampingnya tapi justru sebagai gantinya seekor harimau besar dengan bulu didominasi warna putih dan loreng hitam duduk dengan tenang di sebelahnya. Ketika Joyo melihat ke arahnya, si harimau putih itu juga menatap mata Joyo. Joyo mengenalinya sebagai Ki Guntur, tapi entah kenapa, dengan penampilannya saat ini, Joyo ingin sekali kehilangan kesadaran diri dan terbangun ketika semuanya sudah selesai. “Sebentar lagi…” kata si harimau putih alias Ki Guntur, “Kenapa Mbah Rebo belom datang juga?” Joyo tentu saja tak bisa menjawabnya. “Ya sudah. Yang terpenting, aku akan menyerang dulu ke sana. Semoga saja dengan pagar yang sudah kusiapkan, kau bisa bertahan sampai aku pulang,” kata Ki Guntur ke arah Joyo. Joyo jelas makin ketakutan. Kata-kata Ki Guntur barusan membuat Joyo merasa kalau hidupnya sebentar lagi akan terancam. “Tunggu Ki…” protes Joyo saat melihat si Harimau Putih bangkit berdiri. Belum sempat Joyo melanjutkan kata-katanya, seseorang tiba-tiba memasuki ruangan yang tadinya tertutup itu. Saat Joyo melihat ke arahnya, dia terkesima. Sosok yang baru saja memasuki ruangan ini adalah Mbah Rebo, guru silatnya semasa kecil dulu, seorang buruh tani yang sehari-hari mengerjakan sawah orang dengan imbalan sekedarnya saja. Tapi sekarang, Joyo melihat sesuatu yang lain. Mbah Rebo terlihat seperti seorang prajurit jaman kerajaan tempo dulu. Di pinggangnya, sebuah keris terselip rapi dan memancarkan cahaya keemasan. Di tangannya sebuah tombak panjang tergenggam dan terlihat mengancam. Tak ada tameng, tak ada perisai, tapi siapa pun yang melihat sosok Mbah Rebo yang sekarang dilihat oleh Joyo, tak akan ada yang berani menatapnya karena wibawa yang memancar dari sosoknya. Joyo juga melihat semua mahluk yang tadinya bergerombol langsung menghindar ketakutan saat Mbah Rebo memasuki ruangan. Tak ada satu pun yang berani menatap ke arah sosok Mbah Rebo yang kini berjalan pelan ke arah Joyo dan harimau putih penjelmaan Ki Guntur. Harimau putih yang ada di sebelah Joyo juga sedari tadi merundukkan kepalanya tak berani menatap ke arah sosok prajurit penjelmaan Mbah Rebo. “Bawa semua krocomu! Biar aku yang berjaga di sini,” kata Mbah Rebo pelan sambil menancapkan ujung tombaknya ke lantai ruangan yang seolah-olah terbuat dari kayu dan begitu mudahnya tertembus. Si Harimau putih menggeram pelan sambil menganggukkan kepalanya sekali. Tak lama kemudian, dia melesat pergi diikuti oleh semua mahluk buruk rupa lainnya yang ada di dalam ruangan. Kini hanya ada Joyo yang masih bersila di tempatnya dan sosok Mbah Rebo yang berdiri membelakangi Joyo. Joyo tahu kalau sosok Mbah Rebo sebagai prajurit yang sekarang dilihatnya ini sama seperti wujud harimau putih milik Ki Guntur. Itu adalah sosok astral tak nyata yang tak akan bisa dia lihat tanpa membuka mata batinnya. Tapi tetap saja Joyo harus mengakuinya, ada sesuatu yang berbeda dan dimiliki oleh sosok sang prajurit dari Mbah Rebo. Sesuatu yang membuat Joyo merasa kalau dirinya hanyalah rakyat biasa yang harus menuruti semua perintah dari sosok prajurit yang ada di depannya ini. “Joyo. Kau tak usah terlalu banyak berpikir. Anggap malam ini adalah salah satu pembelajaran untukmu, bahwa ada dunia lain di luar sana yang dihuni oleh mahluk lain selain manusia,” kata Mbah Rebo tanpa memalingkan badannya ke belakang. “Nggih Mbah,” jawab Joyo sambil menganggukkan kepalanya. Sama seperti puluhan tahun lalu ketika dia sedang berlatih di hadapan gurunya ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN