Lorong rumah sakit itu terasa lebih dingin dari biasanya. Jam dinding di atas meja perawat menunjukkan pukul 13.55, hampir jam dua siang. Lampu neon yang menyala terang tak mampu mengusir suasana suram yang menyelimuti ruang tunggu ICU. Bau obat-obatan bercampur antiseptik menusuk hidung, menyadarkan setiap orang yang duduk di sana bahwa hidup dan mati bisa begitu dekat jaraknya. Adnan melangkah cepat, menggandeng tangan Indira yang masih pucat. Keduanya baru saja kembali dari rumah Tria. Hati Indira masih terasa berat—seolah duka itu menempel di tubuhnya, tak mau pergi. Di depan ruang ICU, tampak sepasang suami istri paruh baya. Rambut mereka sudah dipenuhi uban, wajah letih jelas tergambar. Papa Banyu duduk dengan kepala tertunduk, kedua tangannya terkepal di atas lutut. Sementara it