Elara duduk memeluk lututnya di sudut kamar yang sempit, tubuhnya bergeming, tapi air mata terus mengalir tanpa suara. Ketika suara Ronan menggelegar kembali di dalam ruang kontrakan itu, tubuhnya sontak bergetar. "Aku bilang, kamu harus gugurkan kandungan itu!" seru Ronan keras. Napasnya memburu karena emosi. “Kita ini nggak punya apa-apa, Elara! Rumah udah disita Seraphina, uang tinggal secuil, dan kamu malah nambah beban lagi?” Elara menunduk makin dalam, pundaknya bergetar. “Aku nggak mau,” bisiknya lirih. “Ini, ini anakku .…” Suasana mendadak mencekam. Zahara yang sejak tadi duduk membatu, akhirnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan ke arah putrinya. Ia berlutut di depan Elara, mencoba mengangkat wajah anak gadisnya dengan lembut. “Elara, dengar, Nak,” katanya dengan sua