19. Gigitan Kecil di Telinga

1928 Kata
Acara arisan keluarga Dirgantara biasanya diadakan setiap dua bulan sekali. Wajib dihadiri kalau tidak ada kesibukan yang benar-benar tidak bisa ditinggal. Tujuannya untuk mempererat hubungan antar anggota keluarga, menjaga kekompakan dan komunikasi, serta membuat kegiatan kumpul lebih teratur. Tanpa arisan ini, pertemuan keluarga sering hanya terjadi pada momen tertentu saja, mengingat masing-masing dari mereka sibuk. Jadi arisan menjadikan kumpul-kumpul mereka lebih terjadwal. Dari yang Zalima dengar, sebelum ini Prajaka jarang hadir. Hanya mami, papi, dan kakak-kakaknya yang rutin datang. Makanya, saat mengetahui arisan kali ini Prajaka datang, para tante dan sepupu-sepupunya sangat senang, bahkan langsung mengerumuninya begitu tiba di rumah. “Gimana perjalanan tadi, Mas? Pasti penat dan bosan banget ya berjam-jam duduk di kereta.” Yang bertanya adalah Tante Aya, pemilik rumah yang mendapat giliran mengadakan arisan bulan ini, sekaligus adik Nyonya Ayu. Beliau langsung menggandeng tangan Prajaka dan menuntunnya menuju ruang tengah, sesaat setelah Prajaka dan Zalima memberi salam. “Tante nggak tahu alasan apa yang dipakai papi dan mamimu sampai akhirnya kamu mau datang kali ini, tapi tante senang banget Mas Praja di sini.” Prajaka tersenyum tipis dan menjawab, “Kalau penat iya, Tante, tapi bosan tidak.” Dia mengalihkan pandangan ke arah Zalima dan menyeringai. “Soalnya ada yang menghiburku sepanjang jalan.” Memahami hiburan apa yang dimaksud, pipi Zalima kembali memerah bak kepiting rebus. Sontak dia melebarkan kelopak mata, menegur lewat isyarat agar Prajaka berhenti membahas itu. “Syukurlah kalau Mas merasa demikian.” Tante Aya lalu menoleh ke arah Zalima. Sebelah tangannya yang bebas terulur, memberi usapan ringan pada bahu Zalima. “Semoga betah ya, Za. Anggap aja rumah ini seperti rumah kalian sendiri.” “Iya, Tante. Makasih.” “Sama-sama.” Mereka kemudian duduk di salah satu sofa. Zalima dan Prajaka berdampingan, sementara sofa lain diisi Tante Aya dan sepupu-sepupu Prajaka yang lebih muda. Satu per satu Zalima mengamati wajah mereka dan yang melegakannya, tidak ada raut permusuhan. Yang terlihat justru rasa penasaran mereka terhadapnya. “Mas sama Mbak Zalima lama nggak di sini? Ada beberapa tempat baru yang rekomen banget didatangi pasutri baru. Entar aku tunjukkin kalau kalian penasaran,” kata Eva, anak pertama Tante Aya. “Besok malam setelah acara selesai kami pulang, Va. Mungkin lain kali saja, soalnya cuti Mas tidak lama. Kerjaan menumpuk di kantor.” “Yah, nggak seru dong.” “Jalan-jalan ke tempat wisatanya ‘kan bisa nanti. Yang penting sekarang kita kumpul-kumpul sama keluarga besar dulu,” ujar Prajaka dengan bijak. “Ah, gimana kalau malam ini kita adain acara khusus yang muda-muda aja? Bakar-bakar sosis sama jagung, nyanyi, cerita, sambil seru-seruan gitu,” usul Tommy, sepupu Prajaka dari anak tantenya yang lain. “Kami ‘kan mau mengakrabkan diri sama Mbak Zalima. Kalau Mas Praja ngebolehin, nanti biar kami yang belanja dan siapin semuanya.” “Sebentar Mas tanya orangnya dulu.” Prajaka memiringkan kepala, bertepatan dengan Zalima melakukan hal yang sama. “Bagaimana, Sayang? Anak-anak mau ajak nongkrong. Kau tidak kecapekan, kan?” “Nggak, kok. Aku juga mau kenal lebih jauh sama mereka. Jadi, ya ... aku nggak keberatan.” “Kalian dengar itu, kan? Mbak Zalima sudah setuju.” “Makasih, Mbak!” seru mereka bersamaan. Zalima spontan tersenyum dan mengangguk. Untuk hal remeh seperti memberi persetujuan ternyata mereka merespons dengan sopan. Ah, sepupu Prajaka dari pihak maminya ternyata baik-baik semua. Sedari datang tadi mereka menyambut dan memperlakukannya dengan hangat, tak terlihat aura permusuhan sama sekali. Beda dengan keluarga dari pihak papinya. Jangankan bisa mengobrol normal, tidak mendapat lirikan sinis saja sudah termasuk untung. Sepupunya yang lebih tua atau lebih muda terang-terangan menghakimi Zalima, karena dia bukan dari kalangan keluarga terpandang. Cara bicara mereka pun arogan, seolah menegaskan strata tinggi dan status sosial. Makanya Zalima kurang suka berada di tempat yang sama dengan mereka. Kalau ada pilihan untuk menghindar, lebih baik dia menghindar saja sampai kontrak pernikahan selesai. Demi kedamaian dirinya. *** Malam semakin larut dan mereka sudah tidak sanggup lagi memakan jagung bakar maupun sosis karena terlalu kenyang. Arang pemanggang sudah padam sejak setengah jam yang lalu. Kini mereka duduk menghadap api unggun sambil mengobrol santai—ada juga yang memetik gitar. “Eh, Vi, gue lihat followers lo makin naik. Kayaknya konten a day in my life lo yang bikin mereka mutusin buat ngikutin lo,” kata Pratama pada Evi, kembaran Eva. Topik itu muncul secara alami setelah sebelumnya mereka sibuk membahas skripsi Tommy yang terbengkalai. “Perbanyak aja yang kayak gitu. Siapa tau nanti sukses besar kayak selebtok Shadira.” “Iya nih, Kak. Aku sama manajerku lagi evaluasi konten. Yang paling banyak views nanti, itu yang bakal sering aku buat.” “Buset, udah ada manajer aja lo. Emang penghasilan ngonten berapa?” tanya Tommy tak percaya. “Cukuplah buat makan sushi philadelpia sampai muntah-muntah kekenyangan.” Saat yang lain tertawa mendengar jawaban lucu itu, Zalima langsung mengeluarkan ponselnya. Dia menyerahkannya pada Eva yang duduk di sampingnya, minta bantuan mencarikan akun Evi. “Aku mau follow juga. Jadi penasaran deh lihat kontennya Evi.” “Nih, gue kasih tahu ya, Mbak. A day in my life Evi itu ada flexing-nya, tapi versi yang nggak terang-terangan,” sahut Tommy cepat. Tujuannya tentu untuk mengejek Evi, sekaligus bercanda agar suasana jadi semakin hidup. “Dia kuliah naik Mini Cooper. Pakai tas kremes, makeup YSL, ponsel iPhone keluaran terbaru. Audience-nya rata-rata kaum menengah ke bawah. Yang bikin mereka suka dan betah nonton ya karena itu menghibur kemiskinan mereka.” “Bang Tommy! Enggak gitu, lho. Aku ‘kan cuma manfaatin dengan baik fasilitas dari orang tuaku. Itu juga salah satu bentuk rasa syukurku—aku menghargai pemberian mereka!” protes Evi tak terima. Zalima tertawa kecil mendengarnya. “Benar yang dibilang Evi, Tom. Lagian nggak papalah. Konten seperti itu banyak, nggak cuma Evi aja.” “Tuh, dengerin!” “Iya-iya, santai aja napa? Gue ‘kan cuma ngejelasin pendapat gue ke Mbak Zalima.” “Tapi penjelasannya ngeselin!” “Udah-udah, maaf nih gara-gara aku nanya kalian jadi debat,” lerai Zalima sambil masih terkekeh. Tak lama kemudian, Prajaka kembali setelah tadi pamit mengangkat telepon. Dia duduk di kursi sebelah Zalima, menatap mereka satu per satu penuh rasa ingin tahu. “Seru sekali mengobrolnya. Memangnya kalian lagi membicarakan apa?” “Bukan apa-apa,” jawab Eva. Sebaliknya dia melempar pertanyaan, “Mas, ceritain dong gimana pertemuan pertamanya sama Mbak Zalima. Kita-kita penasaran. Soalnya nggak ada kabar dekat, tahu-tahu diundang ke pernikahan kalian aja.” “Iya, Mas!” tambah Evi, Pratama, Sera, Tommy, dan yang lainnya bersamaan. “Pertemuan pertama, ya?” Prajaka melirik Zalima, dan Zalima membalas dengan menaikkan sebelah alis—seolah ingin lihat apakah Prajaka akan jujur atau berkelit. “Hm, sedikit pasaran sebenarnya.” “Pasaran gimana tuh? Ayo jelasin!” Sekali lagi Prajaka menatap Zalima, dan kali ini Zalima memutar bola mata, membiarkan pria itu mengarang sesuka hati. “Kami tidak sengaja bertabrakan di perpustakaan. Buku-buku yang dipegang Mbak Za jatuh. Karena Mas yang menabraknya, Mas inisiatif bantu ambilin. Tapi kemudian tangan kami tidak sengaja bersentuhan pas ambil buku yang sama. Setelah itu saling pandang, dan ... Mas dibuat terpesona sama keimutannya.” “Ya ampun, sinetron banget,” komentar Sera. “Eh tapi emang orang dewasa yang sibuk kayak kalian masih ke perpustakaan juga?” Evi penasaran. “Tidak. Pertemuan itu pas kami masih kuliah.” “Kalian mantan?” tanya Pratama langsung. “Iya,” angguk Prajaka. “Keren! Fix kalian memang jodoh. Walau sempat pisah, tapi sekali balikan langsung nikah.” Prajaka tergelak mendengarnya, sedangkan Zalima hanya mendengkus pelan—karena meski bagian itu benar, soal jodoh jelas sangat salah. Mereka menikah karena suatu urusan. Kalau tidak, mungkin sampai detik ini mereka tidak akan bertemu lagi. “Pasti Mbak Zalima mantan terbaik, makanya Mas Prajaka sulit lupain,” ujar Eva. “Mana ada, Va. Masih ada yang jauh lebih baik bagi Mas-mu ketimbang aku,” timpal Zalima. “Oh, jadi mengungkit-ungkit masa lalu ceritanya.” Prajaka langsung mengikuti alurnya. “Kenapa, Sayang? Cemburu? Tenang saja, aku punyamu sekarang.” “Geli banget dengarnya.” Pratama dan Tommy saling pandang, lalu keduanya kompak menyusun rencana mengerjai pasangan yang sedang saling goda itu. “Mbak, mau kami kasih tahu sesuatu nggak?” Tommy bertanya dengan raut serius—lebih tepatnya pura-pura serius. “Mas Praja punya kelemahan, lho. Nantinya bisa jadi senjata kalau dia berbuat salah sama Mbak.” “Oh, ya? Apa?” Zalima langsung mencondongkan tubuh, sementara Prajaka mendecak dan menggeleng, memperingatkan untuk tidak dipercaya. “Sini kami bisikin.” Meski agak ragu, akhirnya Zalima bangkit dari kursinya dan menghampiri Tommy dan Pratama yang duduk bersebelahan. Dia sedikit berjongkok, siap menerima “informasi rahasia” itu. “Mas Praja paling anti kupingnya digigit atau ditiup. Dia pasti nggak bisa berkutik kalau ada yang melakukan itu. Misal nanti dia bikin Mbak kesal, gigit aja biar dia diam.” Setelah menghafal baik-baik hal itu dalam kepala, Zalima pun mengangguk-angguk. Dia menegakkan punggung, lalu kembali ke kursinya semula. “Apa yang mereka bilang?” tanya Prajaka penasaran. Ada sedikit kecemasan juga—kalau-kalau apa pun yang disampaikan dua sepupunya itu pada Zalima malah bisa merugikannya nanti. “Kepo, deh.” Zalima menjulurkan lidah mengejek, lalu memalingkan wajah dan mengabaikannya begitu saja. Waktu berlanjut tanpa terasa hingga jam menunjukkan pukul dua belas. Acara pun bubar; semua kembali ke kamar masing-masing, termasuk Zalima dan Prajaka. Begitu pintu kamar yang ditempati mereka tertutup dan terkunci, perdebatan kecil langsung dimulai. “Aku lelah. Tidur di sofa bikin badanku tambah sakit. Kalau kau tidak mau kita seranjang, ya kau yang pindah ke sofa,” ujar Prajaka sambil memijat tengkuk. “Aku juga capek dan nggak mau tidur di sofa,” bantah Zalima. “Ya sudah. Artinya kita seranjang.” “Mana boleh. Kita sudah sepakat nggak tidur berdekatan di luar urusan kontrak.” “Malam ini pengecualian. Aku ngantuk.” Zalima hendak memprotes lagi, tetapi Prajaka sudah keburu masuk kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Setelah selesai, dia langsung membaringkan diri di ranjang, menarik selimut hingga d**a dan memejamkan mata—cara tercepat untuk membuat Zalima kehabisan argumen. Kesal, Zalima mengentakkan kaki kecil-kecil dalam diam saat berjalan ke kamar mandi. Selesai cuci muka dan sikat gigi, dia keluar dengan wajah segar tapi raut masam. Setelah selesai skincare malamnya, dia akhirnya berbaring di samping Prajaka dengan ogah-ogahan. Dia membelakangi pria itu, namun sadar guling satu-satunya berada dekat Prajaka, terpaksa dia menoleh dan meraihnya. “Dasar pria menyebalkan,” gerutunya sambil menarik guling. Belum sempat guling itu benar-benar berpindah, mata Prajaka tiba-tiba terbuka dan menangkap ujung guling yang dipegang Zalima. “Apa kau bilang barusan?” “Apa? Nggak bilang apa-apa.” “Aku dengar, Za. Kau bilang aku menyebalkan.” “Itu tahu!” “Kalau kau sebal padaku, pindah saja ke sofa.” “Bisa-bisanya kamu ngomong begitu sama wanita?” “Kalau wanitanya keras kepala sepertimu, mungkin tidak masalah.” Mata Zalima membulat. Dia langsung bangkit setengah duduk, memelototi Prajaka. “Aku keras kepala?” “Iya,” jawab Prajaka santai, nyaris tanpa rasa bersalah. “Mana ada! Itu karena kamu yang bikin aku kesal.” Zalima kemudian mendekat, dan tanpa aba-aba menggigit kuping Prajaka cukup kuat. “Dengar, aku bukan keras kepala. Aku ber-prin-sip,” bisiknya setelah melepas gigitan. Prajaka terkejut sampai mundur memantul ke kasur. Wajahnya memerah, tangannya refleks menutup telinga yang digigit Zalima. “Apa yang kau ... lakukan padaku?” “Membalas dengan menyerang titik lemahmu,” jawab Zalima penuh kemenangan. “s**t ...” Prajaka memaki pelan. Dia baru sadar: sepertinya Zalima sudah termakan keusilnya Tommy dan Pratama. Telinga bukan titik lemahnya. Melainkan ... titik sensitifnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN