***
Michele tetap berdiri di tengah ruangan, matanya sedikit menyipit, seolah merenungkan sesuatu.
‘Kalau aku bertanya soal Sexyana sekarang, Mom pasti akan langsung curiga padaku. Lebih buruk lagi, dia akan melaporkannya pada Blaxton. Aku yakin, selama ini dia selalu berada di pihak mereka. Tidak mungkin Mom tidak tahu tentang Sexyana, apalagi kalau memang benar anak yang dilihat Donathan adalah anak kami,’ batinnya sambil menghela napas panjang.
‘Tidak. Lebih baik aku fokus mencari informasi sendiri. Mom tidak perlu tahu aku sudah mulai bergerak.’
Setelah beberapa saat diam, Michele akhirnya menghela napas pendek. Ia melangkah mendekati ibunya, berhenti di depannya, lalu merendahkan tubuhnya untuk mengecup lembut kening Jesslyn. Sebuah gestur penuh penghormatan, tetapi juga dingin dan formal.
Ketika ia menegakkan tubuh dan berbalik hendak pergi, suara Jesslyn menghentikan langkahnya.
“Kamu belum menjawab pertanyaan Mom, Michele,” suara Jesslyn terdengar tajam namun tetap tenang. “Kenapa kamu pulang di jam kerja seperti ini? Apa yang terjadi?”
Michele berhenti sejenak, melirik sekilas pada Gerald, yang tetap diam sambil menyeruput teh. Kemudian ia menoleh ke ibunya.
“Tidak ada yang terjadi,” jawab Michele datar. “Aku hanya malas bekerja hari ini. Memutuskan untuk pulang dan bermalas-malasan. Apakah itu masalah?” Suaranya begitu dingin hingga ruangan terasa beku sejenak.
Dia mengedikkan bahu ringan. “Bermalas-malasan satu hari tidak akan membuat DeVille bangkrut dan jatuh miskin, Mom,” lanjutnya dengan tenang sebelum memutar tubuh dan berjalan keluar ruangan tanpa menunggu jawaban.
Jesslyn menatap tajam punggung lebar putranya yang menghilang di balik pintu. Setelah keheningan beberapa detik, dia menoleh ke arah Gerald dengan ekspresi dingin.
“Kau ingin menyalahkanku lagi?” tanya Gerald, sambil mengangkat alis.
“Dia persis sepertimu! Menyebalkan!” desis Jesslyn dengan nada jengkel.
Gerald mengangkat bahu, tersenyum kecil. “Aku ayahnya. Jadi, wajar saja dia mirip aku,” jawabnya dengan santai.
“Bukan hanya wajahnya yang mirip,” sahut Jesslyn. “Sikapnya juga! Sebelas dua belas! Sama-sama b******k!”
Gerald tertawa kecil, memandang istrinya dengan tatapan nakal. Setelah itu, ia menghela napas panjang. “Aku rasa sudah saatnya kita menjemput Mom dan Dad dari Wellington. Rasanya mansion ini terlalu sunyi tanpa mereka.”
Yang dimaksud Gerald adalah Clara dan Samuel, orang tua Jesslyn. Saat ini mereka tengah berada di Wellington, New Zealand, untuk memperingati hari kematian ayah Clara—Mark Blaxton, tradisi keluarga mereka yang selalu menghormati momen itu setiap tahun.
Jesslyn hanya diam, tidak menanggapi ucapan suaminya. Amarahnya pada Michele belum sepenuhnya mereda, dan itu memengaruhi suasana hatinya.
Ketegangan antara Jesslyn dan Michele bukanlah hal baru. Semenjak insiden besar yang mengguncang keluarga mereka, di mana Michele melakukan pengkhianatan yang dianggap tak termaafkan, hubungan antara ibu dan anak ini tak pernah kembali harmonis.
Bahkan ketika Michele terbaring koma selama berbulan-bulan setelah insiden tersebut, Jesslyn tidak menunjukkan sedikitpun kesedihan. Rasa kecewanya begitu mendalam hingga menghapus sisi lembutnya sebagai seorang ibu.
Dan sampai saat ini, rasa luka dan pengkhianatan itu masih membekas, menyelimuti setiap percakapan mereka dengan ketegangan yang tak terlihat tetapi sangat nyata.
***
Michele melangkah dengan mantap, kakinya yang panjang menaiki undakan tangga dengan ritme tenang namun tegas. Hingga akhirnya, ia tiba di lantai atas mansion itu. Tanpa ragu, ia mengarahkan langkah menuju kamarnya.
Begitu tiba di depan pintu kayu besar dengan ukiran elegan, Michele meraih kenop pintu dan membukanya. Suara engsel yang nyaris tak terdengar menemaninya memasuki ruangan yang luas dan megah. Setelah masuk, ia menutup pintu di belakangnya dengan pelan, menciptakan penghalang yang seolah memisahkannya dari dunia luar.
Michele berdiri tegap di tengah ruangan. Matanya tajam menatap lurus ke arah ranjang berukuran king-size yang berdiri megah di tengah kamar. Sprei berwarna navy bersih dan bed cover yang lembut menutupi kasur itu, memberikan kesan mewah sekaligus nyaman.
Sebuah napas berat keluar dari bibirnya. Tanpa tergesa, Michele melangkah mendekati ranjang, lalu duduk perlahan di tepi tempat tidur. Postur tubuhnya yang biasanya penuh otoritas kini tampak lebih santai, meski masih menyimpan jejak beban yang tak terlihat.
Tangan kanannya terulur, menyapu permukaan kasur. Gerakan itu terasa lembut, hampir seperti sentuhan kasih sayang. Ia seolah membelai bayangan tubuh Sexyana, wanita yang pernah mengisi hari-harinya, yang dulu selalu berbaring di ranjang ini.
Michele memejamkan mata, membiarkan kenangan itu menyerbu benaknya. Empat tahun yang lalu, di kamar ini, semuanya terasa begitu berbeda.
Flashback
Sexyana berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang mansion. Tubuh rampingnya dibalut lingerie satin berwarna merah marun, dengan renda tipis menghias bagian d**a dan pinggang. Gaun tidur itu jatuh hingga paha, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan anggun namun menggoda.
Di tangannya, ia memegang selembar foto, memperhatikannya dengan saksama. Sorot matanya yang tajam berubah sendu, bibirnya sedikit bergetar, seolah ada sesuatu yang sedang berperang dalam pikirannya.
Dari kejauhan, Michele berdiri di ambang pintu. Ia menatap lurus ke arah istrinya, matanya memancarkan kilatan tajam. Rahang tegasnya mengeras saat ia menyadari apa yang menjadi fokus perhatian perempuan itu.
Dengan langkah cepat namun tanpa suara, Michele mendekati Sexyana. Hembusan napasnya terdengar berat ketika akhirnya ia berhenti di samping perempuan itu. Tanpa peringatan, tangannya meraih foto itu dari genggaman Sexyana.
“Michele!” seru Sexyana, terkejut dan keberatan. Ia menoleh, menatap suaminya dengan ekspresi tak suka. “Kembalikan foto itu!”
Sexyana mencoba merebut kembali benda yang telah dirampasnya, tetapi Michele dengan gesit menghindar. Ia melangkah mundur, menjaga jarak, sementara tangan yang memegang foto itu terangkat tinggi di atas kepalanya.
"Hentikan semua keinginanmu yang tidak masuk akal itu, Sexyana," desis Michele dengan suara rendah namun tegas. Sorot matanya tajam dan dingin, menusuk langsung ke arah istrinya. "Kau harus sadar bahwa statusmu sekarang bukan lagi seorang gadis bebas. Kau adalah wanita yang bersuami. Jadi, kuperingatkan—jangan pernah menciptakan skandal yang akan mencoreng nama baik keluargamu, apalagi nama baikku."
Sexyana mematung sejenak, tetapi hanya untuk kemudian tertawa kecil, tawa yang sarat akan rasa muak. Ia melipat kedua tangannya di d**a, menatap Michele dengan tatapan penuh kebencian.
"Peduli apa kau soal nama baik keluargaku? Itu bukan urusanmu, Michele," ucapnya dengan nada tajam. "Kalaupun aku menciptakan skandal, yang akan menanggung malu adalah aku dan keluargaku, bukan dirimu!" Tambahnya sambil menunjuk wajah tampan suaminya dengan penuh keberanian.
Michele mendekat dengan langkah pelan, menatap Sexyana lebih dalam dengan mata menyipit. "Dan kau pikir aku akan diam saja, membiarkan orang-orang di luar sana menertawakan harga diriku karena istriku berselingkuh?" Sergahnya dengan suara yang lebih rendah.
Perkataan Michele membuat Sexyana terdiam. Bibirnya terkatup rapat, tapi matanya terus menatap suaminya dengan amarah membara. Meski begitu, tak ada kata yang keluar.
Michele mengalihkan pandangannya, kali ini tertuju pada sebuah foto besar yang tergantung di dinding kamar mereka—foto pernikahan mereka yang megah, yang dilangsungkan dua minggu yang lalu. Dalam foto itu, Michele berdiri tegap dengan senyuman tipis, sementara Sexyana tampak anggun dalam gaun putih panjangnya. Tetapi, momen bahagia yang terekam dalam bingkai itu terasa seperti dusta jika dibandingkan dengan situasi mereka sekarang.
"Sexyana," ucap Michele akhirnya, suaranya kembali tegas namun kali ini terdengar lebih dingin. "Lupakan Nicolas. Mulai sekarang, hapus dia dari pikiranmu."
Sexyana menggeleng cepat, menolak dengan tegas. "Kau tidak punya hak untuk memintaku melakukan itu, Michele!" serunya dengan suara gemetar.
Michele menatapnya tanpa ekspresi, rahangnya mengeras. "Aku suamimu," katanya. "Sebagai suamimu, aku memiliki hak penuh atas dirimu, Sexyana. Lupakan dia. Mulai sekarang, kita akan menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh. Aku tidak akan menerima jawaban lain."
Sexyana menatap Michele dengan sorot mata tajam penuh kemarahan. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, tubuhnya sedikit gemetar karena emosi yang membuncah. "Setan apa yang sudah merasukimu, Michele? Hah?" Suaranya meninggi, penuh sindiran. "Tiba-tiba kamu ingin kita menjalani pernikahan ini dengan sungguh-sungguh? Padahal kemarin kamu sendiri yang menyodorkan surat perjanjian itu padaku! Jangan bilang, kamu sudah lupa dengan isi surat itu?"
Ia tersenyum sinis, mendekat beberapa langkah hingga wajah mereka hanya terpaut beberapa inci. "Kalau kamu lupa, biar aku ingatkan. Aku hafal setiap kata yang tertulis di surat itu! Satu poin yang sangat jelas—pernikahan ini hanya tanggung jawab. Tidak ada cinta, tidak ada perasaan, tidak boleh saling mengganggu privasi, dan yang paling penting, kita berdua berhak menjalin hubungan dengan siapapun di luar sana!" Suaranya menggema di kamar yang luas itu. "Apa kamu lupa?!"
Michele menatapnya dengan dingin, rahangnya mengeras mendengar setiap kata yang keluar dari mulut istrinya. "Aku tidak lupa," ucapnya dengan nada rendah. "Bahkan masih lekat dalam ingatanku. Tapi sekarang aku sudah tidak peduli dengan surat perjanjian itu."
Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Surat itu sudah aku bakar. Sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi kebebasan untukmu, Sexyana. Aku adalah suamimu, dan aku tidak akan pernah membiarkanmu menjalin hubungan dengan pria manapun, terutama dengan Nicolas. Kau dengar itu? Selamanya aku tidak akan mengizinkanmu bersama dia!"
Pernyataan Michele membuat Sexyana semakin panas. "Aku tidak peduli!" serunya keras, tanpa ragu. "Kamu mau melarangku seperti apa, terserah! Tapi satu hal yang pasti, dan ini harus kamu tahu—aku mencintai Nicolas, dan dia mencintai aku!"
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar kesabaran Michele. Dengan gerakan cepat dan penuh emosi, ia melangkah mendekat dan mencengkram pipi Sexyana dengan kuat, menekan hingga wanita itu spontan meringis kesakitan. "Jangan pernah mencoba menguji kesabaranku, Sexyana!" desisnya tajam, suaranya rendah namun mengintimidasi. "Aku tidak suka ditentang, dan aku paling benci gadis pembangkang. Jadi dengarkan aku baik-baik—kau akan melupakan dia, atau aku akan membuatmu menyesal seumur hidup!"
Sexyana memandang Michele dengan sorot mata penuh perlawanan, rasa sakit di pipinya tak mampu meredam kemarahannya. Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, ia berhasil menyentak tangan Michele yang mencengkeram wajahnya.
Plak!
Tangan Sexyana melayang, menampar keras wajah Michele. Kepala pria itu tersentak ke samping, suara tamparan itu bergema di ruangan.
Hening seketika. Michele perlahan membawa wajahnya kembali, matanya yang tajam kini menatap Sexyana dengan sorot gelap dan berbahaya. Namun, Sexyana tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, ia berdiri tegap, menantang pria itu dengan dagu terangkat.
"Aku ingin bercerai." Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Sexyana, tanpa keraguan, begitu tegas dan penuh keyakinan. "Aku tidak ingin melanjutkan pernikahan ini! Aku ingin kita bercerai sekarang juga!"
Michele menatapnya dengan mata yang tajam, menyeringai. "Bermimpi lah! Itu tidak akan pernah terjadi! Tak peduli berapa banyak kau menderita, aku tidak akan pernah melepaskanmu!" Desisnya, suaranya serak.
Mata Sexyana menyala penuh kebencian, napasnya terengah-engah. Dadanya naik turun—mengikuti irama napas yang cepat, tangan kanannya terkepal erat di sisi tubuhnya, sedangkan rahangnya mengencang, menahan amarah yang meluap.
Michele, mengangkat foto di tangannya, memperlihatkan gambar itu di depan wajahnya. Di foto itu, terlihat Sexyana dan Nicolas saling berpelukan mesra.
Mata Michele semakin menyala-nyala, dan tanpa ampun, ia merobek foto itu menjadi beberapa bagian, suaranya mengoyak keheningan yang ada.
Kemudian, dengan kasar, Michele menghantam potongan-potongan foto itu ke wajah Sexyana.
Sexyana, dengan reflek, menutup matanya dan menundukkan kepala, mencoba menghindar dari serangan itu. Tubuhnya mundur, bergerak menjauh dari Michele yang tampak semakin liar dengan emosinya.
Ia menatap mata Michele yang dipenuhi kobaran amarah dan kebencian, namun rasa takut mulai meresap. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia memutuskan untuk mundur lebih jauh, memutar tubuh, dan hendak melangkah menuju pintu kamar.
Namun, gerakannya terhenti ketika Michele dengan gesit merengkuh pinggang rampingnya, mengangkat tubuh moleknya.
“Michele! Lepaskan aku!” teriak Sexyana, meronta-ronta ingin dilepaskan.
“Diam!” bentak Michele sambil membawa Sexyana ke ranjang. Begitu tiba, ia melempar tubuh molek itu ke atas kasur hingga terpental beberapa kali. Sexyana memekik, kepalanya mendadak pusing.
Di sisi ranjang, Michele berdiri. Tubuhnya yang gagah menjulang tinggi. Matanya menatap penuh minat pada Sexyana. Perempuan itu dengan cepat merapikan lingerie yang tersingkap hingga menampilkan pahanya yang mulus.
“Tugasmu sebagai seorang istri adalah melayani suaminya! Bukan malah minta cerai!” desis Michele. Lalu, ia meloloskan kaos yang membungkus tubuh atletisnya—menampilkan dadanya yang bidang, penuh dengan bulu-bulu halus di sekitarnya.
Di sisi lain, Sexyana membelalak kedua mata. Terlihat panik. Dia menggelengkan kepala dengan gerakan cepat sambil menegakkan tubuh.
“A-Apa yang mau kamu lakukan…?” tanyanya dengan suara bergetar ketakutan sambil beringsut mundur ke belakang.
Michele merendahkan tubuhnya. Tangannya terulur, meraih sebelah kaki Sexyana. Menariknya dengan sekali gerakan tegas, hingga perempuan itu berbaring terlentang. Ia refleks memekik kaget.
“Bercinta!” Jawab Michele. “Kita akan bercinta, kali ini tanpa pengaruh alkohol. Kita sama-sama akan merasakan, menikmati penyatuan ini!”
Sexyana menggeleng cepat. “Tidak. Michele, kumohon, jangan. Aku tidak mau! Michele!” teriak Sexyana. Bersamaan dengan itu, Michele merobek lingerie-nya dan melemparkannya ke sembarang arah.
Tak berhenti di sana, Michele melanjutkan. Meloloskan celana dalam Sexyana dengan cara yang sama. Merobeknya, lalu dilempar ke sembarang arah.
Di sisi lain, Sexyana tak menyerah begitu saja. Dia berusaha melakukan pemberontakan, namun lagi-lagi dia kalah. Tenaganya tak sebanding dengan kekuatan pria itu.
Tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang menutupi tersentak ketika Michele memaksa dirinya terlentang.
Pria itu menurunkan celana serta boker menggunakan sebelah tangan, sedangkan tangan yang bebas menekan kaki Sexyana agar tetap terbuka dengan lebar.
“Michele… hentikan!”
Namun, Michele yang telah diliputi amarah dan nafsu bercampuran seolah tuli. Alih-alih mendengarkan permohonan perempuan itu, sebaliknya dia justru semakin bernafsu.
Tubuhnya yang gagah kini memerangkap tubuh molek Sexyana. Ia memaksakan diri untuk kembali menyatukan diri dengan perempuan yang merupakan istrinya itu.
Air mata yang menggenang kini mengalir begitu saja. Sexyana tak kuasa menahan isak tangis begitu Michele berhasil memasukinya. Lagi. Ya, kedua kalinya.
Tangannya yang berusaha menjangkau bandul kalung yang melingkar di lehernya diraih dengan cepat oleh Michele, lalu diangkat ke atas kepala dan dicekal dengan kuat.
Kegagalan itu membuat Sexyana semakin hancur. Ia tidak ingin kakaknya, Oscar, mendengar semua ini. Namun, apa boleh buat, ia tidak berhasil mematikan AltoTrack, alat canggih yang tersembunyi di dalam bandul kalungnya.
Alat tersebut merupakan perangkat multifungsi yang tidak hanya mampu mendeteksi suara, tetapi juga merekam segala percakapan yang terjadi di sekitarnya dengan ketelitian yang luar biasa. Dilengkapi dengan sensor suara ultrasonik, AltoTrack dapat merekam percakapan bahkan dalam jarak jauh tanpa terdeteksi.
Dan kini, Sexyana yakin jika Oscar telah mendengar semua ini. Kakaknya itu mendengar tangis pilunya, mendengar jelas erangan penuh kenikmatan Michele ketika menghentak dan menikmati tubuhnya.
Flashback end…
***