“Sudah tiga bulan lebih dari kematian papa. Hari ini menjadi seratus hari kematian papa. Namun, kenapa luka dan ingatan menyakitkan perihal kematian papa, rasanya masih sangat menyakitkan?”
“Kenapa aku seolah berjalan di tempat, terjebak di tempat asing, dan malah bikin aku sulit buat lupain semuanya?”
Audi terdiam bingung. Ia keluar dari kantor dirinya bekerja dengan perasaan gamang. Tatapannya kosong, dan lagi-lagi, tubuhnya seolah tak bertulang.
Bayang-bayang kematian papanya, juga kejadian ketika dirinya mengetahui perselingkuhan sang kekasih dengan mama kandungnya sendiri. Menyaksikan ingatan tersebut dan terus memenuhi pikirannya, Audi merasa sangat menderita. Air matanya berlinang, dan tubuhnya langsung seperti melayang, ketika sebuah tangan menariknya dari kiri belakang.
“Ken ...?” refleks Audi mengenali pria yang menarik tangannya, membawanya paksa meninggalkan lobi perusaan dirinya bernaung.
“Ayo kita bersenang-senang!” sergah Ken bersemangat sembari tersenyum memamerkan lesung pipit di pipi kanannya.
“Heh ...? Enggak ... enggak. Apa-apaan. Ini aku mau langsung pulang. Capek, ngantuk, mau beberes kosan juga!” sergah Audi berusaha menjelaskan.
Namun, Ken yang merupakan anak dari teman baik papa Audi, tampaknya akan kembali seenaknya. Sampai di tempat parkir samping kantor, pria bersenyum manis dan memang tampan itu memakaikan helm di kepala Audi.
“Sudah sampai nyiapin helm? Niat banget?” ucap Audi sampai menengadah hanya untuk menatap wajah khususnya kedua mata Ken.
“Ya iya ... malam minggu, sekali-kali, ayo dugem!” ucap Ken dengan entengnya.
“Eh, ... enggak ... enggak. Kan, feelingku kuat. Ujung-ujungnya kamu ngajakin aku ngelakuin hal yang enggak bener!” protes Audi.
“Yang penting kamu jangan bilang ke mama papaku!” ujar Ken. “Pasti aman. Sudah, nanti khusus buat kamu, minumnya es teh, apa air mineral. Sumpah!”
Audi terus menolak, tetapi pada akhirnya dirinya tetap kalah. Berbeda darinya, Ken yang menyalurkannya bekerja di perusahaan baru, selama dua hampir tiga bulan terakhir, memang sangat aktif.
Di Bandung, Audi memang tinggal sendiri. Audi tinggal di kosan khusus wanita. Namun, Ken dan orang tuanya maupun adik perempuan Ken kerap mengajak Audi jalan.
Audi tahu, perhatian Ken sekeluarga kepadanya karena mereka kasihan kepadanya. Terlebih mereka khususnya orang tua Ken selalu terang-terangan mengatakan, bahwa sebelum pak Abraham meninggal, Audi juga sama berisik sekaligus sama aktifnya layaknya Ken. Mereka berharap, Audi kembali menjadi wanita ceria sekaligus aktif seperti sebelumnya.
Sampai di depan sebuah pusat keramaian, suasana sedang ramai-ramainya. Belum apa-apa, Audi sudah menatap ngeri suasana di sana.
“Aku enggak bisa, Ken. Aku mau rebahan di kosan saja. Sori banget, ya ... aku enggak bisa,” sergah Audi tak mau menjerumuskan dirinya ke hal-hal tidak benar. Audi yakin, Ken akan mengajaknya ke semacam tempat karoke dan tempat hiburan lainnya yang ada di mal hadapan mereka.
Audi memang baru di Bandung. Tempat-tempat di sana saja masih sangat asing untuk Audi. Yang paling Audi hafal hanyalah rute dari kosan maupun dari rumah Ken ke tempat kerja. Sisanya, Audi masih belum begitu paham, jika memang tidak memakai kendaraan umum.
“Ya sudah ... ya sudah, ... kita cari makan saja!” sergah Ken.
“Bohong kamu! Kalau kamu mau ajak aku makan, ayo makan di kosan aku, apa di rumahmu. Itu jauh lebih aman!” tantang Audi.
Sebuah mobil range rover hitam, melintas dengan sangat hati-hati di sebelah kebersamaan Audi dan Ken. Di tempat duduk penumpang seberang sopir, Langit terdiam loyo dan tak sengaja menoleh ke sebelah. Namun karena posisi Audi persis memunggunginya, ia jadi tidak tahu, bahwa itu Audi.
“Aku nyaris gila gara-gara pencarian kepadamu selama tiga bulan ini, tetap enggak ada hasilnya. Sekarang pun, Tuhan tetap belum mempertemukan kita?” batin Langit tak lagi kembali menoleh pada Audi.
“Sampai kapan pun, aku enggak akan menyerah, Di! Aku mau kamu! Apa pun yang terjadi, kamu wajib jadi milikku!” batin Langit.
Padahal, andai Langit menoleh ke belakang seiring mobil yang membawanya akan memasuki basemen, ia pasti bisa melihat wajah Audi. Barulah ketika mobilnya benar-benar masuk ke lorong menuju basemen, dari kaca spion sebelah kiri depannya, ia sungguh melihat wajah Audi. Audi baru saja dilepas helmnya oleh Ken.
Wajah mungil nan imut Audi yang sedang manyun itu, langsung membuat jantung seorang Langit seolah copot.
“Berhenti, Pak! Cepat berhenti!” sergah Langit tak menerima bantahan.
Di posisi sedang turun saja, Langit tetap memaksa sang sopir berhenti. Padahal, di belakang mobil mereka ada empat mobil yang mengantre. Ulah Langit membuat mobil di belakang mobilnya, mengerem mendadak untuk menghindari tabrakan.
Suasana mendadak heboh, berisik. Semuanya mengecam ulah Langit sambil menekan klakson beberapa kali. Hanya saja, Langit tak peduli. Langit abai dan buru-buru lari ke tempat dirinya melihat Audi. Langit bahkan tak sampai menutup pintu mobilnya lebih dulu.
Sesampainya di tempat parkir dirinya sempat melihat Audi, di sana sudah tidak ada Audi. Langit nyaris hilang arah bahkan kehilangan kewarasan karenanya.
“Secepat ini kamu pergi?”
Langit yakin, tadi itu dirinya tidak salah lihat. Ia begitu yakin, bahwa yang ia lihat beberapa saat lalu memang Audi.
Di jalan dan belum begitu jauh dari pintu masuk, Audi memasuki sebuah warung pecel lele. Sementara Ken yang ia tinggal, menyusulnya dengan enggan.
“Masa di sini? Aku beneran sanggup ajak kamu makan di tempat yang lebih mahal loh, Di!” protes Ken yang tentu saja melakukannya dengan berbisik-bisik. Tak mungkin ia berisik, dan bisa terdengar yang jual.
“Sini cepat duduk, Ken. Aku beneran capek dan pengin langsung rebahan di kosan.”
“Kalau di kosan, aku enggak bisa ikut masuk karena di sana khusus wanita!” sergah Ken sambil menatap sebal Audi. Walau pada akhirnya, ia juga duduk di sebelah Audi.
“Kamu tahu enggak sih, sebenarnya aku pengin ajak kamu pacaran, makan malam romantis gitu?” ucap Ken. Ia tetap lanjut bicara, meski pertanyaannya yang sebelumnya saja, belum Audi balas.
Audi memang akan langsung mengabaikan Ken, di setiap pria yang kiranya hanya empat tahun lebih tua dari Audi, membahas hubungan lebih dari teman. Padahal di tempat kerja saja, orang-orang mengenal mereka sebagai pasangan kekasih.
Sebenarnya, alasan tersebut terjadi karena tidak disengaja. Awalnya tentu karena Ken atasan Audi yang tugasnya merekrut karyawan baru. Sejak awal kedatangan Audi, Ken mengaku bahwa Audi kekasihnya. Sementara Audi yang tak mau ambil pusing, sengaja mengiyakannya. Apalagi berkat diaku sebagai pacarnya Ken, Audi jadi tak pusing membalas cinta lain yang tetap saja mendekatinya, meski mereka tahu, dirinya kekasih Ken.
“Nanti aku juga bayar sendiri,” ucap Audi sambil menurunkan tas tote bag warna hitam dari pundak kanannya.
Mendengar itu, Ken langsung melirik terkejut wanita cantik di sebelahnya. Ia sungguh tak bisa berkata-kata, dan refleks menggeleng.
“Kenapa sih, kamu takut banget ke aku? Aku loh ... kenapa kamu terus menerus menjaga jarak? Aku ini bukan orang lain, loh!” sebal Ken.
“Tetap saja. Akan ada masa di mana semuanya berubah. Akan ada masa, di mana segala sesuatunya diungkit, diperhitungkan. Sementara aku orangnya baperan dan paling sulit diusik. Cari aman ya gitu. Masing-masing, meski aku yakin, untuk saat ini, kamu memang tulus!” ucap Audi.
“Sampai kapan pun, aku tulus ke kamu, Di! Aku bahkan serius mau nikahin kamu!” yakin Ken.
Apa yang Ken katakan barusan memang terdengar tulus. Tak ada keraguan, maupun tanda-tanda lain, jika pria itu sedang bercanda apalagi main-main kepadanya. Masalahnya, apa yang Audi alami dalam kisah cintanya di masa lalu telanjur membuat wanita cantik itu trauma. Sungguh, trauma itu memang nyata dan Audi merasakannya.