Langit ibukota sudah gelap, lautan lampu gedung terlihat gemerlap, namun Arista justru kembali ke apartemennya dengan mata sembap. Entah kenapa, suara wanita di belakang Arka tadi terus terngiang-ngiang. Skenario-skenario mesra antara Arka dan wanita itu silih berganti di benak Arista. Dan ia benci itu, hanya membayangkannya saja sudah mampu membuatnya marah, kecewa, sedih, dan tidak bisa fokus. Arista mendesah panjang di depan pintu apartemennya, bersamaan dengan Nola yang baru saja keluar dari unit apartemennya sendiri. “Lo kenapa?” tanya Nola penasaran. Arista menoleh, energinya sudah habis untuk menjawab. Maka ia diam saja. Tapi sorot matanya mengatakan semuanya. “Lo habis nangis, Ris?” Nola mendekat, menyentuh lengan Arista pelan. Pertanyaan Nola hanya dijawab desahan nafas berat