Bab 5: Balasan Setimpal

1948 Kata
*** Setelah bukti-bukti yang ditampilkan jelas menunjukkan bahwa Savana bertindak dalam pembelaan diri, pasangan suami-istri itu tetap tidak menunjukkan penyesalan sedikitpun. Tidak ada permintaan maaf kepada Sexyana atas perilaku kasar putri mereka. Sebaliknya, mereka masih memandang rendah keluarga Blaxton dengan angkuh. Bagi mereka, yang bersalah tetaplah Savana, meski kenyataannya anak mereka lah yang memulai semuanya. Luka pada putri mereka, yang kini terbaring di rumah sakit dengan tangan patah, adalah alasan kuat untuk mempertahankan ego mereka. Ketegangan di ruang mediasi terus memuncak. Para guru dan staf berharap bahwa masalah ini akan selesai setelah bukti diputar, namun kenyataannya tidak semudah itu. "Masalah ini tidak akan selesai sampai di sini," ucap sang istri tajam, matanya menusuk Sexyana. "Kamu harus bertanggung jawab atas kesalahan fatal yang dilakukan oleh anakmu!" Sexyana membuka mulut hendak membalas, tetapi suara Oscar yang rendah dan dingin lebih dulu memecah keheningan. "Aku yang akan bertanggung jawab," ujarnya tenang, menatap pasangan itu dengan ekspresi datar yang sulit diterjemahkan. "Apa pun hukuman yang kalian tuntut, aku yang akan menjalaninya." Ruangan tiba-tiba sunyi. Semua mata tertuju pada Oscar, kecuali Brianna dan Sexyana yang sudah paham betul bahwa ini adalah caranya menyelesaikan masalah. Oscar mengangguk kecil, menambahkan, "Silakan, hukum aku sepuas hatimu." Sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya, hampir tak terlihat, tetapi cukup untuk membuat Émile—sang suami—bergidik. Miss Martha yang berdiri di sudut, merasa jantungnya berdetak tidak karuan. Ia mengusap keringat di dahinya, panik. "Ya Tuhan... kapan ini akan berlalu? Rasanya aku mau pingsan saja. Sesak sekali suasana ini..." jeritnya dalam hati. Oscar perlahan berbalik, tatapannya kini langsung tertuju pada Miss Martha. "Miss Martha?" panggil Oscar dengan suara rendah namun menusuk. Miss Martha tertegun. Tubuhnya menegang seketika. "Glek!" Ia menelan ludah dengan kasar. "Y-Ya, Mr. Blaxton," sahutnya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Oscar mendekat perlahan, langkahnya mantap. Ia berhenti tepat di depan Miss Martha, menatapnya dengan tajam. "Kali ini saya sangat kecewa pada Anda," ucapnya dingin. Deg! Miss Martha merasa darahnya membeku. "S-Saya minta maaf, Mr. Blaxton," ujarnya dengan nada penuh kepanikan. "Apakah maaf menurut Anda cukup?" tanya Oscar, sambil mengangkat telunjuknya, menyentuh dagu Miss Martha untuk mengarahkan pandangannya tepat ke wajahnya. "Wajah Savana diludahi," lanjut Oscar, dengan nada yang lebih berat. "Anda harus ingat itu baik-baik." Miss Martha hampir kehilangan keseimbangan, tubuhnya gemetar hebat. "M-Maafkan saya, Mr. Blaxton," ulangnya, kini hampir menangis. Oscar menurunkan tangannya, lalu dengan gerakan lambat, ia membersihkan bahu kanan Miss Martha, sebuah tindakan yang lebih menyerupai peringatan tegas. "Kita akan bicara berdua setelah ini," ucap Oscar datar. "Semoga nasib Anda beruntung, Miss Martha." Miss Martha hanya mampu mengangguk kecil, wajahnya pucat pasi. Setelah itu, Oscar melangkah mundur, lalu memberi isyarat kepada Brianna dan Sexyana untuk meninggalkan ruangan. Mereka keluar dari ruang mediasi dengan langkah tegap. Miss Martha dan staf lainnya hanya bisa menatap punggung mereka dengan wajah campuran lega dan takut. Namun masalah belum sepenuhnya selesai. Mereka diarahkan menuju ruang administrasi kepala sekolah. Menit berlalu, Sexyana dan Brianna tetap berada di ruang administrasi, duduk berseberangan dengan pasangan suami-istri itu. Beberapa guru dan staf juga tampak canggung, mencoba menenangkan suasana. Namun, kehadiran Oscar yang tiba-tiba hilang dari ruangan membuat suasana terasa lebih ganjil. ‘Kemana Oscar pergi?’ Brianna bertanya dalam hati. Sementara itu, Oscar melangkah dengan mantap menyusuri lorong panjang dan sepi. Setiap langkahnya bergema di dinding-dinding kosong sekolah. Tujuannya jelas—tempat parkir. Sesampainya disana, ia langsung mencari mobil pasangan suami-istri itu. Matanya menangkap target. Sebuah SUV hitam mewah dengan plat nomor yang mudah dikenali. Dengan cekatan, Oscar menggunakan perangkat pembuka elektronik—sebuah lock pick canggih berbentuk kunci otomatis. Alat itu memungkinkan dirinya membuka pintu mobil tanpa meninggalkan jejak kerusakan. Setelah pintu terbuka, Oscar melangkah masuk ke dalam kendaraan dengan gesit. Di tangan kirinya tergenggam sebuah alat kecil, sebuah GPS Tracker yang dilengkapi dengan mikrofon penyadap. Alat itu tampak canggih, berbentuk pipih dan berwarna hitam matte, dengan lampu indikator yang nyaris tidak terlihat. Oscar dengan tenang menyelipkan alat itu di bawah jok depan, memastikan letaknya tersembunyi sempurna. Namun, ia tidak berhenti di situ. Di tangan kanannya kini ada EMP Device Mini, sebuah perangkat yang dirancang untuk menghasilkan gelombang elektromagnetik kuat. Alat itu kecil dan portabel, seukuran kotak korek api, tetapi daya hancurnya mampu melumpuhkan semua sistem elektronik di sekitarnya. Oscar memasang perangkat itu di konsol tengah mobil, memastikan alat tersebut dapat diaktifkan dengan timer yang telah ia setel. Tidak ada suara, tidak ada gerakan yang terburu-buru. Semuanya dilakukan dengan presisi dan ketenangan. Setelah selesai, Oscar menutup pintu mobil dengan perlahan, memastikan tidak ada satu pun jejak yang tertinggal. Setiap gerakannya penuh perhitungan, tak meninggalkan ruang untuk kesalahan. Dia berdiri sejenak di sisi kendaraan, memeriksa keadaan di sekitar. Tatapannya yang tajam bertemu dengan dua pria berjas hitam di sudut tempat parkir. Mereka adalah anggota TDB-13, tim pengamanan khusus yang telah ia tempatkan secara diam-diam di sekolah ini untuk menjaga kepentingan keluarga Blaxton—yaitu Savana. Keduanya mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa situasi di sekitar aman terkendali. Oscar balas mengangguk samar sebelum melangkah keluar dari area parkir. Langkahnya tegap, meninggalkan kendaraan itu dengan rahasia yang tertanam di dalamnya. Saat Oscar melintasi lorong sekolah yang sepi, bayangan tubuhnya yang tinggi tegap terpantul di dinding kaca. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, seperti biasa, namun ada aura dingin yang terpancar dari setiap gerakannya. Tak ada suara selain derap langkah sepatunya yang menggema di lorong, seolah setiap langkah membawa sebuah peringatan yang tak terucapkan. Ketika Oscar akhirnya membuka pintu ruang administrasi, suasana di dalam ruangan tiba-tiba hening. Semua mata beralih padanya, mengamati pria itu dengan waspada sekaligus rasa hormat yang terpaksa. Sexyana melirik kakaknya sekilas, mencoba membaca situasi dari ekspresinya. Namun, seperti biasa, Oscar sulit ditebak. Bahkan Brianna, yang duduk tenang di samping Sexyana, hanya bisa menahan napas ketika putranya itu berjalan ke arah mereka. Oscar berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya terlipat di depan d**a. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, seolah menilai setiap orang yang ada di sana. Tidak ada yang berani berbicara, bahkan pasangan suami-istri yang sebelumnya lantang menuntut kini hanya bisa duduk diam di kursi mereka. Dan kini, Miss Martha memimpin pertemuan, menyampaikan poin-poin terkait aturan sekolah dan tanggung jawab orang tua dalam menyelesaikan konflik di antara siswa. Namun, pembahasannya sering terhenti karena komentar sinis dari sang istri atau desakan penuh emosi dari sang suami. “Sekolah ini perlu memberikan hukuman tegas!” desak pria itu sambil menatap tajam Sexyana. “Kami ingin kepastian bahwa tidak akan ada kejadian seperti ini lagi!” “Saya pikir, pihak sekolah sudah menunjukkan dengan jelas siapa yang sebenarnya memulai masalah ini. Namun, jika Anda masih ingin memperpanjangnya, kita bisa melanjutkannya di ranah hukum,” jawab Sexyana, sembari menatap dingin pria itu. Ucapan itu membuat suasana semakin panas, tapi Oscar yang baru saja kembali ke ruangan hanya berdiri di sudut, memandang semuanya dengan dingin tanpa berkata apa-apa. Miss Martha berusaha menenangkan situasi dengan mengalihkan pembicaraan ke langkah-langkah yang akan diambil ke depannya. Dia menjelaskan tentang sesi konseling wajib untuk semua siswa yang terlibat konflik dan meminta tanda tangan dari kedua belah pihak untuk menyetujui solusi tersebut. Pasangan suami-istri akhirnya menandatangani dokumen tersebut, meskipun dengan wajah kesal. Sang istri sempat memutar bola matanya dengan angkuh, sementara sang suami melemparkan tatapan dingin pada Sexyana. Setelah urusan administratif selesai, pasangan itu berdiri dengan sikap kaku. “Ini belum berakhir,” bisik pria itu pada Sexyana dengan nada ancaman. Namun, Sexyana menanggapi hanya dengan memutar malas kedua matanya. Mereka kemudian meninggalkan ruangan, berjalan menuju area parkir dengan langkah cepat. Tatapan tajam Oscar mengikuti mereka hingga pintu tertutup. Brianna menghela napas, sementara Sexyana hanya melirik kakaknya, seolah tahu ada sesuatu yang direncanakan pria itu. Di luar, pasangan suami-istri memasuki mobil mereka tanpa menyadari perangkat yang kini tersembunyi di dalamnya. Mesin menyala, dan kendaraan itu melaju keluar dari sekolah. Pria itu mengemudi dengan penuh emosi, kedua tangannya mencengkeram setir mobil dengan erat. Rahangnya mengatup kuat, dan suara napasnya terdengar berat di sela-sela umpatan yang terus mengalir. “Aku tidak habis pikir dengan guru-guru bodoh itu!” serunya penuh emosi. “Mengapa mereka terlihat begitu takut pada keluarga anak haram itu? Memangnya mereka siapa?!” Di sampingnya, sang istri menimpali dengan nada sama tajamnya. “Aku setuju! Miss Martha jelas-jelas memihak mereka. Sangat tidak adil! Anak kita yang jadi korban, tapi mereka memperlakukan kita seolah-olah kitalah yang salah. Ini benar-benar menjijikkan!” Dia melipat kedua tangannya di d**a, sorot matanya penuh kebencian. Wanita itu melanjutkan, “Aku akan pastikan nama sekolah itu tercoreng! Media harus tahu betapa bobroknya mereka menangani kasus ini. Aku tidak peduli siapa mereka, Blaxton atau siapa pun, mereka harus hancur!” Namun, dalam sekejap, rencana penuh kebencian mereka terhenti. Tiba-tiba terdengar bunyi klik samar dari dalam kendaraan, disusul oleh bunyi mendesing rendah. Sebelum pasangan itu sempat menyadari ada yang salah, sebuah ledakan besar terjadi. Boom! Mobil itu meledak dengan hebat, serpihan logam terbang ke udara, disertai kobaran api yang menyala-nyala. Kendaraan tersebut terangkat beberapa meter sebelum