Hotel Bintang Lima Suara keras benda pecah bersahut-sahutan seperti simfoni amarah. Vas bunga porselen hancur berhamburan di lantai marmer, kelopaknya terlempar ke berbagai sudut ruangan. Cermin hias tergantung di dinding sebelah kanan retak besar, satu sisinya jatuh dan menghantam meja kecil berlapis kaca—meledak jadi serpihan. Priscilla berdiri di tengah kekacauan itu, napasnya memburu seperti binatang terluka. Gaun merah satin yang tadi malam ia pakai dengan anggun, kini melorot sedikit di bahu, kusut, tak beraturan. Rambut panjangnya terurai, sebagian menempel di wajah yang basah oleh air mata dan keringat. “Astagaaaaaa!!!” jeritnya sambil melempar bantal hotel ke arah jendela, yang untungnya hanya bergoyang karena dilindungi kaca tebal anti-pecah. Priscilla terisak. Ia membanting