Cahaya matahari menembus tirai tipis ruang rawat khusus yang disewa Adnan malam tadi. Ruangan itu tenang, meski sesekali terdengar langkah perawat yang hilir mudik di koridor. Aroma antiseptik bercampur dengan bau roti hangat yang baru saja dipanaskan dari kantin rumah sakit. Adnan sudah bangun sejak azan Subuh. Wajahnya tampak letih, mata sembab karena kurang tidur, tapi ia memaksakan diri untuk tetap tegar. Di atas meja kecil dekat ranjang, ia menata kotak sarapan sederhana—nasi tim hangat, telur rebus, serta segelas teh manis. Ia tahu Indira pasti tidak punya tenaga untuk menyiapkan apa pun. Indira masih meringkuk di ranjang, selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya pucat, mata bengkak. Sejak semalam ia hanya menangis, lalu tertidur karena kelelahan. Adnan duduk di tepi ranjang, menatap w