17. Kedatangan Tiba-tiba

1575 Kata
“Miu-miu, makan yang banyak, ya. Biar cepat besar,” ucap Zalima saat menyodorkan tempat makan berisi salmon untuk wet food, ditambah sedikit dry food kibble premium sebagai pelengkapnya. Selesai yoga tadi, bukannya sarapan, Zalima malah lebih dulu mengurus kebutuhan perut kitten-nya. Karena ini pertama kalinya dia memiliki hewan peliharaan, dia berkomitmen penuh untuk serius merawatnya. Dia ingin menjadi majikan yang baik: memberi kasih sayang, memenuhi semua kebutuhannya, dan merawatnya dengan tulus. Anggap saja Zalima sedang belajar menjadi orang tua—meski sepertinya kelak dia tak akan pernah menjadi orang tua. Saat Miu-miu mulai makan dengan lahap, Zalima berjongkok sambil memandangi penuh rasa gemas. Tangannya gatal ingin menggaruk kepala dan punggung Miu-miu, namun dia tahan sekuat tenaga, karena tidak ingin mengganggu waktu makan makhluk berbulu itu. Beberapa menit kemudian, fokus Zalima terpecah ketika Prajaka lewat. Dia tidak sendirian; Stevani berada di sampingnya—keduanya baru selesai jogging. Di tangan Prajaka ada kantong plastik berlabel supermarket ternama. Rupanya mereka sempat berbelanja sebelum pulang. “Aku kangen nasi goreng buatanmu,” ujar Stevani sambil merangkul lengan Prajaka yang tidak memegang kantong. “Sepertinya kalau aku makan itu pagi ini, semangat kerjaku bisa bertahan sampai sore.” “Aku akan memasaknya untukmu.” “Makasih banyak, Sayang.” Entah ekspresi apa yang ditunjukkan Prajaka, tetapi Zalima jelas mendengar jawabannya, “Sama-sama, Stev,” dengan nada yang ... lembut. Kalau mereka sedang mode harmonis begini, biasanya reaksi Zalima tak jauh dari mengernyitkan kening dan bergidik. Dia masih belum terbiasa melihat dua orang yang bercerai karena perselingkuhan, kembali mesra seolah tidak pernah terjadi apa pun. Andai Zalima yang berada di posisi itu, dia pasti tidak sanggup. Dia bukan tipe yang bisa bersikap seolah lupa. Dia cukup pendendam dan akan mengungkit kesalahan sekecil apa pun sampai kiamat datang. Tapi karena ini Prajaka, Zalima hanya memperhatikan sambil menertawakan kebodohannya dalam hati. Mantan yang dulu dianggapnya paling baik, ternyata menjalani hidup menyedihkan seperti ini—menyedihkan secara harfiah dalam urusan cinta. Memang manusia tidak ada yang sempurna; beruntung dalam keluarga dan pekerjaan, tidak lantas membuat Prajaka beruntung dalam urusan hati. Setelah mereka menghilang dari penglihatan, Zalima kembali memperhatikan kitten-nya. Makanan Miu-miu hampir habis, membuat bibir Zalima kembali terangkat membentuk senyum bangga layaknya seorang ibu melihat anak toddler-nya makan lahap. “Kamu suka banget, ya? Wadah makanmu hampir bersih, lho. Kayaknya kamu tipe yang nggak bakal menyia-nyiakan makanan walau cuma seuprit.” Saat Zalima sibuk mengajak Miu-miu mengobrol, Emily datang membawa nampan berisi segelas s**u dan semangkuk salad. “Ibu makan di sini saja, ya. Area dapur lagi dipakai Bapak sama mantan istrinya,” kata Emily sambil meletakkan nampan di meja, menatanya agar siap disantap Zalima. “Saya pikir kalau Ibu tetap sarapan di sana, Ibu akan merasa kurang nyaman.” “Kamu peka banget, Mil. Padahal aku belum ngomong apa-apa, lho.” Zalima terkekeh saat mendongak, lalu bangkit ke sofa karena tiba-tiba merasa lapar. “Makasih banyak, ya. Kalau nanti kita udah nggak kerja bareng, aku bakal rekomendasiin kamu ke orang-orang supaya mereka tahu sebagus apa kinerjamu.” “Salah satu tugas saya menuntut saya memahami situasi dengan baik, Bu. Dan saya senang kalau itu bisa membantu.” Emily ikut tersenyum tipis. “Terima kasih kembali. Saya juga senang bisa bekerja dengan Ibu.” Percakapan mereda ketika Zalima mulai makan. Sesekali, di sela mengunyah, perhatiannya teralih pada Miu-miu yang kini bermain sendiri setelah kenyang. Bukannya bermalas-malasan, dia malah semakin lincah melompat dan meraih apa pun yang menurutnya menarik. Fokus Zalima kembali terpecah ketika dering ponsel terdengar. Rupanya milik Emily. Kening Zalima berkerut saat Emily buru-buru mengangkat setelah melihat nama penelepon. “Selamat pagi, Bu Ayu,” sapannya sopan, lengkap dengan bahasa tubuh otomatis yang ikut rapi. “Anda dan Bapak dalam perjalanan ke sini? Baik, akan saya sampaikan pada Bu Zalima dan Pak Praja.” Sontak punggung Zalima menegang. Untuk memastikan kalau dia tidak salah dengar, dia segera berdiri mendekat, memasang telinga lebar-lebar menguping percakapan. “Baik. Kami menunggu. Ya, sama-sama, Bu Ayu.” Begitu panggilan berakhir, Zalima langsung menodong, “Orang tua Prajaka mau ke sini? Ada urusan apa?” “Saya kurang tahu, Bu. Tapi yang pertama, mereka ingin sarapan bersama Ibu dan Pak Praja.” Sarapan? Ya Tuhan. “Berapa lama lagi mereka sampai? Di dapur ‘kan ada Stevani. Bagaimana kalau mereka marah kalau tahu Stevani sering datang ke sini?” Dengan tenang Emily menjawab, “Minta beliau pulang saja sebelum mereka bertemu.” Lalu dia menambahkan, “Biar saya yang memberi tahu Pak Praja. Ibu siap-siap saja. Masa Ibu menyambut mereka dengan pakaian yoga?” “Ah! Kamu benar! Aku serahin semuanya ke kamu ya, Mil. Aku ke kamar dulu!” Emily mengangguk, dan Zalima langsung berlari kecil meninggalkan living room. Saladnya masih tersisa setengah—nanti saja dihabiskan. Sekarang ada hal jauh lebih penting yang harus dia lakukan. *** Meski bibirnya diam, tatapan Nyonya Ayu begitu jeli menelusuri setiap sudut ruangan yang dilewatinya di rumah Prajaka dan Zalima. Seolah ingin menilai bagaimana kehidupan mereka selama tinggal berdua—apakah benar kaku sesuai kesepakatan kontrak, atau justru ada sesuatu yang terjadi di luar kendali mereka. Sebagai orang pertama yang menolak rencana rujuk putra bungsunya, Nyonya Ayu mulai mempertimbangkan Zalima sejak pertemuan pertama. Meski latar belakang Zalima tidak sejalan dengan keluarga Dirgantara, wanita itu jauh lebih baik dan lebih jujur dibandingkan Stevani. Dihadapkan pada dua pilihan seperti itu, jelas Nyonya Ayu memilih Zalima daripada kembali memiliki menantu yang pernah berselingkuh. Makanya, kalau bisa mencegah Prajaka kembali bersama Stevani, lebih baik dicegah saja. Demi kebaikan putranya juga—meskipun Prajaka mungkin akan menganggap ibunya terlalu ikut campur. “Mami kangen sarapan bareng, makanya datang tanpa memberi kabar dulu,” ucap Nyonya Ayu ketika mereka tiba di ruang makan. Tangan Zalima yang sejak tadi digenggamnya langsung dilepaskan, karena kursi mereka berseberangan. “Papimu juga bilang ada hal yang ingin dibahas sebelum kalian berangkat kerja, jadi sekalian kami datang sekarang.” “Apa mendesak?” tanya Prajaka. Ekspresinya tampak tak suka atas ide kunjungan mendadak ini. “Kita masih bisa bertemu di kantor, Pi. Harusnya bicara di sana saja, jadi tidak repot mampir ke rumah. Mami juga, harusnya kabari dulu. Atau sarapannya diundur ke weekend.” “Apa salahnya orang tua mengunjungi anak sendiri? Kenapa kau terlihat marah begitu?” tegur Papinya. “Bukan begitu, Pi. Hanya saja waktu mengobrol kita tidak banyak. Kalau di hari libur ‘kan bisa lebih lama.” Nyonya Ayu memberi suaminya tatapan penuh isyarat—menurutnya alasan Prajaka terdengar terlalu dangkal. Dia tidak pernah keberatan sebelumnya, padahal orang tuanya juga sering datang di hari kerja. Bukan hanya hari ini saja. “Kalau begitu, kami ubah saja tujuan kami,” ujar Tuan Mahendra perlahan. Kini pandangannya beralih pada Zalima, seolah Prajaka tidak lagi dihitung dalam percakapan. “Apa kau baru mengadopsi kucing? Papi tadi melihat Emily membawanya keluar.” Zalima mengangguk setelah sejak tadi hanya mendengarkan. Dengan sedikit semangat dia menjawab, “Rasnya sama seperti kucing Papi, tapi versi kecilnya. Aku tertarik mengadopsi setelah melihat kucing Papi di rumah utama.” “Bagus. Sebagai pecinta kucing, Papi senang menemukan orang dengan hobi yang sama.” Zalima nyaris tak percaya melihat senyum tipis menghiasi bibir Tuan Mahendra. Tak menyangka pria seserius itu bisa ekspresif kalau bicara soal hal yang disukainya. “Mohon bimbingannya, Pi. Saya masih pemula. Kalau nanti mau nanya soal hal-hal yang berhubungan dengan kucing, apa saya boleh menghubungi Papi?” “Silakan saja.” Yang menjawab justru Nyonya Ayu, dengan senyum mengembang. “Datang saja ke rumah kapan pun kau mau. Jangan menunggu diminta dulu, Ning. Kita harus lebih akrab sebagai mertua dan menantu.” “Mami jangan bicara seperti itu. Zalima hanya menantu sementara. Posisinya akan segera digantikan oleh istriku yang sebenarnya,” sahut Prajaka tegas. Ucapan itu membuat semua perhatian tertuju padanya. “Ingat tujuan pernikahan kami, Mi. Kalau aku tidak butuh pengalihan isu, Zalima tidak akan jadi istriku.” Dia sempat melirik ke arah dapur, seolah memastikan sesuatu, lalu kembali menatap kedua orang tuanya. “Kalian boleh dekat dengan Zalima ... tapi sewajarnya saja. Dan jangan lupa, semua ini akan berakhir sesuai batas waktu yang sudah disepakati.” “Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu, karena dari tadi kau terlihat terdistraksi,” ujar Nyonya Ayu datar. Setelah mengamati putranya beberapa detik, dia menangkap satu hal. Prajaka gelisah. Dia pun beberapa kali tertangkap melirik ke arah yang sama—dapur—seolah menyembunyikan seseorang di sana. “Apa maksud Mami? Aku tidak sedang terganggu oleh apa pun,” sangkalnya. “Jangan bohong. Mami sangat mengenalmu.” Zalima perlahan menarik napas dalam, berusaha pura-pura tidak tahu apa-apa meski sebenarnya sangat tahu. Dia hanya tidak ingin ikut campur. Itu urusan Prajaka dengan orang tuanya. “Stevani … apa dia ada di sini?” tebak Tuan Mahendra tiba-tiba—dan tepat sasaran. “Tidak. Dia sudah berangkat kerja,” kilah Prajaka. “Kau boleh berkelit, tapi Mami yang melahirkanmu,” balas Nyonya Ayu, sorot matanya tajam. “Mami tahu saat kau berbohong.” Begitu selesai bicara, Nyonya Ayu berdiri dan melangkah menuju pintu penghubung ke dapur. Dia mendorongnya keras hingga terbuka lebar. Dan tepat ketika masuk, bibirnya terangkat membentuk senyum sinis saat mendapati Stevani duduk di salah satu kursi bar—wajahnya panik, sambil menggigit kuku ibu jari. “Mami kecewa padamu, Praja. Berani-beraninya kau membohongi Mami demi melindungi wanita yang tidak setia ini,” gumam Nyonya Ayu lantang. Prajaka yang menyusul di belakang langsung terhenti. Napasnya terembus berat; dia menutup mata sejenak sambil menggumam pelan, “Harusnya kau pulang lewat pintu belakang, Stev.”. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN