Malam itu udara terasa begitu dingin, meski pendingin ruangan sudah dimatikan. Namun, d**a Alena justru terasa panas. Sejak mereka tiba di hotel seusai makan malam, pikirannya tak pernah lepas dari bocah kecil yang memanggilnya ‘Mama’ pagi tadi. Wajah polos Ardan dengan mata bulatnya terus saja muncul di pelupuk mata, membuat Alena hanya bisa membalikkan badan ke kiri, lalu ke kanan, gelisah. Tristan yang semula tertidur lelap di sampingnya perlahan membuka mata saat merasakan gerakan Alena yang tak berhenti. Lelaki itu mendesah pelan, matanya sedikit menyipit menatap jam digital di meja kecil dekat ranjang. Pukul satu dini hari lewat lima belas menit. “Sayang…,” gumam Tristan, suaranya parau. Ia meraih bahu Alena pelan, membuat wanita itu menoleh. Mata Alena tampak sendu, membenamkan pi