Rumah besar Oma Widya siang itu terasa lebih hidup dari biasanya. Dinding tinggi dengan cat putih gading tampak berkilau diterpa cahaya matahari. Halaman depan dipenuhi pepohonan tua, memberi kesan teduh dan damai. Namun, bagi Indira, rumah itu tetap menyimpan hawa asing—tempat yang tak pernah ia bayangkan akan ditinggalinya, apalagi setelah pernikahannya dengan Adnan berakhir. Ia duduk di tepi ranjang, menatap Ian yang baru saja terlelap setelah disuapi makan siang. Bocah itu masih terlihat pucat, tangan kanannya diperban kaku dengan gips putih membungkus rapat. Nafasnya teratur, kadang terdengar rengekan pelan saat ia bergerak. Indira menyelimutinya hati-hati, lalu mengecup kening putranya sebelum berdiri. “Tidurlah, gantengnya Mama … semoga cepat sembuh, ya Nak,” bisiknya lirih. Kelu