Arman membuka pintu rumahnya dengan kasar, mendorongnya hingga terdengar bunyi berderak. Langkah kakinya cepat dan berat, menggemakan suasana hati yang penuh emosi. Begitu berada di ruang tamu, dia langsung meraih dasi yang melingkar di lehernya dan menariknya dengan paksa. Dasi itu terlempar ke sofa, tetapi rasa sesak di dadanya tidak juga hilang. Napas Arman memburu, seperti ada sesuatu yang mencekik di tenggorokannya. "Bagaimana bisa dia begitu percaya pada Barry?" gumamnya dengan penuh amarah. Pikirannya terus memutar ulang ucapan Alin yang bersikeras bahwa Barry tidak bersalah. "Apa dia benar-benar tidak melihat semua keanehan ini?" Arman mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba meredakan emosi yang meletup-letup. Tapi semakin dia mencoba, semakin rasa frustrasi itu menguasain