menghantam tanah kembali dengan keras, dilalap oleh api yang segera melahap setiap sudutnya. Pasangan suami-istri itu tewas seketika, tanpa sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Ledakan tersebut terjadi begitu cepat dan bersih sehingga tidak meninggalkan jejak yang bisa mengarah pada seseorang—sebuah perencanaan sempurna dari Oscar Grey Blaxton. *** Milan, Italia... Di kawasan eksklusif dengan pemandangan yang menawan, berdiri megah sebuah mansion besar—Mansion DeVille. Pintu gerbang tinggi yang terbuat dari besi tempa hitam, dihiasi ukiran detail keemasan, terbuka secara otomatis saat sebuah mobil Rolls-Royce Phantom meluncur mulus melewati jalur berbatu yang tertata sempurna. Mobil itu melaju ke arah depan mansion, berhenti di bawah kanopi bergaya klasik yang biasa digunakan untuk menurunkan tamu penting. Michele segera turun dari mobilnya. Ia melangkah melewati tangga marmer menuju teras utama mansion. Ketika Michele memasuki mansion, ia disambut oleh ruang foyer yang luas. Lantai marmer putih mengilap, dihiasi dengan pola emas, mencerminkan lampu kristal besar yang menggantung di langit-langit. Di sisi kanan, sebuah tangga spiral yang elegan dengan pegangan berlapis emas membentang hingga ke lantai atas. Suara langkah kaki Michele menggema di sepanjang lorong yang dihiasi dengan lukisan-lukisan mahal dari abad ke-18. Perabotan antik dengan detail rumit menghiasi setiap sudut ruangan, memberikan kesan mewah yang sulit ditandingi. Tujuannya jelas—ruang santai di lantai utama, tempat ayah dan ibunya biasanya menghabiskan waktu bersama. Ruangan itu terletak di sisi barat mansion, dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke taman pribadi. Ketika Michele membuka pintu ruang santai, dia mendapati ayah dan ibunya sedang duduk di sofa. Sang ayah memegang secangkir teh, sementara ibunya membaca sebuah buku tebal dengan tenang. Kehadiran Michele langsung menarik perhatian mereka. Jesslyn, wanita paruh baya itu menutup buku di tangannya dengan gerakan tenang. Bunyi kecil dari halaman terakhir yang tertutup seolah menambah kesan tegas dalam tindakannya. Gerald, suaminya, meletakkan cangkir porselen di atas meja kaca di hadapannya tanpa suara, pandangannya tetap tertuju pada putra sulung mereka. Sorot mata Michele yang dingin membuat suasana menjadi sunyi sejenak, hanya diisi dengan suara halus jam antik di sudut ruangan. Alis tebal Gerald sedikit berkerut, ekspresi gelisah muncul sesaat saat dia menangkap kilatan tajam dalam tatapan putranya ke arah Jesslyn. Jesslyn, yang menyadari hal itu, tersenyum tipis namun penuh arti. Pandangannya tak tergoyahkan, seolah menganggap tatapan sang putra, Michele hanyalah tatapan seekor anak serigala yang belum cukup dewasa untuk menghadapinya. “Apa yang terjadi, Michele? Mengapa kau menatap Mom seperti sedang menatap mangsamu, hmm? Apakah kau sudah bosan melihat keindahan dunia ini?” tanya Jesslyn dengan nada tenang, namun penuh sarkasme. Gerald terdiam, tak berniat membuka suara. Ikut campur hanya akan mendatangkan malapetaka baginya. Michele tidak langsung menjawab. Dia berdiri di tengah ruangan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, tubuhnya tegap seperti batu, menciptakan bayangan panjang di bawah sinar lampu gantung. Bibirnya mengerut, dan pikirannya berputar cepat. ‘Dimana-mana, gen Blaxton semuanya sama saja,’ Michele bergumam dalam hatinya dengan nada geram. ‘Sarkasme menjadi senjata utama mereka. Menyebalkan!’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN