Pukul dua siang. Matahari menyengat dari balik jendela kaca kantor bertingkat itu, memantulkan bayangan bayang-bayang para pekerja yang sibuk mondar-mandir di koridor. Begitu mobil hitam mewah itu berhenti di lobi, Indira turun lebih dulu, mengibaskan rambut panjangnya yang bergelombang sambil mengenakan kembali kaca mata hitamnya. Langkahnya mantap menuju pintu masuk. Tapi alih-alih naik ke lantai atas menuju ruang direktur utama, wanita itu malah belok ke arah kanan—menuju divisi finance. Regan yang baru keluar dari lift sempat mengernyit. “Lho, Bu Indira, bukannya ... ruang kerja Ibu—” “Sst.” Indira menaruh jari telunjuk ke bibir. “Saya butuh istirahat jiwa dulu, Pak Regan. Dua jam melihat wajah Pak Adnan nonstop itu ... bahaya untuk tekanan darah saya.” Regan menahan tawa. “Noted,