Kamar rawat VIP itu kini sunyi, hanya suara lembut alat pemantau detak jantung dan napas teratur Alin yang terdengar. Alin akhirnya terlelap setelah kelelahan bertahan dengan emosinya sendiri. Wajahnya tampak pucat, dengan sedikit garis kelelahan yang semakin jelas. Arman duduk di sofa dekat tempat tidur, matanya terus tertuju pada Alin. Kekhawatiran memenuhi pikirannya. Dia menyandarkan tubuhnya, tetapi pikirannya terus bergejolak. Dia telah mencoba menghubungi Barry beberapa kali, bahkan mengirimkan pesan. Namun, hingga kini, tidak ada balasan. Arman meremas ponselnya dengan erat, rahangnya mengeras. Bagaimana bisa Barry, seorang suami sekaligus calon ayah, begitu tidak peduli? Bagaimana dia bisa membiarkan Alin sendirian dalam kondisi seperti ini? Arman berdiri, berjalan mondar-mandir