Keluarga Anas tetap datang ke rumah Abi Jamal keesokan harinya. Semua menyambut dengan gembira. Orang tua Anas juga membawa hadiah untuk kelahiran cucu pertama Abi Jamal. Setelah beramah-tamah, kini semua orang kecuali Nia dan bayinya duduk melingkari meja di ruang tamu. Luna tertunduk. Ia tahu tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima perjodohan ini. Gadis itu terus meremas jemari dengan gelisah, menggigit bibir demi menahan air mata yang mengancam akan luruh. Tanpa ia sadari, Ummi Nur dan Anas memperhatikannya. “Sepertinya nggak bisa langsung mengkhitbah, Bi.” Anas tiba-tiba bicara. “Loh, kenapa?” “Saya belum terlalu kenal Luna. Begitu juga Luna belum terlalu mengenal saya. Pernikahan kan ibadah seumur hidup. Saya nggak mau nanti setelah beberapa tahun menikah kami bercerai denga