Chapter 15 - Ndak percaya

1130 Kata
Anton tak percaya hantu ataupun sejenisnya sebelum ini, tapi apa yang dia alami membuat Anton kembali mempertanyakan apa yang dia percayai. Kejadian yang dia alami beberapa hari lalu di teras belakang rumahnya membuat Anton bertanya-tanya tentang apa sebenarnya yang terjadi. Anton percaya, sebuah mimpi adalah proyeksi terdalam dari alam bawah sadar seseorang yang memberikan gambaran secara acak atau terkadang sesuai dengan keinginan, ketakutan, kekuatiran terdalam yang dia miliki. Tempat, kejadian, dan latar yang ditemui dalam sebuah mimpi biasanya adalah sebuah potongan memori yang tersimpan secara tak sadar. Mungkin di dalam sebuah mimpi, seseorang akan bertemu dengan banyak orang asing ataupun pergi ke tempat asing yang tidak dia kenal, tapi menurut keyakinan Anton, semua itu sebenarnya adalah rekaman bawah sadar dari otak yang mungkin terakses saat dalam kondisi bermimpi. Anton percaya, seseorang tak akan bisa memproyeksikan sebuah tempat di dalam mimpi jika dia tak pernah pergi ke tempat itu atau setidaknya pernah melihat foto atau video dari tempat itu sebagai gambaran visual yang diperlukan untuk dimunculkan dalam sebuah mimpi oleh alam bawah sadar seseorang. Itu artinya seseorang tak akan bisa memimpikan sesuatu yang tak pernah dia lihat, kunjungi, temui, atau ketahui, secara normal. Itulah kenapa Anton sekarang benar-benar galau. Dia mulai ragu apakah yang dialaminya beberapa hari lalu hanyalah sebuah mimpi? Tapi kalau itu memang mimpi kenapa ada banyak kejanggalan yang tak bisa dia jelaskan dengan akal sehatnya? “Tolong panggilin Pak Umar,” kata Anton ke salah satu customer serviceyang duduk di ruang depan. Anton bekerja sebagai manajer di salah satu Bank Perkreditan Rakyat alias BPR yang ada di kota kecamatan. Sebelumnya dia bekerja di salah satu Bank swasta nasional di kota besar sebelum akhirnya menerima tawaran di BPR yang lebih kecil tapi mendapatkan kenaikan jabatan dan tentu saja penghasilan. Pak Umar adalah office boy tertua di kantor BPR tempat Anton bekerja. Usianya sudah melewati masa pensiun tapi dia tetap dipertahankan oleh Bos Besar karena loyalitasnya kepada BPR tempat dia mengabdi. Tok tok tok. “Ya, masuk,” kata Anton. Seraut wajah cantik menyembul dari balik pintu. Tentu saja bukan Pak Umar tapi si customer service yang tadi disuruh Anton untuk memanggilkan Pak Umar. “Pak Umarnya lagi beli makan siang untuk temen-temen, Pak,” kata si CS cantik. “Ndak pa-pa, nanti kalau dia sudah balik, langsung saja suruh ke kantorku,” jawab Anton. “Iya, Pak,” jawab si CS sambil tersenyum manis, genit. Anton hanya menganggukkan kepalanya sambil balas tersenyum. Setengah jam kemudian, di depan Anton sudah duduk seorang laki-laki tua yang rambutnya dipenuhi uban tapi masih terlihat segar bugar. “Sudah makan siang Pak?” tanya Anton sopan. “Sudah, Pak,” jawab Pak Umar. Mereka berdua lalu terdiam. Anton terlihat sedikit ragu dengan apa yang mau dia utarakan, sedangkan Pak Umar hanya menunggu saja dengan tenang. “Gini, Pak,” kata Anton setelah menarik napas panjang, “Ada yang mau saya tanyakan ke Pak Umar.” “Monggo Pak, silakan saja,” jawab Pak Umar. “Anu… Tapi jangan berpikiran yang aneh-aneh Pak. Maksud saya… Ini mungkin agak nggak masuk akal, soalnya kan di jaman seperti sekarang ini… Jamannya orang sudah make smartphone canggih dan terbang ke luar angkasa…” Pak Umar mengrenyitkan dahinya mendengar kata-kata salah satu atasannya ini yang muter-muter