Nyra menatap ke arah jendela kantor itu tanpa sadar air matanya menetes perlahan. Semua masa lalunya bersama Siva berkelebat di kepala, tawa mereka saat ngobrol bersama, kebiasaan kecil Siva yang suka membawakan kopi setiap pagi, juga pelukan hangatnya ketika Nyra dulu terpuruk karena pekerjaan. Semua itu kini terasa seperti sandiwara yang terencana dengan sempurna. “Siva… kenapa kamu tega?” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Hatinya serasa diremas, mengingat betapa tulus ia dulu mempercayai wanita itu seperti saudara sendiri. Ferrin yang duduk di sampingnya bisa merasakan getaran emosi Nyra. Ia tak berkata apa-apa, hanya menatap sekilas dengan tatapan penuh empati. Nyra menunduk, tangannya mengepal di pangkuan. “Selama ini aku pikir dia tulus, Dok. Aku pikir dia teman yang

