Bab 8: Hukuman

2562 Kata
*** Setelah urusan di sekolah selesai, Sexyana membawa putrinya, Savana, pulang ke rumah, ditemani oleh Oscar dan ibunya, Brianna. Rumah pilihan Oscar yang menjadi tempat tinggal Sexyana dan Savana selama ini berada di sebuah perumahan elit di kota Paris, sebuah lingkungan yang mencerminkan kemewahan dan privasi. Setiap rumah di kawasan ini berdiri megah dengan arsitektur modern dan sentuhan klasik khas Eropa. Di ruang tengah, mereka berkumpul. Sexyana duduk di sofa berbahan beludru berwarna pastel, sementara Brianna duduk di sofa berhadapan dengannya, menyeruput teh dari cangkir porselen. Oscar berdiri tegap di dekat dinding, kedua tangannya masuk ke dalam saku celananya, memperlihatkan postur otoritatifnya. Savana, bocah perempuan berusia empat tahun itu, berdiri gelisah di depan pamannya. Matanya yang bulat sesekali melirik ibunya dengan tatapan memohon. Namun, Sexyana hanya berpura-pura tidak melihat, melipat kakinya dengan anggun sambil menyandarkan tubuhnya di sofa. Savana mendesah kecil, merasa tak mendapat bantuan dari ibunya. Ia mengalihkan pandangan ke neneknya, Brianna, berharap belas kasih. Namun, Brianna justru mengalihkan pandangan ke arah lain, seolah tak ingin terlibat. Bibir kecil Savana mengerucut. Wajah mungilnya tampak kecewa. Dalam hati, ia menggerutu, ‘Tidak ada satupun yang mau membantuku menghadapi Daddy Oscar. Mommy dan Grandma tega sekali!’ Di sisi lain, Oscar tetap berdiri dengan tatapan tajam yang tak lepas dari keponakannya. Meskipun wajahnya terlihat serius, dalam hatinya ia menyadari kegelisahan Savana dan menunggu bocah itu menjelaskan insiden yang terjadi di sekolah tadi. “Daddy…” suara kecil itu akhirnya memecah keheningan. Sexyana dan Brianna saling melirik. Ada senyum samar yang terbit di wajah mereka, namun keduanya tetap bungkam, menikmati momen ini dari kejauhan. Oscar masih tak bergeming, tatapannya tetap fokus pada Savana. Bocah kecil itu perlahan melangkah mendekati sang paman. Kakinya yang kecil berhenti sejenak, lalu ia mengangkat wajahnya. “Aku tidak membuat onar di sekolah,” katanya dengan suara pelan. Namun, langkahnya kembali bergerak maju. Wajahnya yang mungil terlihat tegang, tetapi gerak-geriknya begitu menggemaskan. Savana kini berdiri hanya beberapa langkah di depan Oscar. “Dia jambak rambutku, Daddy,” ujarnya penuh kesal, namun nada suaranya tetap terdengar imut. “Rambutku rontok satu helai!” lanjutnya sambil mengangkat satu jari telunjuk kecilnya ke depan, memperagakan jumlah yang ia maksud. Oscar mengangkat sebelah alis, menatap serius bocah itu. “Satu helai?” ulangnya dengan nada datar, mencoba menahan senyum yang hampir merekah di wajahnya. “Iya!” jawab Savana tegas, menekankan angka satu dengan menunjukkan telunjuk mungilnya sekali lagi. Wajahnya cemberut, tetapi tetap terlihat menggemaskan. Di sofa, Sexyana dan Brianna nyaris terkikik melihat tingkah Savana. Namun, mereka menahan diri, membiarkan momen itu berlangsung antara paman dan keponakan. Oscar tetap diam, menunggu bocah itu melanjutkan. Dan seperti yang ia duga, Savana dengan penuh semangat berkata, “Makanya aku patahin tangannya!” Wajah kecilnya tampak penuh kebanggaan, seolah baru saja melakukan perbuatan paling heroik di dunia. Oscar menghela napas pelan, namun sorot matanya tetap tajam. “Jadi, menurutmu, sehelai rambut yang rontok harus dibayar dengan tangan yang dipatahkan?” Savana mengangguk cepat tanpa ragu sedikitpun. “Hu’um! Kan Daddy yang bilang…” jawabnya tegas. Matanya yang bulat berbinar-binar, penuh keyakinan. “Siapapun yang berani sentuh aku dan sakiti aku, aku wajib patahin tangannya. Jadi aku lakuin itu, Daddy!” Oscar terdiam beberapa detik, menatap Savana dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Ia mengamati bagaimana gadis kecil itu berdiri tegap di hadapannya. Setelah merenung sejenak, bibir Oscar melengkung tipis membentuk senyuman nyaris tak terlihat. Ia mendesah pelan sebelum berkata, “Bagus.” Gumamannya. “Dia meludah di wajahku, Daddy!” ujarnya lagi, kali ini dengan ekspresi jijik yang berlebihan. “Ihh… air liurnya bau sekali! Aku nggak tahan, makanya aku patahin tangannya.” Di sofa, Sexyana yang sejak tadi menahan diri hampir tergelak. Brianna pun buru-buru menyembunyikan senyum di balik cangkir tehnya. Oscar berusaha mempertahankan sikap serius, meskipun hampir menyerah karena tingkah Savana yang menggemaskan. Ketika pria itu tetap diam, Savana merasa dirinya perlu melakukan sesuatu. Ia menatap Oscar, bibirnya mengerucut cemberut karena pria itu tak segera merespons seperti yang ia harapkan. Dengan langkah kecil, ia mendekat lagi. Kali ini jarak antara mereka benar-benar menghilang. Savana membawa tangan kecilnya ke arah tangan Oscar yang masih berada di saku celananya. Dengan lembut, ia menarik tangan pria itu keluar, menggenggamnya dengan kedua tangan mungilnya. “Daddy…” panggilnya dengan nada manis. Ia membawa tangan Oscar ke bibirnya dan mencium punggung tangan itu dengan sepenuh hati. “Maafkan aku ya, Daddy, sudah buat keributan di sekolah,” ucapnya sambil beralih mencium telapak tangan Oscar. Pintar sekali dia merayu—persis seperti ayahnya kandungnya—perayu ulung. “Tapi aku diganggu, Daddy. Bukan aku yang mulai. Please, Daddy, maafin aku,” tambahnya sambil menengadahkan wajah, menatap Oscar dengan mata penuh harap. “Kau mau tahu apa kesalahanmu?” tanya Oscar dengan nada rendah namun tegas. Savana mengerutkan dahi, lalu menggeleng cepat. “Aku nggak punya salah, Daddy,” jawabnya yakin. “Kan bukan aku yang mulai duluan!” Ketika Savana hendak memeluk pinggang Oscar, pria itu dengan sigap menghentikannya dengan satu tangan. Savana sontak cemberut, bibirnya mengerucut, merasa sedikit kesal karena pelukannya ditolak. Oscar menatap tajam, “Kesalahanmu adalah kau membiarkan orang lain menyentuhmu. Wajahmu diludahi—itu sungguh memalukan!” Savana, dengan ekspresi sebal, menjawab, “Kan sudah aku balas, Daddy. Tangan dia patah.” Ia menghela napas dramatis, lalu menambahkan, “Tadi mau aku cabut giginya sekalian, tapi Miss keburu datang. Yah, gagal deh!” Akhir kalimatnya terdengar seperti keluhan kecil yang sengaja dibuat dramatis. Oscar memejamkan mata sejenak, mencoba menahan gelombang tawa yang hampir meluap. Namun, wajahnya tetap dingin. Melihat diamnya Oscar, Savana melanjutkan dengan antusias, “Besok saja aku tambah ya?” tanyanya penuh semangat. “Daddy mau aku patahin tulangnya bagian mana? Leher? Kaki? Punggung? Bagaimana, Daddy?” Tatapannya begitu serius, seolah tengah merencanakan sesuatu yang benar-benar besar. “Ah, aku tahu!” serunya tiba-tiba dengan nada riang. “Tulang ekornya saja biar dia nggak bisa jalan lagi. Pasti seru! Iya kan, Daddy?” Oscar akhirnya membuka matanya. Wajahnya terlihat dingin dan datar. “Ini bukan lelucon, Savana Lyoraa Blaxton!” Tegasnya. Savana langsung terdiam, bibir mungilnya kembali mengerucut. Ia mulai memilin jemarinya, tanda bahwa dia merasa bersalah. “Aku minta maaf, Daddy,” gumamnya pelan. “Lain kali, aku tidak akan lengah