15. Dancing and Kissing

1905 Kata
Rapat baru saja selesai. Suara kursi bergeser dan tumpukan berkas yang ditutup memenuhi ruangan. Para manajer satu per satu pamit, hingga menyisakan Prajaka yang masih duduk di kursinya, menatap lurus ke arah layar proyektor yang perlahan memudar. Punggungnya lalu menegak. Dia melonggarkan dasi yang terasa mencekik, lalu memijat pelipisnya yang berdenyut. Kepala terasa berat, bukan karena rapat tadi, melainkan karena sesuatu yang jauh lebih pribadi. Tadi malam, dia kesulitan tidur. Saat akhirnya tertidur pun, mimpi buruk itu kembali datang—tentang perselingkuhan Stevani—bak kaset yang rusak. Sepertinya, melupakan pengkhianatan wanita itu benar-benar sulit baginya. Hati dan pikirannya tidak sejalan. Sekalipun Prajaka sudah mantap ingin memperbaiki hubungan mereka, ada bagian dalam dirinya yang menolak untuk dengan mudah memaafkan. Lucu sekali, pikirnya. Sudah disakiti sedemikian rupa, tapi masih saja teguh pada keputusan untuk rujuk. Benar kata Mami dan Papinya—cinta memang membuatnya bodoh. Di hadapan cinta, logikanya lumpuh. Kecerdasan dan kejeniusannya dalam pekerjaan sama sekali tak berlaku ketika berurusan dengan perasaan. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, memecah lamunannya. Renata, sekretarisnya, melangkah masuk dan berhenti tepat di hadapan Prajaka. “Pak, jadwal Bapak setelah ini ... konsultasi dengan psikolog,” lapornya dengan nada sopan. Menarik napas panjang, Prajaka mengangguk. “Ya. Tolong siapkan mobil untukku.” Meski begitu, dia masih belum yakin kenapa menuruti saran Zalima untuk menemui psikolog. Baginya, menyelesaikan masalah berarti bekerja lebih keras—bukan duduk di depan orang asing untuk membicarakan hal-hal yang bahkan sulit dia akui pada diri sendiri. Namun, betapa beratnya malam-malam tanpa tidur dan kepala yang terus dipenuhi kenangan yang ingin dilupakannya, mulai membuatnya lelah. Mungkin inilah alasan dia akhirnya menyerah. Siapa tahu, setelah beberapa kali pertemuan, pikirannya menjadi lebih tenang, dan dia bisa benar-benar menerima kesalahan Stevani tanpa harus terus menghakiminya. *** “Silakan duduk, Pak Praja,” ucap wanita itu dengan senyum ramah. Suaranya tenang, seperti tahu persis cara berbicara kepada seseorang yang dikelilingi dinding pertahanan tinggi. Ruangan berukuran tiga kali empat meter itu terasa asing bagi Prajaka. Aroma bergamot berpadu dengan alunan musik instrumental lembut yang mengisi udara. Tak ada papan nama besar di depan pintu yang dilewatinya tadi, hanya plakat kecil di atas meja bertuliskan dr. Maya Pratiwi, Psikolog Klinis. Prajaka mengangguk singkat lalu duduk, postur tubuhnya tegap namun kaku. Tangan kanannya tak lepas dari jam di pergelangan, seolah memastikan waktu tidak berjalan terlalu lambat. “Ini pertama kalinya Bapak datang ke sesi seperti ini, ya?” tanya dr. Maya. Prajaka menghela napas. “Ya. Saya sebenarnya tidak yakin apakah saya butuh ini.” “Tidak apa-apa,” jawab dr. Maya lembut. “Kadang kita baru tahu apa yang kita butuhkan setelah mulai bicara.” “Saya tidak tahu harus mulai dari mana,” katanya setelah diam cukup lama. “Mulai saja dari hal yang paling sering muncul di pikiran Bapak.” Keheningan sempat mengisi ruangan, hingga akhirnya Prajaka berkata, “Mantan istri saya ... dia berselingkuh hampir setahun yang lalu. Sekarang kami mencoba rujuk, tapi setiap kali saya ingin memulai kembali kedekatan dengannya, saya selalu teringat pada kejadian itu. Padahal saya tidak bermaksud mengungkitnya lagi.” Dr. Maya menatapnya tanpa menghakimi, hanya dengan sorot mata penuh pengertian. “Wajar sekali kalau Bapak merasa begitu,” ujarnya, menatap penuh pengertian. “Rasa sakit akibat pengkhianatan tidak hilang hanya karena waktu berlalu. Kadang, tubuh dan pikiran kita masih menyimpan jejak luka yang belum sempat benar-benar diproses.” Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Bapak tidak sedang gagal memaafkan. Bapak sedang belajar berdamai. Dan itu proses yang tidak bisa dipaksa cepat.” Kemudian, dr. Maya menutup bukunya perlahan. “Langkah pertama adalah menyadari bahwa reaksi itu bukan tanda kebencian, melainkan mekanisme pertahanan diri. Kita bisa bantu tubuh dan pikiran Bapak belajar bahwa kedekatan itu tidak lagi berbahaya.” Lalu tanpa terasa, hampir satu jam berlalu. Saat sesi berakhir, Prajaka menyalami sang psikolog dengan perasaan yang lebih tenang. “Terima kasih sudah datang hari ini, Pak Praja. Kadang langkah pertama memang yang paling berat,” ucap dr. Maya sambil tersenyum tipis. Prajaka membalas dengan anggukan kecil, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan perasaan yang terasa sedikit lebih ringan. *** Hari ini Zalima kedatangan tutor baru. Pelatihan yang dia jalani sudah sampai pada tahap penampilan dan personal grooming. Emily bilang, tutor kali ini bukan orang sembarangan—seorang fashion styling & dress code untuk sejumlah selebritas ternama. Katanya, sulit sekali menghubunginya karena jadwalnya padat. Tapi karena yang meminta langsung adalah Nyonya Ayu Kusumaningrum Handriatmadja, akhirnya orang itu bersedia meluangkan waktu. Awalnya Zalima mengira penata busana itu seorang perempuan—wajar, karena kebanyakan yang bekerja di bidang tersebut memang perempuan. Lagi pula, namanya juga terdengar sangat feminin. Tapi begitu sosoknya muncul, Zalima tahu kalau dugaannya salah besar. “Oh ... my—ini pasti Zalima, ya? Finally!” serunya sambil bertepuk tangan riang. Dia melepas kacamata, lalu menatap Zalima dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan ekspresi dramatis. “Aku udah dengar banyak tentang kamu dari Bu Ayu dan tim PR—dan jujur, aku nggak sabar banget buat kerja sama!” “Um, halo ... ya, saya Zalima. Terima kasih udah mau repot-repot datang ke sini.” “Nggak repot sama sekali, Sayang, kalau urusannya sama sumber uang,” balasnya cepat sambil tersenyum lebar. Dia mengulurkan tangan penuh gaya. “Sally Mardela. Panggil aja Sally. S-A-L-L-Y,” ejanya sambil mengedipkan mata. “Okay, Mas Sally. Senang bertemu kamu.” Kemudian sesi pun dimulai. Zalima menyimak dengan saksama saat Sally menjelaskan tentang dress code sesuai acara—formal, semi-formal, kasual, dan elite look. Dari cara bicara dan gesturnya yang ekspresif, Zalima tiba-tiba sadar kenapa sosok Sally terasa begitu familiar, padahal mereka baru bertemu. Ternyata dia mirip sekali dengan Wanda Harra. “Sayang, aku mau bilang satu hal.” Sally mengibaskan jari dengan gaya khasnya. “Gaya itu bukan soal baju yang kamu pakai, tapi energi yang kamu pancarkan. Kalau auramu masih ragu-ragu, mau pakai gaun lima puluh juta pun tetap kelihatan ... hmm, kurang bernyawa.” “Jadi ... saya harus mulai dari mana, Mas Sally?” Sally mencondongkan tubuh, menatapnya antusias. “Mulai dari percaya diri, tentu! Tapi tenang, aku tahu kamu belum terbiasa tampil di depan publik. Makanya hari ini kita pelan-pelan dulu, ya. Kita ubah cara berdiri, cara jalan, dan—” dia mengangkat alisnya tinggi-tinggi dengan gaya dramatis—“ cara senyum yang nggak kaku kayak mau sidang komite!” Zalima tertawa kecil. “Kelihatan seformal itu, ya, saya?” “Formal banget, Sayang. Tapi aku suka! Kamu punya class alami. Tinggal aku poles dikit biar soft power-nya keluar.” Sally menggerakkan jemarinya lentik, seolah sedang melukis di udara. “Ingat, kamu istri direktur perusahaan mi instan terbesar di negeri ini—kamu nggak boleh kelihatan kayak pelengkap meja makan.” “Jadi harus tampil lebih menonjol?” “Bukan menonjol, tapi menegaskan eksistensi.” Sally menekankan setiap kata. “Tampil elegan itu bukan berarti berlebihan. Kadang satu blazer dengan potongan yang pas bisa ‘bicara’ lebih banyak daripada seribu aksesori.” Dia lalu mendekat sedikit, menatap Zalima lagi dari ujung kaki ke kepala. “Tapi kalau kamu pakai yang salah, duh, bisa-bisa suami kamu dikira datang sama sekretarisnya.” “Waduh! Jangan dong ...” Sally tertawa pelan sambil menepuk bahu Zalima. “Aku peduli makanya jujur, Say! Nanti kalau kamu udah siap, aku ajarin dress code decoding—itu ilmu penting banget biar kamu tahu kapan harus shine, kapan harus blend in. Dunia sosial itu kayak panggung, dan kamu ... harus tahu kapan gilirannya bersinar.” Hingga beberapa saat kemudian, pertemuan pertama mereka ditutup dengan Zalima yang mengajak Sally makan siang bersama sebelum pria itu kembali. Lalu malam harinya, secara mendadak Nyonya Ayu menelepon Prajaka. Dia meminta Prajaka dan Zalima menghadiri resepsi pernikahan anak sahabat lamanya yang digelar di sebuah hotel bintang lima, untuk menggantikan dirinya dan suami yang berhalangan hadir. “Papi sempat diperiksa dokter pagi tadi dan disarankan istirahat penuh hari ini,” begitu penjelasan Nyonya Ayu, membuat mereka berdua tak punya pilihan selain setuju. Satu jam kemudian, setelah dibantu Emily yang terpaksa pulang lebih lambat dari biasanya, Zalima dan Prajaka sudah duduk di dalam mobil menuju lokasi resepsi. Sepuluh menit pertama perjalanan hanya diisi keheningan, sampai akhirnya Prajaka memecahnya. “Jadi, sudah memutuskan hadiah apa yang kau inginkan dariku?” Zalima menoleh, pandangannya semula tertuju ke luar jendela. “Kamu masih ingat itu? Padahal aku sendiri nyaris lupa.” “Tentu ingat. Aku yang menjanjikannya, dan aku tak suka berutang.” Zalima tersenyum tipis sebelum menjawab pelan, “Kalau begitu, belikan aku kucing saja.” Prajaka mengerutkan kening. “Kucing? Ada banyak hal yang lebih berharga, dan kau hanya minta kucing?” “Iya,” balasnya ringan. “Entah kenapa, aku selalu kepikiran sama kucing di rumah orang tuamu. Aku ingin memelihara satu juga.” “Apa kau serius, Za?” “Sangat serius. Kenapa? Kamu kelihatan nggak percaya.” “Bukan begitu, aku hanya ... tidak menyangka saja. Padahal aku siap membelikan apa pun yang kamu mau—selain kucing itu, tentu saja.” Zalima tertawa kecil. “Sayangnya, yang kuinginkan cuma kucing. Jadi, belikan saja aku kucing.” Prajaka menghela napas pasrah. “Baiklah, nanti aku minta Renata mencarikan kucing ras Maine Coon untukmu.” Senyum Zalima mengembang lebar, matanya sampai menyipit. “Terima kasih banyak.” *** Setibanya di ballroom hotel, mereka langsung menyapa tuan rumah dan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Seperti biasa, Prajaka memperkenalkan Zalima sebagai istrinya—dengan nada bangga yang membuat orang mudah percaya bahwa pernikahan mereka sungguh-sungguh bahagia. Namun, yang tidak disangka, Stevani juga hadir malam itu. Rupanya pengantin perempuannya adalah teman kuliahnya di Melbourne. Orang-orang yang tahu kisah masa lalu Prajaka dan Stevani tentu sulit menahan diri untuk tidak membicarakannya kembali—terutama saat melihat pria itu datang bersama istri barunya. Suasana yang semula elegan, perlahan terasa penuh tatapan ingin tahu. “Abaikan semua mata yang memperhatikan kita. Fokus saja padaku,” bisik Prajaka pelan ketika mereka turun dari pelaminan. Zalima mengangguk kecil. “Ya. Jangan khawatir, aku tahu peranku.” Mereka benar-benar tampak seperti pasangan romantis. Prajaka mengambilkan minuman untuk Zalima, lalu mereka berbincang dan tertawa kecil. Tak ingin kalah berperan, Zalima mengajak Prajaka melakukan love shot—budaya minum ala Korea di mana dua orang saling bertaut tangan saat meneguk minuman bersama. Saat sesi dansa dimulai, mereka pun ikut berdansa. Seolah hendak memvalidasi hubungan baru ini dan menepis masa lalu yang masih menggantung. Prajaka memeluk pinggang Zalima erat, sementara Zalima melingkarkan lengannya di leher pria itu. Tubuh mereka bergerak pelan mengikuti irama musik. Menit demi menit berlalu hingga tiba-tiba musik berhenti. Lampu ballroom diredupkan, dan suara MC menggema, “Untuk menambah kemesraan malam ini, kami minta semua pasangan ... saling berciuman!” Spontan, Zalima dan Prajaka saling berpandangan. Ekspresi kaget di wajah keduanya sulit disembunyikan. “Gimana ini?” bisik Zalima cemas. “Tenang, Za. Orang-orang masih memperhatikan kita,” balas Prajaka lirih. Zalima mencoba tersenyum kaku. “Kamu ada ide? Atau aku pura-pura mau ke toilet—” “Mari kita lakukan saja.” Belum sempat Zalima bereaksi, Prajaka sudah menunduk dan menempelkan bibirnya ke bibir Zalima. Seketika tepuk tangan riuh terdengar di sekeliling mereka—seolah momen itu lebih dinanti daripada ciuman pengantin. Sementara di sisi lain ruangan, Stevani tanpa sadar mencengkeram erat gelas yang dipegangnya. Pandangannya bergetar, lalu dia membuang muka. Sakit sekali rasanya melihat pria yang dia cintai mencium wanita lain tepat di hadapannya. Tapi Stevani tahu, dia tak punya hak untuk marah—karena dialah yang membuat Prajaka sampai berada di situasi itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN