"Aku mau nungguin adikmu aja, sampai gede!" ucapnya dalam hati yang tanpa sadar telah berkata seperti itu.
Mungkin karena ia merasa pusing menghadapi sikap Dessy, istrinya, yang sangat sulit diatur, keras kepala, dan tidak pernah mau melayaninya lahir maupun batin, serta hanya selalu mementingkan pekerjaannya, membuat pikirannya menjadi kacau hingga hal seperti itu pun terlintas dalam benaknya.
"Hai, Bro! Udah lama nunggu aku, ya?" sapa Andra pada Alex, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya bersama Sintia, istrinya.
"M_Mas Andra?! Mbak Sintia?!" Angel, yang baru saja masuk ke dalam rumah, panik mendengar kedatangan mereka dan langsung bergegas ke kamarnya untuk mengganti pakaian seksinya serta berpura-pura tidur.
Sementara itu, Andra yang sudah berdiri di depan pintu masuk rumah bersama Alex dan Sintia mulai mengetuk pintu dengan pelan.
"Angel, Sayang! Kamu sudah tidur? Bukain dulu pintunya!" panggil Andra dengan suara sedikit keras.
Sintia memandang Andra dan berkomentar lembut, "Mas, sepertinya dia sudah tidur beneran, deh," ucapnya sambil mengamati suasana rumah yang malam itu terasa sunyi, hanya ketukan pintu dari Andra yang terdengar. Andra mengangguk pelan sambil bergumam, "Bisa jadi…"
Alex hanya tersenyum samar, mendengarkan percakapan mereka sambil menahan diri untuk tidak berkomentar terlalu banyak. Namun, dalam hatinya, ia sudah bisa menebak apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh Angel di dalam.
Tak lama kemudian, terdengar suara kunci pintu dan pintu pun terbuka perlahan. Angel muncul dengan pakaian tidurnya yang tampak kusut, rambutnya acak-acakan, seolah baru saja bangun tidur.
Dengan suara serak khas orang baru bangun tidur, Angel menyapa, "Eh, Mas Andra… Mbak Sintia… Mas Andra sama Mbak Sintia sudah pulang?"
Andra tersenyum lega. "Iya, Sayang. Maaf, kamu udah tidur ya?"
Angel menundukkan kepala, lalu melirik sekilas ke arah Alex, sedikit gugup. "Iya, tadi Angel udah tidur. Maaf kalau kelamaan bukain pintunya," jawabnya terbata-bata.
Alex yang sejak tadi memperhatikan dengan tenang hanya tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya seakan tak percaya dengan kelihaiannya dalam berbohong.
Andra mengusap kepala Angel dengan lembut. "Nggak apa-apa, Sayang. Udah, sekarang masuk. Udah malam."
Andra kemudian menoleh ke Alex, "Lex, ayo kita masuk."
Mereka semua akhirnya masuk ke dalam rumah. Angel, yang masih merasa canggung, berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. Ia tahu betul bahwa Alex sudah mengetahui kebohongan yang ia sembunyikan.
Setelah duduk, Andra meminta Angel untuk membuatkan minuman. "Angel, tolong bikinin minuman buat Mas Alex, ya. Kasihan, dia udah nungguin Mas lama."
Angel terkejut dengan permintaan itu, namun ia langsung menjawab dengan gugup, "Iya, Mas. Bentar ya." Ia kemudian bergegas menuju dapur.
Di ruang tamu, Alex duduk dengan santai, sesekali melirik ke arah dapur. Senyum tipis dan misterius menghiasi wajahnya, membuat suasana terasa semakin tegang. Sementara itu, Andra sibuk berbicara tentang tugas dinasnya yang mengharuskan dia dan Sintia pergi ke luar kota besok pagi.
Sintia, yang merasa tidak enak meninggalkan Angel sendirian di rumah, mengalihkan pembicaraan. "Lex, besok malam aku sama Andra harus dinas ke luar kota. Aku mau nitip Angel di rumah kamu, nggak apa-apa kan?"
Angel, yang baru saja kembali dari dapur membawa nampan berisi minuman, tiba-tiba terbatuk dan tersedak mendengar ucapan itu. "Uhuk!" Wajahnya terlihat panik, tanpa sengaja ia menatap Alex yang kini tersenyum tipis ke arahnya. Angel langsung salah tingkah, matanya menatap kakaknya penuh protes. "Ada apa ini, Mas? Kok Angel harus nginep di rumah Om Alex segala?"
