Siva melangkah cepat menuruni tangga dengan napas tersengal. Sejak matahari baru saja naik, jantungnya berdetak tak beraturan, rasa takutnya menguasai seluruh pikirannya. Di meja makan, aroma roti panggang dan kopi hangat seharusnya bisa menenangkannya, tapi kali ini justru membuat perutnya mual. “Non, sarapannya sudah siap. Kenapa nggak dimakan dulu?” tanya Bi Imah, pelayan rumah yang sudah lama bekerja di sana, menatap heran majikannya yang tampak gelisah. “Oh iya, Bi… aku ada urusan mendadak di luar. Nanti saja makannya,” jawab Siva tergesa, suaranya bergetar. Ia berusaha menampilkan wajah tenang, padahal di dalam dirinya badai ketakutan sedang mengamuk. Sepanjang malam ia tak bisa tidur. Bayangan ancaman Sakha terus berputar di kepalanya. “Kalau aku menemukan kebohongan di balik se

