Suara desahan berat dan erangan pendek akhirnya mereda, meninggalkan kesunyian yang berat di dalam gudang tua itu. Ardi menarik tubuhnya, rasanya campur aduk antara kepuasan biologis dan rasa bersalah yang mulai menyergap. “Aku kelepasan di dalam lagi, Siva,” ucapnya, suaranya parau, mengakui kenyataan yang tak bisa ditarik kembali. Siva tak segera menjawab. Tubuhnya yang lemas tergolek di atas lantai berdebu, gemetar halus baik karena dingin maupun gejolak emosi. Rasanya seperti lautan perasaan yang bertabrakan dalam kehancuran, keputusasaan, dan sedikit sekali rasa kemenangan karena strategi manipulatifnya berhasil. Perlahan, dia menatap Ardi. Sorot matanya bukan lagi tatapan penggoda, melainkan tatapan dalam yang penuh tuntutan dan peringatan. “Kamu,” bisiknya, suaranya serak namun

