6. Dicampakkan Begitu Saja

1137 Kata
Terpaksa, Langit menyudahi ciumannya. Ia melepaskan Audi dengan hati-hati. Sebab tak lama setelah terdengar suara terjatuh, juga sampai disusul seruan dari dua ART. “Nyonya Titi ....” Suara kedua ART masih saling saut khawatir. Langit yang sempat menoleh ke belakang, menatap Audi dengan tidak nyaman. “T—tunggu!” Ia terpaksa meninggalkan Audi guna memastikan kondisi mantan istrinya. Itu saja, ia melakukannya dengan terpaksa dan memang tidak ikhlas. Tatapan Langit kerap melirik bahkan berhenti kepada Audi. Namun karena detak jantung Titian nyaris tak terdeteksi, Langit terpaksa memboyongnya ke rumah sakit. “Tunggu di sini, istirahat. Lakukan apa pun yang kamu mau! Saya akan segera kembali untukmu!” ucap Langit sungguh sangat tidak ikhlas meninggalkan Audi. Apalagi, Audi sama sekali tidak merespon. Kelembutan penuh kemanjaan Audi dan sempat membuat Langit sangat terbuai, tak tersisa lagi. Audi sama sekali tidak merespons Langit. Ia membiarkan Langit membopong Titian. Bahkan walau Langit kerap menoleh dan menatapnya penuh kekhawatiran, Audi tak peduli. Karena memang, hadirnya dirinya ke sana, murni untuk balas dendam. Selain menghancurkan rumah tangga orang tua Langit, target utama Audi juga membuat salah satu dari mereka, khususnya Titian, membayar nyawa papanya. “Detak jantungnya tidak terdeteksi? Dan tubuhnya pun tadi jadi biru? Harusnya ini sudah lebih dari cukup,” pikir Audi yakin. *** Ketika Titian berakhir dirawat di dalam ruang ICU, Audi sudah ada di kediaman orang tuanya. Di rumah dua lantai tak begitu besar, tetapi dulunya sangat hangat itu, dirinya jadi tal berdaya. Semua kenangan seketika terputar dan hanya membuat Audi dikungkung oleh masa lalu. Masa lalu yang membuat air mata Audi sibuk berjatuhan. Semenjak rumah tangga orang tuanya renggang, dan Sofia nekat menggugat cerai Abraham, di sana, Audi memang jadi tinggal sendiri. Sebab papa mamanya kompak angkat kaki dan tinggal di apartemen masing-masing. Selama empat bulan terakhir, rumah yang biasanya hangat oleh keharmonisan mereka tersebut, mendadak terasa layaknya neraka. Pertengkaran Sofia dan Abraham yang akan selalu berhenti di setiap Audi muncul menjadi penyebabnya. Sofia yang paling bengis, hingga Audi berpikir, sang papa yang awalnya ia yakini pria setia dan sangat bertanggung jawab, telah main hati dengan wanita lain. Walau pada kenyataannya, malah Sofia yang melakukannya, bahkan itu dengan Aksara kekasih sekaligus pacar pertama Audi. Audi sempat berpikir, bahwa kedua orang tuanya egois. Sudah tua, masih saja mempertahankan ego tanpa peduli kepadanya. Terlebih bagi Audi, sebesar apa pun masalah dalam hubungan keduanya, harusnya keduanya mampu menyelesaikannya. Namun setelah semua yang terjadi, Audi mulai paham. Bahwa luka hati dan juga mental, nyaris tidak ada obatnya. Buktinya saja, papanya lebih memilih untuk mengakhiri hidup. “Aku enggak bisa di sini. Semuanya terlalu menyakitkan,” batin Audi tak hentinya berlinang air mata. Audi mengemasi sebagian barang-barangnya ke dalam koper berukuran besar miliknya. Sekitar satu jam kemudian, di tengah suasana yang sudah makin siang, Audi keluar meninggalkan rumahnya. Ia meninggalkan rumah yang jadi sangat sepi bahkan mati. Tak ada lagi harapan kehidupan di sana. Alih-alih langsung pergi meninggalkan ibukota dengan segudang kenangannya, Audi yang menggunakan taksi, justru mendatangi apartemen papanya. Sisa garis kuning dan hitam dari pihak kepolisian, masih tersisa di sana. Audi layaknya tersesat. Ia melangkah pelan di tengah air matanya yang sibuk berjatuhan. Setiap sudut ruangan di sana, ia amati dengan saksama. “Aku beneran enggak bisa bayangin, gimana tersiksanya papa karena rasa sepi bahkan luka-luka yang papa rasakan sendiri, Pa. Aku benar-benar minta maaf, Pa.” “Aku mohon maafkan aku!” Di lokasi sang papa ia temukan terbujur kaku, tubuh Audi ambruk. Lagi-lagi, ia tak kuasa membendung segala rasa dan juga sejuta penyesalannya. Ia yang sudah memakai celana panjang dan juga pakaian hangat, tersedu-sedu. Ia mencoba mendekap lantai di sana, berusaha mendapatkan sisa-sisa aroma papanya. *** Kembalinya Langit ke rumah sudah langsung membuat pria itu kalang kabut. Sebab sang ART mengabarkan bahwa Audi sudah langsung pergi, tak lama setelah Langit pergi memboyong Titian ke rumah sakit. “Dia beneran enggak bilang apalagi titip apa-apa, Mbak?” sergah Langit nyaris gila karena dicampakkan begitu saja. “Kenapa kamu pergi bahkan membuangku begitu saja?” batin Langit refleks lari memasuki kamar yang selama tiga hari terakhir, ditempati Audi. Kondisi kamar yang Audi tempati teramat rapi karena tampaknya memang sudah dibereskan oleh ART. Kendati demikian, Langit masih berharap bisa menemukan jejak Audi. Walau pada kenyataannya, tak ada apa pun yang tertinggal di sana. Langit sampai melongok ke kolong tempat tidur Audi. “Kenapa aku begitu bodoh, dan sampai kecolongan begini? Aku bahkan tak menahan KTP-nya!” Langit merasa putus asa. Kedua matanya jadi basah dan berkaca-kaca. Malamnya, di terminal, Audi menjadi bagian dari antrean penumpang. Layaknya niat yang sebelumnya sempat ia kabarkan kepada Langit. Bahwa dirinya akan pergi jauh ke tempat di mana tidak ada seorang pun yang ia kenal maupun mengenalnya. Tempat jauh yang tidak akan membuatnya ingat kepada masa lalunya. Sepi, sakit, bahkan trauma, Audi rasa dalam diamnya. Hingga walau bungkam, dari kedua ujung matanya, butiran bening tetap berjatuhan. *** Satu minggu telah berlalu, dan Titian sudah melewati masa kritisnya. Titian sudah dipindah ke ruang rawat biasa. “Aku sudah berpikir serius, dan aku tidak mau rujuk dengan kamu!” ucap Titian berat. Ia duduk selonjor dan menyandarkan punggungnya ke sandaran ranjang rawat dirinya berada. Titian tatap secara saksama pria gagah yang memang masih sangat memesona. Di hadapannya, pria gagah yang tidak lah lain mantan suaminya itu, menjadi mengangguk-angguk. Walau tak sampai menemani Titian selama dua puluh empat jam, hampir setiap hari, Langit masih mengunjungi Titian. Pria itu datang memastikan dalam durasi kebersamaan yang benar-benar singkat. “Tawaran apa lagi yang akan kau berikan?” tanya Titian. “Tidak ada tawaran apa pun. Karena rujuk memang bukan yang harus kita lakukan. Selanjutnya, cukup perhatikan Aksara saja. Makin ke sini, aku makin sulit menghubunginya,” sergah Langit menyikapi dengan tenang sekaligus penuh keseriusan. Balasan dari mantan suaminya, sukses membuat seorang Titian tak bisa berkata-kata. Titian amat sangat sulit untuk percaya, bahwa mantan suaminya mengatakan itu. Tidak jadi rujuk. Jangankan mengemis, menawarkan sederet tawaran kepada Titian, agar mau rujuk dengannya, layaknya yang selama ini Langit lakukan. Karena yang ada, Langit langsung pergi begitu saja. Hingga ketika pria itu berhenti melangkah, Titian merasa bahwa ketakutannya tidak terbukti. “Setelah ini, jangan pernah menghubungi apalagi menuntut ini itu lagi. Karena kita sudah masing-masing,” ucap Langit tanpa sedikit pun melirik mantan istrinya. Titian melongo, dan makin sulit percaya pada sikap mantan suaminya. Padahal sebelumnya, Langit selalu mengemis cinta kepadanya. Termasuk sekadar meminta waktunya, Langit juga akan sangat berjuang dalam mendapatkannya. “Apakah ini masih berkaitan dengan wanita muda yang berciuman dengannya saat di dapur itu? Wanita yang langsung menjadi alasanku pingsan kena serangan jantung?” pikir Titian amat sangat curiga. “Apa-apaan ... pasti dia hanya gadis miskin yang mau-mau saja Langit sewa karena sedang butuh banyak biaya!” Titian jadi uring-uringan sendiri. Tak terima, jika dirinya yang terbiasa dikejar-kejar Langit, mendadak dicampakkan begitu saja demi wanita muda tak jelas seperti Audi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN