BAB 5

1077 Kata
Angel berpikir, mungkin ini karena Alex dan Dessy adalah orang yang sibuk, atau mungkin karena keluarga mereka sendiri tidak sering berkumpul bersama. Ada kesan formal yang kaku, meskipun seharusnya suasana rumah ini mengundang kehangatan. Setibanya di ruang makan, meja besar di hadapannya sudah dipenuhi makanan yang tersusun rapi. Angel merasa sedikit gugup, tetapi senyum hangat Dessy dan Luna membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Sambil makan, Dessy dan Luna beberapa kali melirik Angel. Kecantikan alami Angel, dengan kulit putih cerah, rambut panjang sedikit pirang yang terurai dengan indah, dan bentuk tubuhnya yang proporsional, membuat mereka takjub. Dessy tersenyum penuh arti, "Angel, kamu ini cantik banget, lho! Sudah ada yang spesial belum? Gimana kalau aku kenalin sama adikku, Bima?" Dessy menggoda dengan nada bercanda. Luna tersenyum malu-malu, "Iya, bener banget, Ma. Om Bima pasti bakal langsung suka deh kalau ketemu Tante Angel." Angel tersenyum canggung tapi ramah, "Ah, Tante bercanda aja. Angel masih fokus kuliah dulu." Dessy tertawa kecil sambil mengedipkan mata, "Hahaha, nggak apa-apa kok. Siapa tahu nanti ada kesempatan." Saat itu, Alex, yang sejak tadi hanya fokus pada makanannya, entah mengapa justru langsung terdiam dan membuang napas kasar. Sepertinya menunjukkan ketidaknyamanannya terhadap percakapan tersebut. Angel melirik ke arahnya dengan gugup, menggigit-gigit bibirnya, merasakan kecanggungan yang semakin kuat. Sikap dingin Alex semakin membuat suasana tak nyaman. Angel hanya tersenyum, berusaha tidak memperlihatkan perasaannya. Meski dalam hatinya merasa tak nyaman melihat reaksi Alex, percakapan tetap berlanjut, meski suasana sedikit terasa canggung, terutama antara Angel dan Alex. Hingga akhirnya makan siang pun selesai, dan suasana rumah kembali tenang. Hari pun berlalu dengan cepat, dan tanpa terasa sudah pukul 19.00 malam. Mbok Ijah, pembantu di rumah Alex, menghampiri Angel dan dengan lembut mengajaknya ke kamar tamu. "Non Angel, mari saya antar Non ke kamar tamu. Non istirahat saja biar besok pagi segar," kata Mbok Ijah. Angel tersenyum lembut, "Terima kasih, Mbok." Angel mengikuti Mbok Ijah menuju kamar tamu yang luas dan nyaman. Di dalam hatinya, Angel merasa sedikit canggung dengan suasana baru ini, tapi ia juga bersyukur karena keluarga Alex sangat ramah dan menerima dirinya dengan baik. *** Sementara di kamar Alex, suasana yang semula tenang berubah menjadi penuh ketegangan. Di kamar utama, Luna, putri kecil mereka, sudah tertidur lelap di tempat tidurnya. Namun, di sudut ruangan, percakapan yang awalnya pelan berubah menjadi pertengkaran sengit antara Alex dan Dessy. Alex duduk di tepi ranjang, wajahnya memerah, matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Sementara Dessy, istrinya, berdiri di dekat pintu dengan wajah tegang. Pertengkaran yang sudah lama terpendam kini meledak, memuncak pada masalah yang selama ini mengganggu hubungan mereka—prioritas antara pekerjaan dan keluarga. "Sampai kapan, Dessy? Sampai kapan kamu terus-terusan begini?" Suara Alex tinggi, mencerminkan frustrasi yang mendalam. "Kamu lebih banyak di rumah sakit daripada di rumah ini! Aku dan Luna seperti tidak punya istri dan ibu!" Dessy menarik napas dalam, suaranya tetap tenang namun tegas, "Mas, kamu tahu pekerjaanku. Aku seorang dokter. Ada banyak orang yang membutuhkan pertolongan di luar sana. Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja." Alex bangkit dari duduknya, berdiri dengan tatapan yang membara. "Tapi bagaimana dengan kita, Dessy? Bagaimana dengan keluarga ini? Apa kamu nggak lihat Luna? Dia butuh kamu! Dia jarang sekali melihat ibunya! Dan aku?" suara Alex mulai pecah, menunjukkan rasa kecewanya. Dessy menatap suaminya, masih berusaha tenang meski hatinya mulai terkoyak. "Aku berusaha, Mas. Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi pekerjaanku ini penting. Aku menyelamatkan nyawa. Bagaimana bisa Mas minta aku berhenti dari itu?" Alex menatap Dessy dengan intens, penuh dengan luka yang tak mampu lagi disembunyikan. "Kalau memang kamu nggak bisa berhenti, setidaknya luangkan waktu lebih banyak di rumah. Luna hampir nggak kenal ibunya, Dessy! Dan kita... kita bahkan jarang sekali punya waktu berdua. Kita ini suami istri, tapi kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu, sampai-sampai kita bahkan tidak lagi saling menyentuh seperti dulu." Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Alex menghela napas panjang, suaranya melemah, tapi penuh rasa lelah. "Aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku butuh kamu, Dessy. Luna juga butuh kamu," ucapnya. Dessy mengusap wajahnya, tampak bingung antara tanggung jawabnya sebagai dokter dan perannya sebagai istri dan ibu. "Aku mengerti, Mas. Tapi kamu tahu sendiri, tugas sebagai dokter tidak bisa dijadwalkan seenaknya. Orang-orang di rumah sakit bergantung padaku." Alex berdiri, menghadap Dessy dengan tatapan putus asa. "Dan aku juga bergantung padamu. Keluarga kita juga butuh kamu. Kalau memang kamu tidak bisa berhenti dari pekerjaanmu, aku minta, tolong prioritaskan keluarga kita. Setidaknya, luangkan lebih banyak waktu untuk Luna. Dia anak kita, Dessy. Anak kita." Dessy terdiam, matanya perlahan menunduk. Ia tahu ada kebenaran dalam kata-kata Alex, tapi pekerjaannya sebagai dokter selalu menjadi bagian dari dirinya, sebuah misi yang sulit untuk ditinggalkan. Dessy dengan suara rendah, namun tegas, "Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku, Mas. Pasien-pasienku membutuhkan aku. Ini bukan cuma pekerjaan. Ini adalah tanggung jawab yang besar." Alex dengan nada pahit, "Dan keluarga ini, Dessy? Apakah itu bukan tanggung jawab yang besar juga?" Pertengkaran yang semakin memanas itu berakhir dengan rasa frustrasi yang menggantung, tanpa ada resolusi. Alex hanya bisa menatap Dessy dengan perasaan hampa saat istrinya akhirnya mengambil keputusan untuk tetap ke rumah sakit, meninggalkan luka yang belum sembuh dan ketegangan yang terus menggantung di antara mereka. Setelah pertengkaran hebat dengan Dessy, Alex hanya bisa diam terpaku di kamar. Ia terduduk di kursi dekat ranjang, matanya memandangi wajah Luna, putri kecilnya, yang sedang terlelap tidur. Wajah Luna tampak tenang, polos, seolah tak tersentuh oleh masalah dunia dewasa yang tengah mengganggu keluarganya. Namun bagi Alex, tatapan itu terasa menyakitkan. Di balik keheningan malam, Alex merenung dalam kesedihan. Hatinya hancur melihat betapa kurangnya perhatian yang diberikan Dessy pada putri mereka. Luna tumbuh tanpa cukup kasih sayang dari ibunya, dan Alex merasa semakin gagal dalam menjaga keluarganya tetap utuh. "Maafkan Papa, Luna. Papa tahu kamu butuh Mama... tapi Mama selalu sibuk. Papa berusaha, tapi sepertinya belum cukup. Kamu berhak mendapatkan lebih dari ini," ucap Alex dalam hati. Alex menghela napas panjang, menahan perasaan sedih yang menghantam dadanya. Ia tidak tega melihat putrinya tumbuh tanpa perhatian yang layak dari seorang ibu. Luna pantas mendapatkan kasih sayang, dan sekarang, ia merasa tak berdaya. Saat ia tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara keras terdengar dari luar. Suara teriakan dan bentakan, sepertinya ada pertengkaran yang cukup hebat juga di depan pintu gerbang rumah. Alex terkejut, menoleh ke arah jendela, mendengarkan lebih saksama. Suara itu semakin jelas, dan hatinya tiba-tiba dipenuhi kekhawatiran. Alex bergumam pada dirinya sendiri, "Apa lagi ini? Kenapa harus ada keributan sekarang?" Dengan hati-hati, ia berdiri, memastikan Luna tetap tidur nyenyak. Perlahan, Alex melangkah turun keluar dari dalam kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN