18. Rencana Nyonya Ayu

1587 Kata
“Praja,” lirih Stevani sambil berusaha berlindung di belakang pria itu, menghindari tatapan tajam Nyonya Ayu. Telapak tangannya berkeringat dingin, jantungnya berdetak begitu kencang sampai terasa menyakitkan. Ini pertemuan pertama mereka sejak dia tidak lagi menjadi bagian dari keluarga Dirgantara. Sesuai dugaan, dua orang yang dulu menyayanginya sebagai menantu, kini memandangnya seolah dia sesuatu yang najis. Bibir mereka mungkin tak mengucap sepatah kata, tapi mata mereka bicara lebih lantang. Dan Stevani memahaminya dengan jelas. “Maaf aku tidak menurutimu,” ucapnya sambil menunduk. “Kupikir kalau aku bersembunyi, mereka tidak akan tahu aku ada di sini. Aku tidak mengira mami akan curiga dan berakhir menemukanku.” “Aku yang salah karena memintamu pulang saat tahu mami dan papi sedang dalam perjalanan ke sini. Harusnya kau tetap tinggal saja. Toh nanti kita akan jadi keluarga lagi. Untuk apa aku menyembunyikanmu,” jawab Prajaka sambil menoleh sekilas. Tangannya mengusap lengan Stevani, berharap bisa menenangkannya. “Tapi mereka pasti tidak menerimaku lagi. Mereka sudah membenciku.” Tuan Mahendra menggeleng pelan mendengar percakapan itu. Dia lalu berbalik, tak sanggup menyaksikan kebodohan putranya lebih lama. “Zalima, temani Papi melihat kucing peliharaanmu. Urusan mereka, biar Mami yang menghadapi,” ucapnya datar. Zalima—yang sejak tadi pura-pura fokus pada sarapan padahal memasang telinga lebar—mau tak mau mengangkat wajah saat namanya disebut. Tatapannya bertemu dengan Tuan Mahendra, dia menghela napas singkat, lalu mengangguk. “Baik, Pi.” Dia berdiri, menghampiri Tuan Mahendra, kemudian berjalan bersamanya meninggalkan ruang makan. Begitu pintu di belakang mereka menutup, percakapan yang tersisa di dalam ruangan benar-benar terputus dari telinganya. Padahal dia penasaran—apakah Nyonya Ayu akan menampar atau menjambak Stevani? Itu akan menjadi tontonan yang cukup menarik. Tapi melihat pembawaan anggun dan terkendalinya, jelas fantasi Zalima tak mungkin terjadi. Kembali ke situasi menegangkan di ruang makan, sikap Stevani semakin membuat jijik. Dia meremas ujung kaos Prajaka, seolah intimidasi Nyonya Ayu membuatnya begitu ketakutan sehingga dia butuh perlindungan Prajaka untuk tetap “aman”. “Gara-gara aku, sarapan kalian jadi berantakan. Maafkan aku, Praja,” lirihnya lagi. “Kau bicara apa, Stev? Kita yang terlebih dulu membuat janji. Orang tuaku yang mengacau karena datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan.” Nyonya Ayu tersenyum sinis. “Demi melindungi mantan istri, kau menyalahkan orang tuamu sendiri, Praja? Betapa teganya dirimu.” Bahkan dia menggeleng pelan, mencoba menahan gejolak emosi yang perlahan memenuhi dadanya “Jujur saja, Mami kecewa. Andai yang kau lakukan benar, Mami mungkin tak akan ikut campur. Tapi kau membela orang yang jelas-jelas bersalah. Di mana pikiranmu, Praja?” “Mi, tolong pahami situasiku,” erang Prajaka. “Bagaimana Mami bisa memahami kalau yang kau lakukan saja tidak masuk akal?” “Aku masih cinta Stevani, Mi. Apa salahnya memberi kesempatan pada orang yang kucintai?” “Salah besar! Dia sudah mengkhianatimu. Orang seperti itu tidak pantas menerima cintamu yang tulus dan berharga, Nak.” Prajaka tampak goyah mendengar ucapan ibunya. Logikanya mungkin setuju pada kata-kata itu, tapi hatinya sudah telanjur jatuh—membuat batas antara benar dan salah menjadi kabur dalam pandangannya. Ditambah remasan Stevani yang makin menguat di ujung bajunya, membuatnya semakin condong berpihak pada mantan istrinya itu. “Maaf, Mi,” ucap Prajaka setelah terdiam lama. “Aku tahu Mami tidak ingin aku jatuh ke lubang sama dua kali. Aku tahu bentuk kasih sayang Mami adalah menjauhkanku dari hal-hal yang berpotensi menyakitiku lagi. Tapi ... biarkan kali ini aku yang menentukan. Aku bertanggung jawab atas pilihanku. Aku siap menerima konsekuensinya.” Setelah itu, dia melepaskan tangan Stevani dari ujung kaosnya dan menggenggamnya erat, lalu menarik wanita itu pergi meninggalkan ruang makan—menyisakan Nyonya Ayu seorang diri. Nyonya Ayu berbalik menatap kepergian putranya. Tatapannya lurus, ekspresinya begitu datar. Meski tidak memperlihatkannya, hatinya kecewa. Amat sangat. Putra bungsu yang dibesarkannya dengan penuh cinta, untuk pertama kalinya berani menentangnya—demi seorang wanita yang tidak bisa menjaga kesetiaan. Betapa naifnya Prajaka dalam urusan cinta. Padahal dia cerdas, tetapi ketika berhadapan dengan Stevani, logikanya seakan ikut memudar. Luka yang pernah diberikan wanita itu tidak membuatnya sadar bahwa Stevani bukan sosok yang tepat. Alih-alih melepaskan, Prajaka malah memilih menggenggam kembali mawar berduri yang sudah melukainya. Nyonya Ayu menarik napas berat. Sesaat dia bertanya-tanya, apakah selama ini dia dan suaminya terlalu keras, hingga Prajaka justru memilih memberontak? Namun sekalipun benar begitu, tetap saja keinginan rujuk itu tidak akan pernah mereka setujui. Sebab jika Prajaka kembali dikhianati untuk kedua kalinya, hidup putra mereka pasti akan hancur. Lebih baik dia menghadapi kemarahan Prajaka sekarang, ketimbang harus menyaksikan putranya terpuruk oleh orang yang sama di kemudian hari. “Maaf, Praja ... sepertinya kali ini Mami tidak bisa diam saja. Dengan cara apa pun, Mami akan memisahkan kau dari wanita itu,” gumam Nyonya Ayu sebelum melangkah pergi. *** Ada perubahan jadwal yang tiba-tiba tanpa sepengetahuan Prajaka. Seharusnya hari ini dia, Renata, dan beberapa orang lainnya pergi ke perusahaan cabang untuk evaluasi kinerja. Namun mendadak Renata menelepon dan memberitahu bahwa wakil direktur akan menggantikan Prajaka, karena dia diminta mengambil cuti mendadak untuk menghadiri acara keluarga. Tak hanya itu, Renata juga mengatakan bahwa salah satu staf kantor akan mengantar dua tiket kereta ke rumah. Karena jadwal keberangkatan pukul sembilan lewat tiga puluh, waktu Prajaka untuk bersiap tidak banyak. “Apa yang papi rencanakan, sih?” decaknya kesal sambil melepas dasi yang tadi terpasang rapi di leher. Jasnya sudah dia tanggalkan sejak kembali ke rumah—nyaris saja dia berangkat diantar sopirnya sebelum telepon Renata menghentikannya. Prajaka kemudian menuju halaman belakang setelah Bi Ina bilang Zalima dan Emily ada di sana, sedang bermain dengan Miu-miu setelah sarapan. Zalima pasti belum tahu apa pun soal perjalanan ini. Besar kemungkinan Mami-nya yang mengusulkan agar mereka datang ke acara keluarga, memanfaatkan otoritas Papi—padahal mereka tahu Prajaka memang jarang hadir di acara semacam itu. Begitu tiba di halaman belakang, Prajaka bersandar pada salah satu tiang dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Pandangannya jatuh pada Zalima yang tertawa lepas sambil menggoyang-goyangkan cat teaser, membuat Miu-miu melompat-lompat mencoba menangkapnya. “Seperti anak-anak,” gumam Prajaka. “Bisa-bisanya kau tertawa hanya karena seekor anak kucing.” Merasa cukup memandangi, Prajaka berdehem. Zalima spontan menoleh, dan Prajaka memberi kode agar dia segera mendekat. Beberapa detik kemudian, Zalima sudah berdiri di hadapannya sementara Emily mengambil alih bermain dengan Miu-miu. “Ada apa?” tanyanya bingung. Dari penampilan Prajaka yang semula rapi tapi sekarang tidak lagi, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya batal berangkat kerja beberapa saat lalu. “Bersiaplah. Kita akan pergi ke luar kota karena Papi minta hadir di acara keluarga.” “Sekarang?” “Besok. Kita naik kereta.” “Terus pekerjaanmu?” “Cuti mendadak. Jadi tenang saja.” Meski bingung karena semuanya terlalu mendadak, akhirnya Zalima mengangguk juga. “Baik, aku akan bersiap-siap.” *** Setelah menempuh perjalanan sekitar delapan jam, akhirnya mereka tiba di Jogjakarta. Yang menjemput mereka di stasiun adalah sepupu Prajaka dari pihak maminya. Zalima masih ingat namanya: Pratama. “Makasih ya, Tam,” ucap Zalima setelah Pratama memasukkan koper mereka ke bagasi. “Sama-sama, Mbak,” jawab Pratama. Begitu semuanya siap, mobil yang disetir Pratama mulai meninggalkan stasiun Tugu Jogja. Zalima sempat memperhatikan jalanan, namun begitu teringat satu hal, dia langsung menoleh pada Prajaka dengan raut wajah meringis sekaligus tidak enak. “Maaf, ya. Nanti kucuci aja kemejanya begitu kita sampai rumah tante. Bau dan jejak basahnya pasti bikin kamu nggak nyaman, kan?” Prajaka yang semula fokus pada ponselnya, segera memasukkan benda itu ke saku dan balik menatap Zalima. “Tidak apa-apa. Tadi sudah diseka pakai tisu basah dan disemprot parfum juga, jadi—” Prajaka sengaja mengendus bagian lengan kemejanya, lalu menggeleng. “—sudah hilang bau ilernya.” “Eh? Ssst! Jangan kenceng ngomongnya.” Sambil menahan malu dan pipinya merona, Zalima melirik ke arah Pratama untuk memastikan dia tidak mendengar apa pun lewat kaca spion tengah. Untungnya sepupu Prajaka itu fokus menyetir dan tampak tak terganggu. Zalima pun langsung mengembuskan napas lega. “Sumpah aku nggak sadar ketiduran di bahu kamu. Itu juga pertama kalinya sampai ileran. Mungkin aku kecapekan menempuh perjalanan panjang,” jelasnya setelah sedikit bisa menguasai diri. “Santai saja, Za. Aku mengerti.” “Kalau mengerti, jangan lagi menatapku seperti itu.” “Seperti apa?” tanya Prajaka, sebelah alisnya terangkat dan ekspresinya jelas geli. “Lagipula itu masih normal. Banyak kok wanita cantik tidur berliur.” “Ya ampun, jangan terang-terangan bilangnya. Nanti didengar oleh sepupumu.” “Ah, baiklah, baiklah. Aku tidak akan bilang lagi.” Zalima langsung menghela napas lega. Pundaknya akhirnya kembali bersandar pada sandaran kursi mobil setelah tadi tegang dirundung rasa malu. Namun kalau diingat-ingat, rasanya dia ingin menghilang saja. Bagaimana bisa dia tidur dengan mulut terbuka seperti itu? Andai bahu yang ditidurinya milik Arumi, dia tak masalah. Tapi ini ... Prajaka. Meskipun tidak berniat tampil baik di hadapan pria itu, bukan berarti Zalima ingin terlihat buruk juga. Mereka beda jenis kelamin—wajar kalau dia tidak mau menunjukkan hal-hal memalukan di depan Prajaka. Saat Zalima mulai tenggelam dalam pikirannya dan sedikit lupa soal insiden memalukan tadi, tiba-tiba bahunya disentuh. Dia segera menoleh, alisnya terangkat menunggu penjelasan dari Prajaka. “Mau memperlihatkan sesuatu yang menarik,” ujar Prajaka sambil mengangkat ponselnya. Dalam hitungan detik, layar ponsel itu menampilkan foto Zalima yang tidur lelap dengan mulut terbuka dan air liur mengalir sampai membasahi pakaian yang Prajaka kenakan. Kelopak mata Zalima langsung melebar. Dia berseru panik dan berusaha merebut ponsel itu, meski gagal—malah membuat tubuhnya oleng dan berakhir tersungkur ke pangkuan Prajaka. “Kamu nyebelin!” ucap Zalima dengan napas memburu dan pipi yang sudah semerah kepiting rebus. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN