BAB 6

1092 Kata
Alex, yang merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi, bertanya kepada Mbok Ijah, pembantunya, “Mbok, suara apa itu rame-rame di luar?” Mbok Ijah, yang saat itu juga sedang menyaksikan pertengkaran tersebut dari dalam rumah, tampak sedikit gelisah. “A-anu, Pak Alex…,” jawabnya terbata-bata. “Itu Non Angel, kayaknya lagi bertengkar sama pacarnya.” Alex terdiam sejenak, alisnya bertaut. “Angel?” gumamnya pelan. Pikirannya langsung dipenuhi kekhawatiran. Tanpa berpikir panjang, Alex langsung melangkahkan kakinya. Rasa ingin tahu dan keprihatinan memaksanya untuk segera melihat apa yang sebenarnya terjadi di luar. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju pintu masuk, membuka pintu rumah dengan tergesa-gesa. Di depan rumah, terlihat Angel berdiri dengan wajah marah, berbicara dengan suara keras pada seorang pria—pacarnya, yang Alex lihat dengan jelas adalah pria semalam yang sempat mencium bibir Angel di depan pintu gerbang rumah Andra. Suasana tegang terlihat jelas dari sorot mata Angel yang penuh dengan emosi. “Udah deh, kamu enggak usah bohong! Aku capek dengan hubungan yang nggak jelas seperti ini. Kamu pikir aku nggak tahu?! Kamu selingkuh, kan?!” Dimas kehilangan kesabaran, mulai naik darah. “b*****t lu, anjing! Harus berapa kali sih gue bilang, gue nggak selingkuh!” Angel balas memaki. “Lu yang b*****t! Lu juga yang anjing! Lu pikir aku bodoh?” Angel yang merasa dikhianati langsung mencoba merebut handphone dari tangan Dimas, berharap menemukan bukti perselingkuhan. “Sekarang buktiin sama gue! Kalau lu nggak selingkuh, kasih handphone lu biar gue cek!” Dimas berusaha mempertahankan handphone-nya, lalu mendorong Angel dengan keras. “Sini, balikin! Gue nggak selingkuh, anjing!” Dorongan itu membuat Angel tersungkur ke tanah. Angel merintih kesakitan, air matanya mulai mengalir. “Aww... sstttt…” Dimas merasa bersalah dan mendekat untuk menolong. “Beb! Aku nggak sengaja, Beb! Maafin aku, ya!” Namun, Angel yang dipenuhi amarah menepis tangan Dimas, tak mau disentuh olehnya. Dimas semakin tersulut amarah. “b*****t lu! Lu maunya apa sih, ha?” Angel dengan suara tinggi, tak mau kalah. “Lu tuh yang b*****t!” “Kalau emang lu nggak selingkuh, siapa wanita yang tadi chat ngomong kangen ke lu?!” Dimas frustrasi, menahan emosi. “b*****t, gue udah bilang gue nggak selingkuh!” Angel marah besar, suaranya semakin meninggi. “Lu tuh yang b*****t!” Dimas berbalik membentak. “Lu tuh anjing!” Pertengkaran itu tak kunjung mereda hingga akhirnya Angel yang merasa capek karena terus-terusan dibohongi memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Air mata Angel mengalir deras, berkata dengan tegas, “Udah cukup! Gue mau kita putus. Sekarang!” Angel berlari pergi, meninggalkan Dimas yang masih berusaha mengejarnya. Tapi, Dimas dihentikan oleh satpam rumah yang berjaga di pintu gerbang. “Sudah, Mas. Pulang saja. Jangan bikin keributan lagi di sini. Ini sudah malam,” perintah satpam tersebut dengan tegas. Dimas berteriak, putus asa, dan menyesal. “Beb! Beb! Dengar dulu penjelasan aku, Beb!” Tapi, Angel tak memperdulikannya. Dengan air mata yang terus mengalir, ia melangkah masuk ke dalam rumah. Ketika hendak masuk, langkahnya terhenti. Ia tersentak kaget melihat Alex yang ternyata sudah berdiri di sana, menyaksikan pertengkarannya dengan Dimas. Angel dengan suara parau, merasa malu, dan tak enak. “Hiks… hiks…” Angel menunduk, tangisnya semakin keras. Dengan cepat, ia bergegas masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian, Mbok Ijah mengetuk pintu kamarnya, berniat menenangkannya yang masih menangis. Mbok Ijah berbicara lembut di luar pintu, “Non Angel… boleh Mbok masuk?” Tak ada jawaban dari dalam. Sebelum Mbok Ijah mencoba mengetuk lagi, Alex menyela dengan tenang. “Sudah, Mbok. Lebih baik Mbok istirahat saja, ini sudah malam. Biar saya yang coba bicara sama Angel.” Mbok Ijah mengangguk dan pergi, meninggalkan Alex yang kemudian mengetuk pintu kamar Angel. “Angel, boleh aku masuk?” Masih tak ada jawaban, hanya suara tangis lirih dari dalam. Alex menunggu sejenak sebelum kembali bicara, “Aku masuk, ya?” Alex membuka pintu dengan perlahan. Di dalam, Angel duduk di tepi ranjang, membelakangi pintu, wajahnya tenggelam dalam kesedihan, pandangan kosong ke arah jendela. Tubuhnya bergetar karena tangisan yang terisak-isak. Hatinya terlihat hancur, dan air mata yang terus mengalir di pipinya mencerminkan betapa dalam luka yang sedang dirasakannya. Tanpa banyak bicara, Alex berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Ia tahu, di saat seperti ini, kata-kata mungkin tidak akan banyak membantu. Yang Angel butuhkan hanyalah kehadiran, seseorang yang bisa membuatnya merasa tidak sendirian. Perlahan, Alex meraih tubuh Angel dan membawanya dalam pelukan. Tanpa perlawanan, Angel menyandarkan kepalanya ke bahu Alex, menangis lebih keras, seolah menemukan tempat untuk menumpahkan segala perasaan. Tangis Angel semakin pecah, menggema di dalam kamar yang sunyi. Suara tangisannya terdengar begitu pilu, membuat Alex merasa lebih peduli dan ingin melindungi. “Ssttt…,” bisik Alex lembut sambil mengusap rambut Angel dengan penuh kasih sayang. “Kamu nggak pantas nangisin cowok b******k kayak dia.” Angel tetap terisak, tapi perlahan mulai merespon kehangatan Alex yang berusaha menenangkannya. Alex pun mengangkat dagu Angel dengan lembut, membuat pandangan mereka bertemu. Ia menatap mata Angel dalam-dalam, memastikan kata-katanya tersampaikan dengan penuh keyakinan. “Kamu cantik, kamu baik. Kamu layak dapat yang lebih baik. Kamu berhak bahagia,” ujarnya, mencoba menyalurkan kekuatan lewat senyum yang menenangkan. Mendengar kata-kata itu, Angel merasakan hatinya tersentuh. Ia menatap wajah tampan Alex dalam-dalam dengan begitu dekat. Bibir seksi Angel yang merah dan basah karena air mata terlihat semakin jelas di mata Alex, menimbulkan godaan yang tak terelakkan. Ada sesuatu yang tiba-tiba bergejolak dalam diri Alex, sebuah dorongan yang kuat namun tidak dapat ia kendalikan. Tanpa berpikir lebih jauh, ia menunduk dan mencium bibir Angel. Angel terkejut. Jantungnya berdetak kencang, dan dalam hati kecilnya, ia tahu ini salah. “Om Alex sudah punya istri,” pikirnya, mencoba menyadarkan diri. Tapi, ciuman itu begitu hangat, begitu penuh dengan emosi yang selama ini ia rindukan. Dalam kekalutannya, Angel tak bisa menahan diri. Ia membiarkan ciuman itu berlanjut, memejamkan matanya dan menikmati setiap detik kebersamaan yang salah namun terasa begitu benar. Setelah beberapa saat, Alex melepaskan ciumannya, menarik diri dengan senyum yang lembut di wajahnya. Ia menatap Angel dengan penuh kasih. “Kamu cantik,” ucapnya dengan suara yang hampir berbisik, seolah tak ingin mengganggu kedamaian momen itu. Angel terdiam, masih sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi. Pikirannya berkecamuk, di antara perasaan bersalah dan kenikmatan sesaat yang tak bisa ia tolak. “Om…,” suaranya hampir tak terdengar, “apa Tante Dessy sudah pergi kerja?” Alex tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya pelan. “Sudah,” jawabnya singkat. Angel menelan ludah, rasa takut mulai menyelimutinya. “Luna?” tanyanya, suaranya gemetar. “Dia sudah tidur,” jawab Alex tenang, memastikan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN