Di tengah larut malam, pintu utama rumah terbuka perlahan. Langkah Raymond yang berat terdengar menggema di lantai tangga yang mengarah ke lantai dua. Tak lama, langkahnya tersamarkan oleh karpet di koridor lantai dua yang cukup tebal. Tidak ada suara selain derit halus lantai kayu yang diinjaknya. Raymond seharusnya merasa lega telah pulang dan kembali berada di dalam pelukan kenyamanan rumahnya, namun, pada kenyataannya, hanya kekosongan dalam dirinya yang justru terasa semakin membesar. Wajah Alicia yang merana, tubuh Ben yang sudah tidak bernyawa, pengakuan-pengakuan kelam yang mencabik hatinya—semuanya berputar-putar seperti badai di kepala Raymond. Tetapi entah mengapa, bukan Alicia yang memenuhi pikirannya saat ini. Kaki Raymond yang tadinya melangkah menuju kamarnya terhenti. M