14. Curahan Hati Prajaka

1831 Kata
Biasanya siapa pun yang datang ke tempat spa akan disambut ramah dan dilayani lebih dulu oleh resepsionis, sesuai prosedur yang berlaku. Namun, Zalima merasakan perbedaan besar saat datang sebagai klien VIP bersama Nyonya Ayu. Bukannya resepsionis yang menyambut, melainkan manajernya langsung yang turun tangan memandu mereka menuju ruang dokter untuk pengisian data dan konsultasi singkat. Setelah Nyonya Ayu memberitahu jenis perawatan yang mereka inginkan, beliau lalu memperkenalkan Zalima sebagai menantunya pada dokter tersebut. Jelas ada keterkejutan di wajah dokter itu setelah mendengarnya, tapi dengan cepat dia menguasai diri dan memasang senyum profesional. “Baik, karena Bu Zalima adalah klien baru, silakan mengisi formulir terlebih dahulu,” ujarnya ramah. Zalima menerima kertas formulir beserta pulpen yang disodorkan ke hadapannya. Namun, sebelum sempat menulis, Nyonya Ayu menahan tangannya dan menggeleng pelan. Dagunya terangkat tipis saat berkata, “Bisa bantu tuliskan untuknya? Menantuku hanya akan memberitahu informasi yang dibutuhkan di formulir itu.” Bukan hanya Zalima yang tertegun, dokter itu pun demikian. Mungkin baru kali ini dia diminta melakukan hal yang seharusnya klien lakukan. Tapi karena terlalu segan untuk menolak, dia akhirnya mengangguk setuju—meski kemudian memutuskan menyerahkannya pada asisten. “Baik, Bu. Asisten saya yang akan membantu.” Selesai pengisian formulir dan konsultasi singkat, mereka diantar ke ruang ganti untuk menaruh barang pribadi. Di sana mereka juga diberikan pakaian khusus—kemben berbahan lembut warna cokelat—yang langsung dikenakan oleh Zalima dan Nyonya Ayu. Kalau melihat kedekatan mereka saat ini, Zalima tampak lebih seperti putri daripada menantu. Sebab Nyonya Ayu sama sekali tidak menjaga jarak, justru mencoba akrab dengan istri kontrak anaknya itu. “Pasti kau sering mendapat pujian soal bentuk tubuhmu dari mantan suamimu,” ucap Nyonya Ayu sambil melirik Zalima melalui cermin besar di dinding. “Apa rahasianya sampai bisa terawat dan kencang di tempat yang pas, seolah belum pernah disentuh? Mungkin kalau Mami seusiamu, Mami akan merasa iri padamu.” Zalima terkekeh kecil mendengarnya. Pujian itu berlebihan, meski berhasil membuatnya tersipu. “Nggak ada rahasia khusus, Mi. Saya merawatnya sama seperti kebanyakan wanita merawat tubuh mereka.” “Kalau begitu, apa itu turunan?” Nyonya Ayu berbalik, lalu menyentuh pelan lengan Zalima. “Pasti ibumu secantik dirimu, Ning.” Ah, nama itu lagi. Siapa sangka, orang selembut Nyonya Ayu ternyata cukup keras kepala. Biarlah. Percuma kembali melarang, beliau tidak akan mendengarkan. “Cukup cantik sampai nggak bisa saya lupakan, Mi.” “Oh, Sayang, kau harus tahu, bidadari tempatnya di surga—bukan menetap lama di bumi.” Perasaan Zalima langsung membaik. Senyumnya mengembang sampai ke mata. “Makasih, Mi.” “Sama-sama, Dear.” Karena sesi treatment akan dimulai, salah seorang staf mengantar mereka ke ruang perawatan yang jaraknya tidak begitu jauh dari ruang ganti. Dua orang terapis sudah menunggu di dalam, tangan mereka sama-sama menangkup di depan d**a sebagai sambutan. “Silakan, Ibu. Kami akan mulai dari punggung,” ucap salah satu dari mereka dengan suara lembut. Zalima menunduk sedikit, mengiyakan. Dia lalu berbaring di atas ranjang pijat berlapis linen putih bersih. Dari speaker tersembunyi, alunan musik instrumental mengalun lembut, samar diselingi suara ombak. Suasana itu membuat tubuhnya yang semula tegang perlahan melemas. Minyak hangat yang diteteskan di punggungnya menimbulkan sensasi halus, diikuti tekanan lembut dari jari-jari terapis yang ahli. Setiap gerakan terasa ritmis, seperti menari di atas kulitnya—menyapu lelah dan beban yang diam-diam menumpuk selama ini. Di sisi lain, Nyonya Ayu tampak menikmati pijatan di ranjang sebelahnya, dengan mata terpejam dan napas tenang. “Ning, setelah ini ayo lebih sering menghabiskan waktu bersama. Mami senang punya