Adnan masih berdiri di balik meja saat suara robekan kertas meredam ketegangan di udara. Sisa-sisa potongan surat resign itu berjatuhan ke lantai, seperti hujan kecil yang menghantam ego dan harga diri Indira. Indira menatap potongan kertas itu dengan rahang mengeras. “Anda nggak bisa memaksa saya, Pak Adnan,” ucapnya pelan, menahan ledakan emosi yang sudah siap meletus. Tapi Adnan—yang biasanya membalas dengan kemarahan atau ancaman—justru menarik napas panjang, menenangkan suaranya. “Indira ... saya tidak memaksa. Saya hanya ... saya hanya butuh kamu tetap di sini,” katanya, nyaris seperti bisikan. Nada suaranya berbeda. Tidak menggema. Tidak mengintimidasi. Bahkan nyaris terdengar seperti … takut. Indira menyipitkan mata. “Takut kehilangan karyawan? Atau takut kehilangan mainan lama