lagi.” Namun, Oscar tampak belum selesai. “Kau terlalu lambat bergerak, Savana!” sergahnya. “Kalau di serangan pertama kau membalas, dia tidak akan sempat meludahi wajahmu. Kau tahu itu?!” Savana mengangguk pelan, bibirnya bergetar, namun ia tetap menjawab, “Iya, Daddy, aku tahu.” “Dengar baik-baik,” lanjut Oscar, menatapnya tajam. “Kalau seseorang menyakitimu, jangan beri kesempatan kedua! Jangan biarkan dia punya waktu untuk melakukan yang lebih buruk. Kau mengerti?!” “Iya, Daddy, aku dengar,” jawab Savana dengan suara kecil. Wajahnya mulai memerah, matanya tampak berkaca-kaca. Oscar memperhatikan dengan seksama, lalu dengan nada datar, ia berkata, “Kalau air matamu jatuh, maka tugasmu adalah mengembalikannya ke dalam matamu. Secara utuh.” Savana memandang Oscar dengan tatapan bingung sekaligus kesal. “Ih, Daddy, mana bisa begitu!” “Harus bisa! Kalau kau mau menangis, artinya kau harus siap dengan konsekuensinya. Sekarang, menangislah. Yang kencang, supaya air matamu banyak mengalir,” ujar Oscar, nada suaranya terdengar setengah menantang. Savana mendengus kecil. Ia menggeleng keras, lalu menjawab, “Tidak. Aku tidak mau. Bagaimana caranya aku mengembalikan air mataku, Daddy? Ada-ada saja hukumannya!” Ia melipat tangan kecilnya di d**a, wajahnya cemberut. Oscar hanya mengedikkan bahu dengan sikap tak acuh. Ia tetap berdiri tegap, matanya mengamati Savana tanpa ekspresi, sementara gadis kecil itu balas menatapnya dengan wajah sebal. Keheningan sejenak menyelimuti ruang tengah itu. Di sofa, Brianna menahan diri sekuat tenaga. Dalam hatinya, ia sangat ingin memeluk tubuh mungil Savana, mencium pipinya dengan gemas, dan menyudahi teguran dari Oscar. Namun, ia tahu aturan. Jika Oscar sedang menegur, tak seorang pun diperbolehkan ikut campur. Bahkan Sexyana, yang duduk di sofa lain, hanya bisa tersenyum tipis menyaksikan adegan itu. Savana akhirnya menghela napas panjang, berusaha mencari cara untuk mendapatkan maaf dari sang paman. Ia melangkah maju, menggenggam tangan Oscar dengan kedua tangan kecilnya. “Maafkan aku ya, Daddy?” katanya dengan suara pelan, memohon penuh harap. “Please?” Namun Oscar tidak tergerak. “Kau telah mencoreng nama Blaxton, Savana. Dan kesalahan itu sangatlah fatal. Oleh karena itu…” Ia berhenti sejenak. “Kau wajib menerima hukuman.” Savana menelan ludah, matanya membulat. “Iya, aku terima hukumannya,” jawabnya akhirnya, meskipun dengan nada pasrah. “Tapi jangan berat-berat ya, Daddy? Kasihan aku nanti,” pintanya sambil memasang wajah memelas. Oscar melipat kedua tangannya di d**a, menatap keponakannya yang kini tampak kebingungan. “Kesalahan fatal tentu hukumannya akan berat. Itu sudah menjadi hukum alam,” ucapnya dengan nada tegas dan tanpa kompromi. Savana menatap Oscar dengan ekspresi putus asa. Mata bulatnya berkaca-kaca, bibir mungilnya sedikit mengerucut. “Lalu... apa hukumannya, Daddy?” tanyanya dengan suara pelan, seakan bersiap mendengar sesuatu yang mengerikan. Oscar menghela napas, lalu menjawab, “Jadwal pertemuanmu dengan Grandpa Lucas akan aku kurangi. Bulan ini, kau tidak boleh bertemu dengannya.” Hening sejenak. “Daddy, aku tidak mau!” seru Savana langsung bereaksi. Wajahnya berubah panik. Hukuman itu terlalu berat baginya. Dia sudah menunggu-nunggu pertemuan dengan kakeknya, Lucas, selama berminggu-minggu. Kakeknya adalah tempatnya bercerita, bermain, bahkan meminta semua hal yang tidak bisa dia dapatkan dari pamannya dan Ibunya. Dan sekarang, pamannya itu malah memotong jatah pertemuan mereka. Namun Oscar tetap diam, wajahnya dingin tanpa emosi. Seakan hukuman itu bukanlah apa-apa. “Mommy…” Savana berlari kecil ke arah Sexyana, yang duduk tenang di sofa. Dia menatap ibunya dengan wajah memelas. “Tanggal berapa sekarang?” tanyanya dengan suara bergetar. “Tanggal depan, sayang,” jawab Sexyana, lembut. Mendengar itu, Savana segera berlari kembali ke Oscar. Dia berdiri di hadapan pria itu, mencoba meraih perhatiannya. “Daddy, please? Ganti saja ya hukumannya?” pintanya, suaranya penuh harap. “Sebentar lagi kan tanggal sebelas, jadwal aku ketemu Grandpa. Aku sudah buatkan list yang panjang untuk pertemuan kami nanti. Grandpa juga janji mau belikan aku mainan banyak sekali. Daddy, please?” Mohonnya bersungguh-sungguh, matanya mulai berkaca-kaca. Oscar menatap gadis kecil itu tanpa belas kasih. “Tidak bisa! Daddy tidak suka bernegosiasi!” tolaknya dingin. Saat Savana membuka mulut untuk membantah, Oscar dengan cepat memotong, “Kalian akan bertemu dua bulan lagi dari sekarang. Tidak lebih cepat dari itu!” Oscar tidak memberi kesempatan lagi. Dengan langkah panjang, dia meninggalkan ruang tengah, menuju kamar yang telah disediakan khusus untuknya oleh Sexyana. Pintu kamar tertutup dengan suara lembut. Savana berdiri di tempat. Bibir mungilnya mencebik, seakan bersiap untuk menangis dengan keras. Beberapa detik kemudian, dia berlari ke arah Sexyana. Bocah kecil itu membenamkan wajahnya di pangkuan sang ibu, menangis tersedu-sedu. Tangisannya terdengar pelan, sebagian teredam oleh kain gaun ibunya. “Sudah, sayang. Jangan menangis lagi, ya?” Sexyana mengusap lembut kepala Savana, “Daddy hanya sedang marah sekarang. Kita doakan saja ya, semoga Daddy berubah pikiran nanti. Oke, sayang? Jangan sedih lagi.” “Tapi, Mommy…” suara Savana terputus oleh isakannya. “Aku sudah lama sekali tidak bertemu Grandpa. Aku mau ketemu Grandpa…” Sexyana menghela napas panjang, menatap ibunya yang duduk di seberangnya. Wanita paruh baya itu melakukan hal serupa, hanya mampu menghembuskan napas kasar. Wajah keduanya dipenuhi kekhawatiran dan keputusasaan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan. Keputusan Oscar adalah mutlak. Mengubahnya? Bahkan Sexyana sendiri tahu itu hal yang mustahil. Apa yang terjadi di masa lalu telah meninggalkan luka mendalam bagi keluarga Blaxton. Menderitanya Sexyana dalam pernikahannya tidak hanya membuat Michele dituntut bertanggung jawab, tetapi juga Lucas, ayah kandung Sexyana. Semua itu mengubah dinamika keluarga mereka secara drastis. Oscar, yang sejak awal menentang pernikahan adiknya dengan Michele, telah memperingatkan bahwa hubungan itu tidak akan membawa kebahagiaan bagi adiknya. Pernikahan tersebut hanya terjadi karena kesalahan semalam, dan Lucas memaksa Michele untuk bertanggung jawab demi menjaga nama baik keluarga Blaxton. Namun, ketika prediksi Oscar terbukti benar, rasa marahnya tidak tertahan. Orang pertama yang ia salahkan atas penderitaan Sexyana adalah Lucas. Keputusan ayah mereka yang memaksakan pernikahan itu menjadi awal dari segala kesedihan yang dialami adiknya. Dan orang kedua yang ia salahkan adalah Michele. Pria itu pernah merasakan amarah Oscar secara brutal. Luka parah dan koma yang dialami Michele adalah akibat pukulan mematikan dari Oscar. Michele memang selamat, tetapi nyawanya nyaris melayang. Nasib Lucas sendiri tak jauh lebih baik dari Michele. Pria tua itu juga terluka akibat serangan dari putranya. Dan ia harus dirawat intensif di rumah sakit. Beruntung, Lucas masih diberi kesempatan untuk hidup lebih lama. Namun, luka fisik dan emosional yang ditinggalkan Oscar membuatnya tak lagi memiliki kuasa dalam keluarganya. Aturannya terbatas, termasuk untuk bertemu Sexyana dan cucunya, Savana. Setiap dua bulan sekali, di tanggal 11, Lucas diizinkan datang ke Paris untuk bertemu dengan putri dan cucunya. Itu adalah satu-satunya bentuk "kebaikan hati" yang diberikan Oscar. Namun tanggal itu pun bukan tanpa alasan—tanggal 11 adalah hari kelahiran Savana, momen yang dianggap Oscar sebagai simbol harapan sekaligus tanggung jawab keluarga Blaxton. Apakah Lucas keberatan dengan aturan ini? Tentu saja. Bahkan, ia merasa sangat keberatan. Tetapi setiap kali ia mencoba memprotes, Oscar dengan dinginnya akan memutar rekaman memilukan masa lalu—suara Sexyana yang penuh tangis dan luka—rekaman yang Lucas tidak sanggup dengar. Setiap kata dalam rekaman itu adalah pengingat atas kegagalannya sebagai seorang ayah. Ia lebih memilih tunduk dan menerima semua hukuman Oscar daripada harus kembali menghadapi kenyataan menyakitkan itu. Menit berlalu, ketegangan di ruang tengah terpecah ketika suara pintu kamar Oscar tiba-tiba terbuka. "Mom, siapa yang sedang menangis di sana?" suara Oscar bergema, tegas dan tanpa basa-basi. Savana, yang masih membenamkan wajahnya di paha sang ibu, segera mengangkat kepalanya. Dengan cepat ia mengusap pipinya yang basah, lalu berteriak lantang, “Tidak ada orang yang menangis di sini, Daddy! Kami semua sedang happy!” Mendengar itu, Oscar segera membalas. “Bagus! Siapapun yang menangis, maka harus siap dengan konsekuensinya! Paham?!” bentaknya. Savana segera menjawab dengan suara lantang, “Iya, paham, Daddy!” Hening… beberapa detik lagi sebelum akhirnya kembali masuk ke kamarnya. Pintu tertutup rapat, dan suasana menjadi hening. Savana menoleh ke arah Sexyana dengan mata berkaca-kaca, tetapi kali ini dia menahan tangisnya. Bibir mungilnya bergetar, namun ia tidak berani menangis lebih keras. Sexyana segera menarik putrinya ke dalam pelukannya, membelai lembut rambutnya yang halus. “Sudah, sayang. Jangan bersedih lagi, ya?” bisiknya lembut. “Meskipun kita tidak bisa bertemu langsung dengan Grandpa bulan ini, kita masih bisa video call, kok. Kita bisa melihat wajah Grandpa setiap hari, berbicara dengannya, bahkan menceritakan semua list yang sudah kamu buat. Oke, sayang?” Savana mendongak, menatap ibunya. Matanya masih berkaca-kaca, tetapi ia berusaha tersenyum kecil. “Benar, Mommy? Kita bisa video call setiap hari?” tanyanya dengan suara serak. Sexyana tersenyum lembut, menghapus air mata yang tersisa di pipi putrinya. “Benar, sayang. Mommy akan pastikan kamu tetap bisa bicara dengan Grandpa. Jadi, jangan menangis lagi, ya? Kamu anak yang kuat, Mommy tahu itu.” “Iya, Mommy…” jawab Savana pelan, lalu memeluk ibunya erat-erat. Di sudut ruangan, Brianna yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, menghela napas panjang. Matanya menatap ke arah pintu kamar Oscar. Ia tahu putranya memiliki alasan kuat atas setiap tindakannya, tetapi sebagai seorang ibu, ia tidak bisa menahan rasa perih setiap kali melihat cucunya menangis karena keputusan putranya itu. Namun, Brianna hanya bisa berharap bahwa, pada waktunya, luka-luka di hati mereka akan sembuh dan keluarga Blaxton bisa menemukan kedamaian yang selama ini hilang. Empat tahun terasa begitu panjang bagi Brianna yang melihat ketidakharmonisan dalam keluarganya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN