Dengan napas tertahan, Nyra menatap Ferrin, mencari kepastian terakhir di mata pria itu. “Kamu nggak apa-apa aku mengangkat telepon darinya?” tanyanya, suara bergetar penuh kehati-hatian. Dia tidak ingin kesalahpahaman mematikan seperti dulu kembali terulang hanya karena bayangan Sakha. Ferrin menghela napas pendek, lalu mengangguk, matanya tetap tenang meski rahangnya terlihat sedikit mengeras. “Angkat saja. Aku juga ingin mendengar apa yang diucapkannya. Alihkan ke mode loudspeaker nanti,” ujarnya, nada tingginya terkontrol, lebih karena kewaspadaan daripada kemarahan. Jantung Nyra berdebar kencang. Dengan jari yang gemetar, ia akhirnya menekan tombol hijau dan segera mengaktifkan loudspeaker. Suara Sakha yang dalam dan familiar langsung memenuhi ruangan, terasa asing dan mengganggu

