Sakha terdiam di depan pintu rumah Nyra yang telah terkunci rapat. Ia menyadari dengan getir bahwa segala upayanya sia-sia. Keputusan Nyra sudah bulat, bagai batu yang tak bisa digerakkan. Sebuah rasa kekalahan yang pahit menyelimutinya, bercampur dengan amarah yang membara karena merasa ditolak dan dipermalukan. “Da-mn!” kutuknya keras, meninju setir mobilnya hingga bunyi klakson pendek memecah kesunyian malam. “Kenapa semuanya jadi berantakan seperti ini? Ulah siapa sebenarnya?” Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya tanpa jawaban yang memuaskan. Saat mobilnya melaju, pikiran pun terbang ke masa lalu. Ia teringat pada hari-hari awal bersama Nyra, saat senyumnya masih tulus untuknya, saat tawa mereka masih mudah pecah. Kenangan manis itu seperti film usang yang diputar ulang, menonj

