“Nggih Mbah,” jawab Joyo sambil menganggukkan kepalanya. Sama seperti puluhan tahun lalu ketika dia sedang berlatih di hadapan gurunya ini.
Pengalaman yang dialami Joyo saat malam pemilihan kepala desa yang membuatnya menang itu benar-benar tak bisa terlupakan olehnya seumur hidup. Hal itu juga sedikit banyak membuat Joyo lebih berhati-hati saat bersikap dalam menghadapi seseorang. Kita tak akan pernah tahu jika seorang tukang penjual siomay di pinggir jalan ternyata jawara silat yang ingin mencari uang halal kan?
Tapi bukan berarti itu membuat sifat Joyo menjadi baik atau bertobat. Dia tak suka merendahkan orang lain, itu benar. Tapi dia tetap doyan main wanita dan menggoda istri orang. Apalagi dengan uang yang dia miliki dan hidup di desa yang dia pimpin, dia bagaikan raja kecil yang berkuasa.
Itulah kenapa, saat melihat tatapan si Edi ketika melihat goyangan p****t Retno, Joyo tahu betul isi kepala si kecoak itu. Dan Joyo dengan sengaja memprovokasinya dengan menepuk p****t berisi milik mertuanya sendiri itu. Emang sakit jiwa si Joyo ini.
“Aku mau di sini jadi taman, terus di bagian sini kolam renang. Nanti kita kasih pagar tembok di sekeliling…” cerocos Retno sambil menunjukkan ke lokasi-lokasi yang dia sebutkan. Si Arsitek Edi dengan cepat menulis berbagai catatan kecil di buku yang dia pegang. Dia juga mengikuti Retno ke sana ke mari.
Joyo hanya melirik sekilas ke arah kedua orang itu. Dia tak begitu peduli sebenarnya. Bukankah dia membuat rumah ini untuk istrinya?
Teringat dengan istrinya, Joyo menoleh ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan sana. Joyo sendiri tak tahu alasan pastinya, tapi Astuti tak pernah berbicara sepatah kata pun kepada Retno, Ibunya sendiri. Saat mereka sampai di sini tadi, Retno juga sudah membujuk Astuti untuk turun dan ikut memberikan saran, tapi gadis itu tetap memilih duduk di dalam mobil.
Joyo menyalakan rokok sebatang lalu berjalan menuju ke arah mobilnya. Dia sendiri juga heran, bagaimana mungkin seseorang wanita seperti Retno bisa memiliki putri seperti Astuti. Kepribadian mereka sangat bertolak belakang. Joyo tahu seperti apa liarnya si Retno, tapi anaknya?
“Buk, nggak turun?” tanya Joyo setelah membuka pintu mobilnya di sebelah kiri ke arah Astuti yang memejamkan matanya tapi jelas-jelas tak tertidur.
“Nggak,” jawab Astuti lirih.
Joyo hanya terdiam lalu dia menutup kembali pintu mobilnya dan berdiri di luar sambil menghabiskan rokoknya. Sesekali dia melihat ke arah Retno dan Edi yang masih sibuk dengan diskusi mereka.
======
“Kamu hamil ya, Sayang?” tanya Joyo antusias ke arah Astuti yang terbaring lemah di atas ranjang.
Joyo tentu saja senang. Dia tak punya keturunan dari pernikahannya yang pertama bahkan hingga sang istri meninggal dunia, tapi dengan Astuti, dia langsung mendapatkan hasil luar biasa. Kini dia punya keturunan untuk mewarisi trah keluarga yang dia miliki.
Sejak tahu kalau istrinya hamil, Joyo juga tak lagi segila dulu. Dia tak keluar malam dan lebih sering menghabiskan waktunya di rumah menemani Astuti. Tentu saja bukan di rumah milik Prayitno yang selama ini ditinggali Astuti ataupun rumah baru yang sedang dia bangun untuk istrinya itu, tapi di rumah Joyo sendiri.
Seiring berjalannya waktu, sikap Astuti juga pelan-pelan melunak kepada sang suami yang dibencinya itu. Bahkan terkadang, Astuti tak kuasa membendung air mata ketika melihat betapa perhatiannya Joyo kepada calon bayi yang ada di rahimnya.
Saat itu, Astuti sedang mengalami masa terpuruk dan terkelam dalam hidupnya dan kehilangan bapak kandungnya sendiri. Di saat yang sama, tiba-tiba seorang laki-laki seumuran orang tuanya datang untuk memperistri dirinya, ditambah lagi paksaan dari sang Ibu yang tiap hari dia terima, tentu saja Astuti muak. Bahkan, Astuti sempat berpikiran untuk mengikuti jalan yang dipilih oleh Bapaknya untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Tapi Astuti tak pernah punya cukup keberanian untuk itu. Dia memilih untuk diam dan mengalah, mengikuti semua permintaan ibunya dan menikah dengan Joyo.
Awal-awal menikah dulu, Joyo juga sering bersikap kasar terhadap dirinya. Sangat berbeda dengan perlakuan yang dia berikan sekarang. Kehamilan Astuti telah mengubah semuanya. Astuti bahkan merasa bahwa mungkin ini saatnya jalan hidupnya akan berubah. Seperti sebuah roda yang berputar, ada kalanya di bawah, ada kalanya di atas.
Astuti perlahan tapi pasti mulai menerima takdirnya sebagai istri sang Kades Joyo. Dia juga perlahan-lahan mulai bersikap lebih lunak dan tidak lagi dingin kepada laki-laki itu. Mungkin, selain karena perubahan sikap Joyo yang menjadi mesra karena kehamilan Astuti, alasan lain yang membuat gadis itu berubah adalah karena dia tak serumah lagi dengan ibu kandungnya, Retno.
======
“Yang ini aja bagus, Mas,” kata Retno sambil menunjuk ke salah satu motif keramik yang terpajang di depannya.
“Iya, motif ini memang cocok dengan gaya rumah Mbak yang sedang dibangun,” kata Edi setuju dengan pilihan Retno.
Setelah beberapa minggu selalu berhubungan setiap hari karena urusan pembangunan rumah, Retno dan Edi sudah akrab dan kini hanya menggunakan panggilan Mas dan Mbak di antara mereka. Mereka juga mulai tak sungkan lagi untuk bercanda satu sama lain. Edi sendiri heran, bagaimana bisa wanita seusia Retno memiliki penampilan yang tak kalah dengan wanita yang seumuran dengan Edi sendiri. Baik dari segi kecantikan wajah maupun bentuk tubuhnya. Edi sama sekali tak merasa malu jalan berdua dengan Retno saat ke kota. Dia bahkan merasa bangga saat banyak mata laki-laki lain yang selalu melirik ke arah Retno dengan tatapan terpesona.
“Mbak, kok bisa sih nerima Pak Joyo jadi mantu?” tanya Edi saat mereka dalam perjalanan pulang di dalam mobilnya.
Retno mengrenyitkan dahinya. Mereka berdua memang sudah mulai akrab, tapi dia merasa sedikit tersinggung saat Edi menanyakan itu. Bukankah itu terlalu privasi untuk ditanyakan?
Edi melirik sekilas ke arah Retno. Ketika melihat ekspresi tidak suka di wajah wanita itu, Edi langsung meminta maaf, “Maaf Mbak, keceplosan.”
Setelah itu, suasana menjadi canggung di antara mereka berdua. Edi hanya bisa menelan ludah berkali-kali, menyesali kebodohan dan kelancangan mulutnya sendiri. Mereka berdua hanya terdiam sepanjang jalan dan tak lagi mengobrol apa-apa.
Sekalipun Retno sudah menjadi besan dari Joyo, tapi dia tetap membuka warungnya seperti dulu. Dia juga sama sekali tak berniat mengembangkan usahanya untuk menjadi lebih besar. Warung di depan rumahnya tersebut masih warung sederhana terbuat dari dinding papan kayu, sama seperti rumah tinggal milik Retno di belakangnya.
Banyak tetangga dan orang desa yang merasa kalau Retno menjadi kaya karena Joyo. Janda si Prayitno itu melanjutkan usaha warung kopinya agar tidak bosan setelah ditinggal Astuti yang ikut suaminya. Padahal tak ada yang lebih tahu berapa uang yang Retno terima dari Joyo setiap bulannya.
Sesuai pesan Mbah Dukun yang dulu ditemui oleh Retno, sekecil apa pun, dia harus punya usaha untuk lantaran.
Awalnya, Retno merasa kalau perjanjian pesugihan yang dia buat dengan mahluk itu akan terwujud dalam bentuk penglarisan, dimana usaha dagangnya akan laris manis dan pelanggan membanjir. Tapi ternyata, pesugihan itu jauh lebih sederhana.
Retno wanita kampung. Dia bisa berhitung sederhana tapi dia tak bisa melakukan pembukuan yang terperinci untuk warung kecilnya. Dia tak punya catatan berapa besarnya pembelian yang dia lakukan dan juga besarnya penjualan yang berhasil dia terima.