Arthur terduduk di sofa dengan kepala menunduk, jemarinya mencengkeram rambutnya sendiri seakan mencoba mencari ketenangan di tengah kekacauan pikirannya. Apartemen yang selama ini menjadi tempat ternyamannya, kini harus ia jual demi membiayai pernikahan yang bahkan tidak pernah ia inginkan sepenuhnya. "Mau bagaimana lagi?" gumamnya, suaranya terdengar letih. "Aku terpaksa menjual apartemenku karena biayanya masih kurang." Luna, yang berdiri di dekat jendela dengan tangan bersedekap, mendengus kesal. "Kalau saja bukan karena pernikahanmu dengan Anya, aku masih punya sisa uang gono-gini dari Bramansyah," katanya, nada suaranya sarat dengan kekesalan. "Tapi sekarang? Semua sudah dipakai untuk pernikahan kalian yang kurang dari seminggu lagi." Arthur menatap ibunya dengan ekspresi pahit. I