Andra menatap adiknya dengan senyum lembut. "Besok kita dinas keluar kota, Sayang. Nggak mungkin kita ninggalin kamu sendirian di rumah. Lagian cuma semalam kok, kamu nginep di rumah Mas Alex."
Angel menggeleng keras, wajahnya tampak merah. "Tapi Angel nggak mau, Mas! Angel nggak enak... Angel nggak nyaman kalau nginep di rumah orang."
Alex, yang sejak tadi memperhatikan, tersenyum melihat reaksi Angel yang semakin canggung. Ia tahu betul apa yang sedang dipikirkan oleh Angel. Semua kenakalannya yang diketahui oleh Alex kini membuat gadis itu merasa tidak nyaman.
"Nggak apa-apa ya, Lex. Aku titip Angel semalam di rumah kamu," ucap Sintia lagi meyakinkan Alex.
"Aku juga udah telepon istrimu, Dessy, dan dia udah ngizinin kok," jelas Sintia sambil tersenyum.
Alex menarik napas sejenak, lalu tersenyum tipis. "Titip Angel?"
"Iya, semalam aja kok, Lex. Biar dia nggak sendirian. Di rumah kamu kan ramai, ada Luna, Dessy, dan asisten rumah tangga," jelas Sintia.
Alex melirik Andra, lalu menatap Angel dengan senyuman dingin. "Nggak apa-apa, Angel. Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari cara lain. Tapi demi kebaikan kamu, mending nurut aja."
Andra menambahkan dengan nada lembut. "Ini demi kebaikan kamu, Sayang. Mas cuma percaya sama Alex. Hanya Alex satu-satunya teman Mas di Jakarta yang bisa Mas percaya. Satu malam aja kok, lusa kita udah balik."
Angel terdiam, masih ada keraguan yang tersisa di matanya. "Tapi… tapi Angel nggak mau, Mas…"
Sintia menyela dengan suara lembut. "Angel, nggak usah khawatir. Mas Alex pasti jagain kamu dengan baik. Kita nggak akan lama kok."
Angel menunduk, merasa kalah dengan bujukan kakaknya. Meski hatinya masih terasa berat, akhirnya ia mengangguk kecil, menyerah pada keputusan itu.
Angel berbisik pelan, lebih kepada dirinya sendiri, "Oke deh… semalam aja, ya…."
Andra tampak lega, lalu mengusap kepala adiknya dengan lembut. "Nah, gitu dong."
Alex dan Sintia tersenyum. Sementara itu, Angel yang masih merasa malu dan canggung perlahan melangkah kembali ke dapur, berusaha menenangkan perasaan aneh yang berkecamuk di dadanya.
Keesokan harinya, sepulang kuliah, Angel menaiki angkot dengan perasaan campur aduk. Ia sebenarnya ingin segera pulang ke rumah, tetapi pesan dari kakaknya, Andra, yang memintanya untuk menginap di rumah Alex, membuatnya tak bisa menolak. Sesampainya di depan rumah Alex, Angel terdiam sejenak, tertegun oleh kemegahan yang terpampang di depannya. Rumah besar dengan arsitektur modern, halaman luas yang tertata rapi, serta taman yang dipenuhi bunga-bunga indah tampak berbeda jauh dari rumah sederhana Andra, kakaknya.
Di depan pintu rumah, Alex, istrinya Dessy, dan putri kecil mereka, Luna, sudah berdiri menunggu dengan senyum hangat.
Dessy tersenyum lebar, "Angel, akhirnya sampai juga! Ayo, ayo masuk, pasti kamu capek setelah seharian kuliah. Kita sudah siapkan makan siang, ikut makan ya?"
Angel tersenyum sopan. "Terima kasih, Tante."
Meskipun hatinya masih merasa canggung, Angel mengikuti Dessy masuk ke dalam rumah. Ia melewati ruang tamu yang besar dan mewah, dengan sofa yang tampak empuk dan perabotan mahal. Rumah itu memancarkan aura kemewahannya, namun entah mengapa ada sesuatu yang terasa kosong. Keheningan yang menyelimuti rumah ini membuatnya terasa dingin dan sunyi, seolah-olah tidak ada kehidupan yang benar-benar menghuni di balik kemegahan tersebut.