tak jelas arahnya, “Langsung saja Pak, ke masalahnya,” kata Pak Umar pelan. “Huft,” Anton kembali menarik napas panjang dan menghempaskannya. Dia lalu menatap tajam ke arah Pak Umar dan berkata pelan, “Pak Umar percaya hantu?” Pak Umar sedikit kaget ketika mendengar pertanyaan Anton, tapi tak lama kemudian dia menjawab, “Saya ndak percaya hantu, Pak.” Anton yang justru kini sedikit kaget mendengar kata-kata laki-laki tua di hadapannya itu, “Tapi… Kata si Vina…” Anton menyebut nama salah satu CS di kantor mereka. “Mbak Vina bilang apa Pak?” tanya Pak Umar. “Vina bilang, Pak Umar mungkin tahu soal beginian,” jawab Anton. Pak Umar tertawa kecil, “Mbak Vina salah Pak. Saya ndak tahu urusan ghoib. Saya juga ndak percaya hantu. Tapi…” “Tapi?” tanya Anton. Pak Umar tersenyum kecil, “Menurut keyakinan saya, hantu itu tidak ada. Apalagi hantu yang katanya arwah orang meninggal lalu gentayangan dan menampakkan sosoknya atau menganggu manusia yang masih hidup. Itu ndak mungkin, Pak.” “Eh?” Anton yang kali ini sedikit kaget, “Terus apa itu… Kuntilanak… Kan katanya kuntilanak itu hantu wanita yang meninggal saat hamil…” lanjut Anton. “Pocong juga. Itu kan sebenarnya orang yang meninggal tapi saat dikuburkan talinya lupa dilepas, karena itu gentayangan meminta tolong agar dibantu untuk melepas talinya kan?” cerocos Anton. “Kalau mereka itu tidak ada, kenapa banyak yang melihat mereka? Bukan satu dua. Tapi banyak…” Pak Umar tersenyum kecil, “Mereka itu Jin,” jawabnya pendek. “Jin? Seperti yang keluar dari lampunya Aladdin?” tanya Anton lagi. “Saya ndak tahu soal Aladdin dan jinnya, Pak,” jawab Pak Umar. “Huft…” Anton menarik napas panjang dan menghempaskan badannya ke sandaran kursi yang ada di belakangnya. Pak Umar tetap menunggu dengan sabar sambil tersenyum kecil. “Gini… Semisal ini… Misalnya saja rumah kita itu angker, ada penunggunya… Kira-kira Pak Umar bisa ngusir mereka ndak? Atau bikin semacam pagar batin gitu agar mereka nggak ganggu?” tanya Anton. Pak Umar menggelengkan kepalanya, “Saya ndak bisa yang gitu-gituan, Pak.” “Huft,” Anton kembali menarik napas panjang, “Mungkin ada saran atau apa gitu?” Pak Umar terlihat berpikir, lalu tak lama kemudian dia berkata pelan, “Nganu Pak, mohon maaf sebelumnya. Menurut sepengetahuan saya, kalau rumah tak ingin seperti kuburan, harus sering-sering digunakan untuk ibadah dan baca Al Quran.” “Ibadah dan baca Al Quran?” ulang Anton lagi dengan nada mengambang. Pak Umar menganggukkan kepalanya tanpa suara lalu mereka berdua kembali terdiam. Beberapa menit kemudian, Pak Umar pamit undur diri dari ruangan Anton untuk kembali bekerja. “Pak Umar ndak bisa. Dia aja ndak percaya hantu!” sungut Anton ke arah Vina yang menundukkan kepala karena kena semprot atasannya. “Maaf Pak. Soalnya kan, Vina dengar, dulu kantor ini angker juga Pak. Bekas kuburan malah. Hanya Pak Umar yang berani tidur dan jaga malam di sini sejak dulu,” jawab Vina. “Ha?” Anton sedikit kaget. “Iya Pak. Bahkan Mas Yanto sekuriti kita aja cuma berani semalam tidur di sini. Habis itu dia kapok dan bilang, lebih baik dia dipecat daripada disuruh jaga malam di kantor kita lagi,” jawab Vina. “Tapi Pak Umar ndak bisa Vin. Dia lho ngomong sendiri ke aku,” protes Anton. “Ya udah, nanti Vina cariin info lagi ya Pak,” kata Vina berusaha menenangkan atasannya. “Hu um. Kalau bisa yang valid lho ya,” jawab Anton. “Beres deh, Pak,” kata Vina sambil tersenyum manis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN