Zahara duduk gelisah di bangku tunggu yang dingin dan tua, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, sesekali ia melirik ke arah pintu ruangan yang tertutup rapat. Waktu seakan berjalan lambat, dan denting jam dinding yang menggema menjadi pengingat bahwa tiap detik yang berlalu adalah penantian yang menyesakkan. Sudah hampir dua jam sejak Elara masuk ke dalam ruangan itu, dan belum ada satu pun kabar keluar. Zahara berkali-kali berdiri lalu kembali duduk, rasa khawatir dan tegang bercampur menjadi satu dalam d**a. Ia ingin segera tahu bagaimana kondisi putrinya. Meski hatinya tak sepenuhnya tenang, ia tetap berusaha berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi semua harapan itu runtuh saat pintu terbuka dan seorang pria dengan jas putih melangkah keluar dengan wajah tega