teman baru. Mengingat kakak dan kakak iparmu tinggal di luar kota, kami jadi jarang bertemu.” “Ya, telepon saja setiap Mami ingin ditemani. Selama saya masih jadi menantu Mami, tentunya.” Kelopak mata Nyonya Ayu langsung terbuka, kepalanya menoleh ke arah Zalima. “Boleh Mami minta satu hal? Jangan terlalu kaku bicara dengan Mami, ya?” Zalima sempat terdiam, lalu mengangguk. Nyonya Ayu tersenyum tipis. “Makasih.” Dia kembali memejamkan mata, tapi obrolan di antara mereka belum berhenti. “Kalau sudah tidak jadi menantu Mami, memangnya kita tidak boleh bertemu lagi?” “... mungkin.” “Kenapa?” “Nggak ada alasan apa-apa, Mi.” “Apa karena sikap profesional itu?” “Salah satunya, iya.” Zalima mengembuskan napas pendek, diam-diam melirik ke arah terapis yang masih fokus memijatnya. Jika Nyonya Ayu yang dikenal selektif bisa dengan mudah membicarakan status Zalima di depan mereka, berarti orang-orang itu bisa dipercaya. Maka dia pun memilih mempercayai mereka juga, dengan terus menjawab pertanyaan Nyonya Ayu. “Oh iya, apa yang Praja lakukan hari ini? Mami tidak melihatnya waktu menjemputmu tadi,” tanya Nyonya Ayu, saat teringat sesuatu. “Pergi main golf dengan teman-temannya, Mi.” “Apa itu Wiliam dan Joseph? Seingat Mami, hanya mereka yang punya hobi sama dengan Praja.” “Iya.” “Dia tidak mengajakmu ikut serta?” Zalima menggeleng. “Dia tahu aku punya janji dengan Mami hari ini, makanya tidak ingin mengganggu.” “Aneh sekali,” gumam Nyonya Ayu. “Istri Wiliam selalu ikut setiap bermain golf. Makanya dulu setiap akhir pekan Praja mengajak Ste—” Kalimatnya terhenti. Dia membuka matanya lagi dan menatap Zalima lurus. “Apa mereka sering bertemu?” Napas Zalima langsung tertahan. “Siapa?” tanyanya, berpura-pura tidak tahu. Namun Nyonya Ayu terlalu cerdas untuk dibohongi. “Dia memang tidak tahu malu, dan Praja terlalu lemah menghadapi wanita itu.” “Mi, kita bahas soal ini nanti, oke?” “Kau tidak mengerti perasaan Mami, Ning. Meski Mami menyerah soal Praja, tapi Mami tetap tidak bisa menerimanya sampai kapan pun.” “Aku mengerti, Mi. Maka dari itu, aku ingin pembicaraan ini berhenti.” Helaan napas Nyonya Ayu terdengar berat, lalu akhirnya dia mengangguk pelan. “Baiklah. Maaf, emosi sesaat sempat menguasai Mami, Ning.” “Nggak apa-apa, Mi. Aku paham.” Keheningan langsung melingkupi ruangan. Baik Zalima maupun Nyonya Ayu tak lagi membuka mulut. Untungnya, aroma aromaterapi yang lembut—perpaduan lavender dan sandalwood—menguar di udara, sukses mengubah suasana yang tadinya sempat tegang menjadi perlahan menenangkan. *** Hari berakhir lebih cepat dari yang dibayangkan. Setelah perawatan bersama Nyonya Ayu, Zalima kembali ke rumah dengan suasana hati yang ringan—tanpa menyangka malamnya akan diwarnai kejutan lain. “Kau pasti kembali teringat kejadian itu, makanya tidak bisa melakukannya padaku. Maafkan aku, Praja.” Mendengar kalimat itu saja sudah cukup membuat bulu kuduk Zalima berdiri. Tapi yang membuatnya hampir memekik adalah pemandangan di depannya. Bagaimana tidak, di sofa ruang tengah, Stevani duduk di pangkuan Prajaka, kedua tangannya menangkup rahang pria itu. Entah apa yang sudah mereka lakukan sebelumnya, tapi Zalima bersyukur tidak menyaksikan bagian awalnya—karena baru saja menuruni tangga. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Tapi, hei! Kenapa Stevani masih di sini? Untung hanya Zalima yang memergoki. Kalau Emily, Bi Asih, atau Bi Ina yang melihat, bisa gawat. Mereka memang tahu pernikahan majikannya hanyalah kontrak, tapi tetap saja, terlalu vulgar kalau bermesraan di ruang terbuka. Berdehem keras untuk mengumumkan keberadaannya, Zalima menarik outer satinnya yang sedikit melorot di bahu sebelum melangkah tenang melewati dua sejoli “haram” itu. Tujuannya hanya satu: dapur, untuk mengisi teko air minum yang tadi lupa diisi Bi Ina. Layaknya remaja yang ketahuan berbuat m***m, Stevani buru-buru berdiri dari pangkuan Prajaka. Sedangkan Prajaka hanya mengusap wajahnya dengan kasar dan menghela napas panjang. Samar-samar, Zalima mendengar pria itu berkata, “Pulanglah, Stev. Kita sama-sama butuh istirahat dan menjernihkan pikiran.” “Tapi aku masih—” “Tidak bisa dipaksa. Untuk sekarang, sulit bagiku. Tapi seiring waktu, mungkin tidak lagi. Aku hanya butuh waktu untuk benar-benar bisa menata perasaanku.” “... sekali lagi maafkan aku, Praja.” “Aku akan mengantarmu.” Setelah itu, tidak terdengar apa-apa lagi. Zalima sudah tiba di dapur dan mulai mengisi teko kaca dengan air dari water purifier. Namun pikirannya tetap melayang pada adegan tadi. Selain merasa terganggu, ada sesuatu di dadanya—sejenis nyeri yang samar, sulit dijelaskan. Cemburu? Tidak mungkin. Dia sadar, dirinya tidak berada di posisi untuk merasa seperti itu. Ah, terserahlah! Zalima menyerah menelusuri perasaan aneh itu dan memilih mengabaikannya. Begitu teko penuh, dia menutupnya dan berbalik untuk pergi. Tapi kemunculan Prajaka di ambang pintu membuatnya terlonjak kaget hingga mundur satu langkah—tumitnya sampai membentur kitchen set. “Kamu mau bikin aku jantungan?” protesnya setengah kesal. “Maaf.” Raut wajah Prajaka terlalu serius untuk dikira bercanda. Pria itu melangkah mendekat hingga kini jarak mereka hanya satu rentang tangan. “Tadi aku tidak tahu kau masih terjaga. Kukira kau sudah tidur.” “Kalau airku nggak habis, aku juga nggak bakal rela turun tangga malam-malam.” “Apa kau ... melihat semuanya?” Zalima cepat menggeleng. “Tenang saja. Suasananya cukup gelap untuk tahu apa yang kalian lakukan. Lagi pula, aku nggak tertarik menontonnya.” “Maaf membuatmu tidak nyaman.” “Oh, kamu nggak perlu minta maaf. Ini rumahmu. Aku juga nggak akan ikut campur urusan pribadimu.” Tidak ada balasan dari Prajaka. Untuk sesaat, dia tampak melamun, tapi tatapannya terus tertuju pada Zalima. Punggungnya bersandar ke meja counter, kakinya bersilang santai—namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu. Lima menit berlalu dalam diam, sampai akhirnya Prajaka membuka suara. “Kau pernah diselingkuhi, Za? Gelengan cepat jadi jawabannya. “Aku nggak pernah jadi korban atau pelaku kasus seperti itu.” “Tidak, ya? Berarti hanya aku yang menyedihkan.” “Kenapa memangnya?” “Aku selalu teringat pengkhianatan itu. Sampai sekarang, aku belum bisa menyentuh Stevani lebih dari sekadar berpegangan tangan dan berpelukan. Bayangan dia tidur dengan pria lain selalu muncul di kepalaku.” Sisi empati Zalima langsung tersentuh. Ekspresi wajah Prajaka yang tampak tersiksa membuatnya spontan meletakkan teko di belakang, lalu maju selangkah untuk menepuk bahu pria itu pelan. “Aku mengerti perasaanmu, Kak,” lirihnya, memanggil ‘Kak’ lagi setelah sekian lama terbiasa menyebut ‘kamu’. “Memang nggak mudah melupakan. Bahkan mungkin, sampai kapan pun Kakak nggak akan benar-benar bisa melupakannya.” “Lalu aku harus bagaimana, Za? Aku ingin memperbaiki hubungan dengan Stevani, tapi kalau terus dihantui pengkhianatannya, itu akan sulit buat kami.” “Kurasa Kakak butuh psikolog. Mungkin dari sana Kakak bisa menemukan caranya.” “Haruskah?” “Ya. Nggak ada salahnya mencoba, kan?” “Baiklah, aku akan minta Renata atur jadwal besok. Terima kasih atas sarannya, Za. Jujur, bicara denganmu membuatku sedikit lega.” “Sama-sama, Kak.” Saat Zalima hendak mundur dan menarik tangannya, Prajaka justru menahan dan meremasnya pelan. “Sekali lagi makasih, Za.” “Iya, sama-sama.” Untuk beberapa detik, pandangan mereka saling bertaut. Zalima ingin memutuskan kontak itu, tapi gagal. Ada sesuatu pada cara Prajaka menatap—seolah dua kutub magnet saling tarik-menarik dan tak bisa melepaskan. Hingga suara batuk seseorang memecah keheningan. Zalima buru-buru membebaskan tangannya, sementara Prajaka menoleh cepat, berusaha terlihat tenang seolah tidak terjadi apa-apa. “Maaf mengganggu, Pak, Bu. Saya cuma mau ambil air minum.” Bi Ina menunduk sopan sebelum berjalan menuju kulkas, langkahnya canggung tapi cepat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN