***
Berbaring terlentang di atas ranjang dengan mata tertutup rapat, Michele membiarkan pikirannya melayang kembali ke masa lalu. Setiap kenangan yang terlintas di benaknya seperti luka lama yang kembali menganga, menciptakan rasa sesak yang menghimpit dadanya.
Napasnya berat, d**a bidangnya naik turun seirama dengan detak jantung yang berdebar kencang. Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di sekitar pelipis, menandakan ketegangan yang melanda dirinya.
Setelah beberapa menit dalam posisi itu, Michele membuka matanya lebar-lebar. Ia langsung bangkit dengan gerakan tiba-tiba, duduk di sisi ranjang dengan kepala tertunduk. Napasnya masih terengah-engah, seperti baru saja berlari mengejar sesuatu yang tak pernah bisa diraih.
Kedua tangannya bergerak ke arah kepala, meraup rambutnya yang acak-acakan. Dengan gerakan perlahan namun penuh emosi, ia menyisir rambutnya menggunakan jemari, sesekali menariknya seolah mencoba mengalihkan rasa sakit yang tak berwujud. Satu tarikan napas kasar lolos dari bibirnya.
Michele mengangkat wajahnya, pandangannya menyapu seisi kamar yang begitu luas namun terasa kosong. Hatinya makin hampa, seolah ruangan itu mencerminkan apa yang dirasakannya selama bertahun-tahun.
Ia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju sofa di sudut ruangan. Dengan gerakan lelah, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa empuk itu, membiarkan punggung lebarnya bersandar. Kepalanya menengadah, menatap langit-langit kamar yang dihiasi ukiran elegan. Tapi yang dilihatnya bukan ukiran itu—melainkan bayangan Sexyana yang terus menghantui pikirannya.
Setiap kali nama wanita itu melintas di benaknya, Michele merasa seolah terhisap ke dalam pusaran penyesalan.
Sexyana—wanita yang dulu menjadi istrinya, namun kini tak lagi bisa ia miliki. Ia menghela napas panjang, mencoba menghapus perasaan sesak di dadanya, namun usahanya sia-sia.
Kurang dari satu bulan Sexyana menyandang status sebagai istrinya. Selama waktu itu, mereka hanya dua kali melakukan hubungan badan. Tapi, dua kali itu cukup untuk meninggalkan sesuatu yang tak pernah ia ketahui—seorang anak yang kini tumbuh tanpa dirinya. Seorang anak yang menjadi bukti nyata dari hubungan mereka, meski hubungan itu kini telah berakhir.
Michele mengerutkan kening, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. ‘Bagaimana caramu membesarkannya sendirian, Sexyana? Siapa yang mendampingimu? Apakah keluargamu selalu ada untukmu? Atau... Nicolas? Apakah dia bersamamu saat kau melahirkan anak kita?’ Michele mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Membayangkan Sexyana bersama Nicolas membuat darahnya mendidih.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Namun, pikirannya kembali ke fakta pahit bahwa ia pernah mengirim detektif terbaik dalam klan-nya ke Paris—tempat Sexyana dan anak mereka tinggal. Detektif itu gagal menemukan keberadaan mereka. ‘Bagaimana caramu menyembunyikan dirimu dariku, Sexyana? Bagaimana kau melindungi rahasia ini?’ batinnya.
Matanya kemudian tertuju ke arah ranjang—tempat di mana ia pernah memeluk Sexyana, tempat di mana ia pernah berharap bisa membuat wanita itu mencintainya. Tapi, semua itu hanya mimpi. Pernikahan mereka telah dibatalkan, dihapus sepenuhnya.
Michele mengepalkan tangannya erat, jari-jarinya memutih karena tekanan. Pikirannya kembali melayang ke saat ketika keluarga Blaxton, menggunakan kekuasaan mereka untuk membatalkan pernikahan. Sebuah langkah yang sebenarnya hampir mustahil dilakukan, terutama dalam hukum keyakinan mereka.
Dalam aturan yang mereka anut, pernikahan tidak dapat dibatalkan tanpa kehadiran kedua belah pihak. Namun, saat itu Michele sedang terbaring koma akibat insiden yang melibatkan Oscar, kakak Sexyana, dan keluarga Blaxton mengambil kesempatan tersebut. Mereka bertindak sepihak untuk membatalkan ikatan yang, meski dibangun atas dasar keterpaksaan, tetap sah secara hukum.
Pernikahan itu dihancurkan seperti lembaran kertas yang dicabik-cabik tanpa ampun. Michele, yang tidak sadar akan apa yang terjadi, hanya bisa menjadi saksi bisu atas keputusan yang telah diambil oleh pihak lain. Ketika ia terbangun, semua sudah terlambat.
“Sebenarnya mereka tidak bisa melakukannya…” gumam Michele, rahangnya mengeras. Ia mengingat bagaimana hukum itu seharusnya melindungi pernikahan mereka, tak peduli betapa rapuhnya hubungan itu. Namun, keluarga Blaxton tidak seperti keluarga biasa. Dengan kekuasaan dan pengaruh mereka, aturan apa pun bisa mereka ubah, hukum apa pun bisa mereka tundukkan.
Dokumen-dokumen resmi yang mencatat pernikahan itu? Hilang. Lenyap tanpa jejak, seolah-olah pernikahan itu tak pernah ada. Tidak ada catatan, tidak ada bukti.
Kini, pernikahan itu tak lebih dari sekadar ingatan yang menyakitkan. Michele menatap kosong ke depan, memikirkan semua kesalahan yang telah ia perbuat. Namun, meskipun ia menyesali semuanya, ia tahu bahwa penyesalannya tak akan pernah cukup untuk mengubah masa lalu.
Sexyana telah pergi, dan bersamanya, sebuah kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya.
Sekali lagi, Michele menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan kasar. Tubuhnya yang tegap kini membungkuk sedikit di tempat duduk. Kedua kakinya terbuka lebar, sementara kedua lengannya bertumpu pada pahanya.
Jemari tangannya saling menggenggam erat, seakan berusaha menahan luapan emosi yang terus bergelut di dalam dirinya. Pandangannya tajam lurus ke arah ranjang besar di depannya, tempat kenangan pahit yang tak pernah berhenti menghantuinya. Ia kembali mengenang dalam diam.
Flashback…
Cahaya matahari yang menembus sela-sela tirai menyinari kamar dengan lembut. Di atas ranjang king-size itu, Sexyana terbaring memunggungi Michele. Tubuh polosnya diselimuti kain tebal, tetapi dinginnya udara kamar tak mampu menghapus rasa sakit yang ia rasakan.
Sudah hampir sepuluh menit Sexyana terjaga, namun ia tetap terdiam. Tak ada keinginan sedikit pun untuk bergerak. Tubuhnya terasa seperti sehelai kain basah yang terlalu lelah untuk diangkat. Sakit. Bahkan, sekadar menggerakkan ototnya terasa seperti menyayat kulitnya sendiri.
Semalam, Michele menyentuhnya dengan kasar, seperti seorang yang tak punya hati. Tangis dan permohonannya tak membuat pria itu berhenti. Malah, suara rintihan yang keluar dari bibirnya semakin membuat Michele menggila, memaksanya untuk menerima sentuhan yang tidak diinginkannya.
Pikiran Sexyana berputar dalam kehampaan. Ia ingin mengakhiri semuanya. Hidupnya terasa begitu sia-sia, dipenuhi oleh rasa sakit dan kehancuran.
Di sisi lain ranjang, Michele juga telah terjaga. Ia berbaring telentang, menatap langit-langit dengan mata terbuka lebar. Sebuah tarikan napas dalam terdengar dari bibirnya sebelum ia memiringkan tubuh, mengarahkan pandangannya pada punggung telanjang Sexyana.
Tanpa banyak bicara, Michele bergerak mendekat. Salah satu tangannya menyelinap di bawah selimut, melingkari pinggang ramping Sexyana. Pria itu memeluknya, lalu menanamkan kecupan lembut di bahu putih perempuan itu.
Tangannya perlahan bergerak ke atas, hingga berhenti di d**a Sexyana. Tetapi sebelum ia sempat melakukan lebih, Sexyana menepis tangannya dengan kasar.
"Jangan sentuh aku!" desis Sexyana tajam, suaranya bergetar menahan amarah.
Michele tertegun. Ia mengerutkan kening, tak menyangka Sexyana sudah bangun. Namun, bukannya merasa bersalah, Michele hanya menatap istrinya dengan tatapan dingin. Sikapnya tak menunjukkan sedikit pun rasa bersalah, seolah apa yang terjadi semalam hanyalah hal sepele.
"Aku kira setelah kau bangun, semuanya menjadi lebih baik. Hubungan kita akan membaik. Tapi ternyata aku salah besar," ujar Michele dingin, suaranya berat.
Sexyana, yang masih memunggunginya, kini bergerak cepat. Meski tubuhnya terasa sakit, ia berbalik menghadap Michele. Sorot matanya penuh kebencian.
"Setelah apa yang kamu lakukan semalam padaku, kau masih berharap ada perubahan baik? Itu tidak akan pernah terjadi, Michele! Kau bisa melukaiku sesuka hatimu, menghancurkan tubuh dan jiwaku... Tapi aku tidak akan pernah mencintaimu! Bahkan aku tidak akan pernah memaafkanmu!" ucap Sexyana.
Michele duduk tegap, menatap Sexyana dengan mata menyipit tajam. "Jadi, kau lebih memilih hidup menderita selamanya daripada belajar menerima takdir, huh? Sexyana, dengarkan aku baik-baik. Jangan berpikir aku bahagia dengan pernikahan ini—"
"Kalau kau tidak bahagia, lalu kenapa kau melakukan hal itu lagi padaku?!" potong Sexyana cepat, suaranya menggema di kamar yang sebelumnya sunyi. Ia duduk dengan tubuh yang tegak, selimut yang ia pegang erat menutupi tubuhnya.
Wajah Sexyana memerah, matanya membara dengan emosi. "Ini! Ini alasan kenapa aku tidak pernah bisa menyukaimu! Semua yang ada di pikiranmu hanyalah soal nafsu! Kau tidak peduli dengan rasa sakitku, dengan permohonanku. Kau tetap menyentuhku dengan kasar, seolah aku hanyalah sebuah benda yang bisa kau gunakan sesuka hati! Aku bukan p*****r-mu, Michele!”
Napas Sexyana tersengal-sengal, suaranya bergetar oleh amarah yang mendidih. Wajahnya merah padam, sementara matanya menatap Michele penuh kebencian yang tak terhingga.
Detik berikutnya, Sexyana memalingkan pandangannya dari Michele. Perlahan, ia bergerak hendak turun dari ranjang, meski rasa sakit di sekujur tubuhnya jelas menghalangi setiap gerakannya. Namun, pergerakannya mendadak terhenti ketika Michele dengan sigap mencengkram lengannya.
“Akh! Michele, sakit!” keluh Sexyana, wajahnya meringis menahan nyeri.
Michele langsung melepaskan tangannya. Matanya kini tertuju pada lengannya yang sempat ia cengkeram. Pandangannya membelalak ketika ia melihat bekas memar kebiruan di kulit pucat istrinya.
‘s**t! Sampai seperti ini?’ batinnya bergemuruh. Ia tidak pernah menyangka bahwa perlakuannya semalam akan meninggalkan jejak yang begitu menyakitkan di tubuh Sexyana.
Rasa penasarannya membuat Michele bertindak tanpa berpikir. Ia meraih selimut yang melilit tubuh Sexyana, menariknya perlahan meskipun perempuan itu berusaha menahan. Namun, tenaganya terlalu lemah untuk mempertahankan selimut itu. Selimut pun melorot hingga perut, memperlihatkan tubuh Sexyana yang dipenuhi memar-memar keunguan.
Mata Michele membelalak lebih lebar. Napasnya tertahan, sebelum akhirnya ia menelan ludah dengan kasar, mencoba melembabkan tenggorokannya yang mendadak kering.
Seberutal itukah dia semalam?
Memar-memar itu bukan jejak keintiman—kissmark, bukan jejak-jejak cinta. Itu adalah luka, bukti nyata dari kekasarannya.
Pemandangan ini memukulnya dengan kesadaran yang telak. Sexyana tidak hanya kesakitan—ia juga membenci dirinya. Kebencian itu terpancar jelas di mata istrinya, dan Michele tahu, bukan hanya Sexyana yang akan menghukumnya jika semua ini terbongkar.
Lucas, mertuanya, akan murka. Pria tua itu sudah cukup tegas menuntut Michele bertanggung jawab saat insiden pertama kali terjadi. Namun, Lucas bukan ancaman terbesarnya.
Ada Oscar, kakak Sexyana yang selama ini menjadi duri dalam hidupnya. Oscar adalah ancaman nyata. Pria itu mungkin tidak akan ragu membunuh Michele jika tahu betapa buruk perlakuannya terhadap Sexyana.
Michele memejamkan mata sejenak di tengah deru napas yang memburu.
“Perawan bukan segalanya bagi wanita!” Kalimat Oscar tiba-tiba menggema di benak Michele, seolah menghakiminya dari kejauhan. “Jika seorang pria benar-benar tulus, dia akan menerima apa adanya. Jika alasan kalian memaksa Sexyana menikah dengan b******n ini hanya karena kesalahan semalam, aku tidak setuju! Aku tidak pernah setuju! Sexyana menikah dengan b******n ini adalah kesalahan besar!”
Kata-kata itu dulu hanya sebuah ancaman yang terasa kosong, namun kini, semua terasa nyata. Michele tahu ia tidak hanya menyakiti Sexyana; ia juga telah melanggar batas-batas yang bahkan dirinya sendiri tidak bisa maafkan.
“Sexyana…” gumam Michele dengan suara serak. Ia mendekat perlahan, tangannya terulur membawa tubuh istrinya yang lemah ke dalam dekapannya. Tubuh Sexyana terasa begitu dingin dan rapuh dalam pelukannya. “Aku… aku minta maaf.” Suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
Namun, Sexyana tetap diam. Ia membiarkan tubuhnya bersandar dalam pelukan Michele, bukan karena ia menikmati kehangatan itu, tetapi karena ia terlalu lemah untuk menolaknya. Bahkan kata-kata permintaan maaf itu terasa kosong di telinganya.
“Aku ingin bercerai, Michele,” bisiknya lemah, tanpa emosi. Kata-kata itu terasa seperti duri yang menancap dalam di hati Michele.
Michele memejamkan mata, berusaha keras menahan gejolak emosi yang meluap di dalam dirinya. Permintaan itu terus berulang, dan setiap kali Sexyana mengucapkannya, hati Michele terasa seperti diiris tajam.
“Kita tidak mungkin bisa bercerai, Sexyana. Tanpa aku jelaskan pun, kau pasti tahu alasannya,” kata Michele, suaranya rendah dan teredam. Ia mempererat pelukannya.
“Pernikahan ini terjadi karena kesalahan kita. Aku dan kau, sama-sama tidak menginginkannya. Tapi untuk mengakhirinya juga tidak mungkin. Kita tidak punya pilihan selain bertahan.”
Sexyana menggeleng lemah. “Aku tidak bisa hidup seperti ini, Michele. Aku tidak tahan. Kumohon… aku ingin bercerai,” ujarnya dengan suara bergetar. Air matanya mengalir tanpa henti.
Michele melepaskan pelukannya, lalu membingkai wajah pucat Sexyana dengan kedua tangannya. Matanya yang tajam kini bertemu langsung dengan mata Sexyana yang penuh luka. “Tidak bisa, Sexyana. Bukan karena aku tidak mau, tapi keluarga kita tidak akan pernah mengizinkan. Aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kita mencoba. Mari kita jalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh. Aku… aku akan berubah. Apa pun yang tidak kau sukai dariku, aku akan tinggalkan. Aku janji.”
“Aku tidak mencintaimu, Michele. Bagaimana bisa aku menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh? Aku tidak akan pernah bisa mencintaimu,” jawab Sexyana, suaranya rendah.
“Kau bisa belajar, Sexy. Aku tahu ini berat, tapi aku berjanji… apa yang kita lakukan semalam adalah yang terakhir. Aku tidak akan pernah menyentuhmu lagi, kecuali kau benar-benar menginginkannya. Aku berjanji, Sexyana.”
Flashback end.
Michele masih terduduk di kursinya, menatap kosong ke arah ranjang yang kini kosong. Ia menggenggam tangannya dengan erat, mencoba menahan rasa bersalah yang menghantui pikirannya. Entah bagaimana ia akan memperbaiki semuanya.
Rasa bersalah menggerogoti hatinya seperti racun. Kesalahan yang ia perbuat terlalu besar, terlalu dalam. Setelah malam itu, setelah ia bersumpah di depan Sexyana untuk berubah, untuk memperbaiki semuanya, ia tetap gagal menepati janji itu.
Apakah semuanya berjalan mulus setelah malam itu? Jawabannya adalah tidak.
Selang beberapa hari, ia melakukan kesalahan yang lebih besar, kesalahan yang tidak hanya menghancurkan harapan yang ia ciptakan sendiri, tetapi juga menjadi pemicu kehancuran rumah tangga mereka. Kesalahan itu begitu fatal hingga nyawanya hampir melayang—di tangan Oscar.
Michele menghembuskan napas panjang, mencoba menghalau emosi yang semakin menguasainya. Namun, amarah pada dirinya sendiri, rasa bersalah, dan rasa kehilangan, semuanya berbaur menjadi satu, membuat dadanya terasa sesak. Ia memejamkan mata, menundukkan kepala, lalu berbisik pelan.
“Aku harus menemukanmu, Sexyana. Bagaimanapun caranya, aku akan mencari dan membawamu kembali ke sini. Aku bersumpah.”
Michele membuka matanya, “Tidak peduli Oscar akan membunuhku, aku tidak peduli. Jika itu harga yang harus aku bayar.”
***