Stevani menggoyang pelan gelas berisi wine hingga menimbulkan pusaran kecil. Dipandanginya lama-lama cairan merah pekat itu, lalu menyesapnya sampai tandas. Rasanya sedikit pahit, menempel di lidah, dan meninggalkan sensasi hangat yang merayap turun di tenggorokan.
Seolah tak ingin membiarkan gelasnya kosong terlalu lama, Stevani kembali mengisinya—kali ini lebih banyak dari sebelumnya. Dia menegaknya bertahap, sampai perutnya terasa penuh, barulah dia berhenti sejenak.
Deru napasnya terdengar memburu di antara hening malam. Rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya yang sembap. Di hadapannya, layar ponsel menyala, menampilkan unggahan dari sebuah akun gosip yang sudah memiliki banyak pengikut.
Cepat sekali mereka memposting berita terbaru, seolah di dunia nyata mereka tidak punya kesibukan. Ah, mungkin admin akun itu memang seorang pengangguran. Makanya senang sekali ikut campur urusan orang, dan tidak bisa diam ketika melihat ada bahan yang bisa dibuat gaduh.
Video berdurasi pendek saat Prajaka mencium Zalima di resepsi pernikahan—yang mereka upload—langsung dipenuhi komentar dan like. Headline yang menyertainya pun semakin mengundang rasa penasaran: “CIUMAN DI RESEPSI?! Raden Prajaka Kecup Istri Barunya, Netizen Auto Heboh!”
Beragam tanggapan muncul. Sebagian terkejut mengetahui Prajaka sudah beristri, padahal kabar pernikahannya tidak pernah terdengar. Sebagian lain penasaran siapa wanita yang kini menjadi istri barunya, tapi tentu saja, banyak yang tak lupa mengaitkannya dengan Stevani—dan langsung membandingkan mereka.
Dan setiap komentar yang menyematkan namanya, tidak ada yang baik. Stevani diejek, diolok-olok, disumpahi, bahkan didoakan hal buruk.
Membacanya membuat urat di pelipisnya menegang dan dadanya terasa panas. Emosinya melesak naik; akhirnya dia mulai melaporkan satu per satu akun yang menuliskan ujaran kebencian itu.
Dia sadar dirinya bersalah. Dia menerima ketika orang menyebutnya wanita peselingkuh. Tapi ... apa tidak bisa orang-orang itu mulai memaafkannya? Bukankah pendosa pun berhak mendapat kesempatan kedua?
Mereka hanya bisa menghakimi tanpa tahu alasan di balik perbuatannya. Memang tidak ada pembenaran untuk apa yang dilakukannya, tapi tidak sepantasnya mereka terus mencecar, seolah mereka manusia paling suci. Mereka tidak berada di posisinya, makanya mereka tidak tahu beban seperti apa yang dia pikul.
Dua tahun berpacaran dengan Prajaka, dua tahun mereka berumah tangga. Empat tahun bersama—cukup lama untuk tahu sifat satu sama lain. Yang baik, yang buruk. Mereka belajar menerima, meski tidak pernah mudah mengatasi semua perbedaan itu.
Namun yang paling memberi dampak justru kesibukan yang membuat mereka jarang benar-benar punya waktu bersama. Hari demi hari, jarak di antara mereka pun semakin melebar.
Tak terhitung berapa kali janji makan malam dibatalkan sepihak karena Stevani atau Prajaka lembur. Ditambah lagi saat itu Prajaka sering dinas ke luar kota dan luar negeri, sampai-sampai ketika berada di rumah pun mereka sulit bertemu.
Padahal Stevani tahu, bahasa cinta Prajaka adalah dedikasi. Dia tak menunjukkan cinta lewat banyak waktu, tapi lewat prioritas dan konsistensi. Dia selalu berusaha mengecek kondisi Stevani, meski hanya lewat pesan. Dia memastikan hal-hal penting mengenai istrinya tak pernah dia lewatkan. Hubungan mereka tetap menjadi pusat hidupnya, meski pekerjaannya menyita banyak waktu.
Tapi bahasa cinta Stevani sangat berbeda. Dia merasa dicintai ketika Prajaka hadir penuh—memperhatikan detail hidupnya, memberi batasan yang jelas, menunjukkan kecemburuan seperlunya, membuatnya merasa “diprioritaskan secara nyata.” Baginya, cinta adalah keterlibatan intens, bukan sekadar janji dari jauh.
Dan karena jarak di antara mereka makin besar tanpa ada yang benar-benar menambal, tanpa disadari orang ketiga pun masuk. Mantan pacar pertamanya—Daniel, seorang fotografer baru yang bekerja dalam proyek yang sama. Intensitas pekerjaan membuat mereka sering bertemu, berdiskusi, saling bergantung, dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama dibanding dengan suaminya.
Dari kedekatan profesional itulah hubungan mereka melampaui batas dan perlahan berubah menjadi perselingkuhan. Ketika Stevani sadar itu salah, semuanya sudah terlambat. Dia sudah terlanjur jatuh terlalu dalam pada Daniel, terjerat dalam nafsu yang dibungkus nostalgia cinta lama yang muncul pada waktu yang paling tidak tepat.
Saat Prajaka mengetahui perselingkuhan itu, Stevani menyesal luar biasa. Apalagi skandalnya sampai terkuak dan menjadi gunjingan banyak pihak. Dan ketika keluarga Prajaka meminta mereka bercerai, barulah Stevani benar-benar sadar: dia masih sangat mencintai Prajaka, dan tidak ingin kehilangannya.
Karena itulah dia mengakhiri hubungan singkatnya dengan Daniel, lalu memutuskan untuk memperbaiki semuanya—mengiba permohonan maaf, sekaligus mengejar kembali mantan suaminya.
Namun memaafkan tidak semudah membalik telapak tangan. Prajaka memberi syarat berupa “ujian” untuk melihat sejauh mana penyesalan Stevani. Tak hanya itu, dia membalasnya dengan cara yang sama—tapi tetap lebih terhormat dibandingkan apa yang Stevani lakukan.
Makanya saat ini Stevani sedang menanggung dampak dari ujian itu. Dan meski rasanya sakit, cemburu, dan menyayat, dia tidak berhak protes. Selain memang harus menerima konsekuensinya, dialah yang menyanggupi syarat Prajaka sejak awal.
Helaan napasnya kembali terdengar ketika dia menyibak rambut yang menghalangi pandangannya. Stevani meraih ponselnya, mencari kontak Prajaka, lalu langsung menekan tombol panggil.
Malam ini perasaannya sangat tidak baik. Dia ingin mendengar suara Prajaka—suara yang biasanya mampu menenangkannya. Dengan begitu, kenangan tentang ciuman Prajaka dan Zalima di resepsi tadi mungkin bisa sedikit terhapus dari kepalanya.
Setelah beberapa detik menunggu, nada sambung berganti suara berat yang sangat dikenalnya. “Halo.”
“Kau masih terjaga? Kalau begitu, ayo kita bertemu.”
“Sudah hampir tengah malam. Tidurlah, Stev. Besok pagi aku akan sarapan di rumahmu.”
Stevani menyunggingkan tersenyum tipis—senyum yang terlihat menyedihkan. Tatapannya kosong ke satu titik, seolah sedang melihat sosok Prajaka di sana. “Apa seperti ini rasanya saat kau melihatku dulu? Atau bahkan lebih?” suaranya melirih, nyaris pecah. “Praja, maafin aku, ya. Aku membutuhkanmu sekarang. Apa kau mau datang ke sini?”
“Perbandingannya masih belum setimpal. Apa yang kau rasakan belum ada apa-apanya dengan yang aku rasakan. Tapi, Stev … bertahanlah. Kau ingin kembali padaku, kan? Buktikan kalau kau bisa melewatinya.”
Bahu Stevani terkulai lemah. Bibirnya bergetar. Matanya berkaca-kaca, siap tumpah kapan saja. Tapi menolak jadi seseorang yang rapuh, dia mengangguk kecil dan kembali memaksakan senyum.
“Baiklah. Demi bisa kembali bersamamu lagi, aku akan berusaha menahannya.”
“Itu jawaban yang ingin kudengar dari mulutmu. Selamat beristirahat, Stev.”
Panggilan terputus. Layar ponselnya perlahan meredup ketika Stevani menjauhkannya dari telinga. Dia meletakkan benda itu kembali di meja, lalu meraih botol wine. Dia menuang isinya ke gelas dan menyesapnya dalam-dalam.
Tidurlah, kata Prajaka. Tapi mana mungkin dia bisa tidur, ketika kondisi emosinya masih kacau dan suara pria itu belum cukup menenangkan hatinya.
Saat kepalanya mulai pusing dan pandangannya berat, sebuah notifikasi masuk membuat fokusnya langsung tertarik.
Dia buru-buru membuka kunci ponsel, mengeklik pesan baru itu, lalu membacanya.
Unknown: [Aku kangen kamu, Vani.]
Hanya sebaris kalimat singkat, tapi sukses membuat Stevani marah sekaligus ... gemetar.
***
Pukul dua siang, setelah kelasnya dengan Sally Mardela berakhir, Zalima mendapat kiriman yang sama sekali tak ia sangka—seekor kitten ras Maine Coon berwarna abu-abu putih, lengkap dengan kandang dan perlengkapan makan.
Betapa girangnya ia menerima kiriman itu. Begitu menandatangani bukti penerimaan, dia langsung memanggil Bi Asih dan Bi Ina untuk berkumpul di ruang tengah karena ingin berdiskusi soal sesuatu.
“Lihat, aku punya anak!” serunya begitu mereka datang.
Bi Ina dan Bi Asih saling pandang, bingung, sementara Emily hanya duduk tenang sambil mendengarkan.
“Um ... jadi, Bapak yang membelikannya untukku. Katanya sebagai reward karena aku sudah melakukan tugasku dengan baik.”
Barulah kedua ART itu mengangguk mengerti.
“Lalu apa yang harus Ibu lakukan pada kucing itu?” tanya Bi Ina, mewakili rasa penasaran mereka bertiga.
“Aku ingin memeliharanya. Makanya aku panggil kalian, untuk membicarakan ruangan mana yang cocok untuk jadi tempatnya.”
“Bagaimana kalau di halaman samping atau belakang saja, Bu? Supaya bau kotorannya tidak mengendap di dalam rumah,” usul Bi Ina.
“Benar. Kalau tetap di dalam, kita harus tanya dulu ke Bapak, apakah beliau mengizinkan salah satu ruangan dipakai untuk kucing,” tambah Bi Asih.
Zalima mengangguk, tapi wajahnya langsung berubah ketika memandang Bi Ina. “Jangan taruh di luar, Bi. Kasihan kena angin, hujan, dan panas. Nggak tega aku.”
Emily akhirnya ikut angkat bicara. “Menurut saya, memang paling pas cari ruang khusus saja. Sekarang banyak pasir kucing yang aromanya wangi, jadi tidak perlu terlalu khawatir soal bau.”
Diskusi itu berakhir dengan satu keputusan: menunggu kepulangan Prajaka. Untuk sementara, Zalima membawa kitten itu ke kamarnya dan meminta Bi Asih menaruh kandang serta makanannya di ruang penyimpanan.
Dia bermain dengan kucing itu sampai lupa waktu. Bahkan dia sudah menyiapkan nama—Miu-miu. Supaya mudah dipanggil nantinya.
“Miu, di rumah utama keluarga Dirgantara kamu punya bapak. Nanti kalau ke sana, aku kenalkan. Sapa yang sopan, ya,” katanya sambil mengelus kepala mungil itu.
Tentu saja Miu-miu tidak mengerti, tapi tingkah lucunya yang berguling-guling di tempat tidur membuat Zalima langsung menciuminya berkali-kali karena gemas.
*
Pukul lima sore, Zalima menyambut kepulangan Prajaka dengan Miu-miu di gendongannya—membuat mereka sekilas tampak seperti keluarga kecil yang harmonis.
“Makasih untuk kucingnya.” Zalima mengangkat Miu-miu sedikit, menunjukkan betapa bahagianya dia saat ini. “Aku nggak nyangka kamu bisa mendapatkannya secepat ini.”
“Sama-sama. Kebetulan Renata kenal orang yang menjual hewan peliharaan—anaknya suka anjing. Maaf kalau tidak sebesar kucing di rumah utama, karena itu dibeli langsung dari tempat asalnya oleh kakakku.”
“Nggak masalah. Selama rasnya Maine Coon, aku tetap terima.”
“Syukurlah.” Senyum lega terbit di wajah Prajaka.
Senyum itu kemudian menular pada Zalima. “Ngomong-ngomong, Kak ... aku mau minta izin pakai satu ruangan untuk tempat tinggal Miu-miu.”
“Miu-miu?” ulang Prajaka. “Itu namanya?”
“Iya. Aku nemu di internet. Cocok, kan?”
“Cocok. Lucu.”
Zalima langsung berbinar dan tersipu. “Makasih.”
Tapi dari cara Prajaka menatapnya, jelas ada sesuatu yang berubah. Yang lucu bukan lagi nama kucingnya—melainkan Zalima sendiri, dengan sikap penurut dan batasan yang perlahan turun. Ada sesuatu yang menggelitik d**a Prajaka, sebuah rasa gemas yang datang begitu saja, sampai dia harus mengalihkan pandangan untuk menepis pesona itu.
“Oh iya, soal ruangan,” lanjut Prajaka, berdehem. “Pakailah mana pun yang kau mau. Aku tidak keberatan. Lagipula rumah ini juga rumahmu.”
“Serius?”
“Serius.”
“Kalau gitu, sekali lagi makasih, Kak!” Zalima sampai melompat kecil karena terlalu senang, lalu bergegas pergi sambil tetap mengucapkan terima kasih berkali-kali di sela langkah larinya.
Prajaka hanya bisa menggeleng melihat kelakuannya, tapi diam-diam dia tersenyum. Hari ini, Zalima benar-benar mengingatkannya pada Zalima delapan tahun lalu—manis, cerah, dan menggemaskan.
Ternyata sisi itu masih ada, belum sepenuhnya hilang dari dirinya. Selama ini dia hanya menekannya rapat-rapat agar tidak muncul ke permukaan. Namun barusan, dia sedikit kecolongan—seekor kucing kecil berhasil menarik sisi lembut itu keluar. Andai tidak ada hal yang benar-benar membuatnya bahagia, mungkin dia akan terus memasang batasan tanpa celah.
“Harus suasana hatimu bagus dulu, baru kau mau memanggilku ‘Kak’, ya?” gumam Prajaka pelan, sebelum akhirnya melangkah menuju kamarnya.
***